Andi Saputra - detikNews
Jakarta
Mahkamah Agung (MA) memberikan perkara kejahatan luar biasa kepada
hakim agung Brigjen TNI (Purn) Imron Anwari dkk untuk diadili. Namun
sayang, hukuman ini malah berakhir tragis, Hillary K Chimezie dan Hengky
Gunawan bebas dari hukuman mati. Mengapa bisa terulang hingga kedua
kali?
"Bisa jadi karena kesalahan dalam mekanisme perkara karena
perkara yang masuk jumlahnya ribuan," kata Kepala Divisi Kajian Hukum
dan Kebijakan Peradilan, Lembaga Kajian dan Advokasi untuk Independensi
Peradilan (LeIP), Arsil, saat berbincang dengan detikcom, Senin
(8/10/2012).
Mekanisme yang dimaksud yaitu usai perkara masuk ke
MA, lalu diregister oleh panitera untuk diberi nomor perkara. Dari
panitera lalu perkara masuk ke Ketua MA dan setelah itu Ketua MA
mendistribusikan ke Tim Perkara. Oleh Tim ini lalu perkara
didistribusikan ke majelis hakim untuk diadili.
"Ketua MA hanya
tahu nomor perkara, tidak mengetahui identitas pihak berperkara. Nah Tim
inilah yang sangat menentukan siapa yang mendapat sebuah perkara. Tim
ini terdiri dari Wakil Ketua MA dan pimpinan MA," ujarnya.
Lantas,
majelis mengadili dengan membaca berkas perkara secara berurutan. Di
mulai dari hakim paling junor dan terakhir ketua majelis hakim. Usai
meneliti perkara, hakim pertama menulis tangan pertimbangan hukum dan
putusan dalam sebuah kertas yang selanjutnya ke amplop merah. Lalu
berkas perkara berpindah ke hakim kedua dan memberikan pertimbangan
hukum dengan menulis tangan lalu dimasukkan ke amplop warna merah.
Nah,
yang terakhir adalah ketua majelis hakim dengan membaca berkas dan
menulis pertimbangan hukum dan putusan dalam kertas tersebut. Lalu ketua
majelis akan mengundang 2 hakim lainnya untuk musyawarah menentukan
putusan. Dalam musyawarah ini lah ditentukan vonis yang akan dijatuhkan.
"Setelah vonis, lalu perkara diketik panitera untuk menjadi
putusan secara utuh. Maka hanya majelis dan panitera saja yang tahu isi
putusan itu. Apakah bebas, dikurangi hukuman dan sebagainya. Hakim agung
lain juga tahu ada putusan tersebut termasuk Ketua Muda MA," paparnya.
Untuk
mencegah hal tersebut tidak terulang LeIP mendorong MA untuk
memberlakukan sistem kamar. Dengan adanya sistem kamar ini, maka ketua
kamar perkara mengetahui apa yang diputuskan oleh majelis hakim yang ada
di kamar tersebut. Sehingga pendistribusian perkara bisa terukur dan
tidak terulang kasus seperti dalam putusan Hillary K Chimezie dan Hengky
Gunawan.
"Dengan adanya sistem kamar maka Imron tidak bisa
mengulangi lagi putusannya. Ketua Kamar yang akan mengontrol
putusannya," tandas Asril.
Saat ini, MA resmi membagi perkara ke
dalam 5 kamar. Kelima kamar tersebut yaitu Kamar Perdata dengan ketua
Abdul Kadir Mappong, Kamar Pidana diketuai Djoko Sarwoko, Kamar Agama
diketuai Ahmad Kamil, Kamar TUN (Tata Usaha Negara) diketuai oleh Paulus
E Lotulung dan Kamar Militer diketuai oleh Imron Anwari.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar