Andi Saputra - detikNews
Jakarta
Hakim agung Brigjen TNI (Purn) Imron Anwari pada 2007 masih menyetujui
hukuman mati dikenakan kepada gembong narkoba. Tapi sejak 2009 dia mulai
membatalkan vonis hukuman mati bagi sindikat narkotika internasional
karena alasan HAM.
Seperti terungkap dalam salinan putusan kasasi
yang dilansir website MA, Selasa (9/10/2012), Imron pada 2007 menjadi
anggota majelis hakim dalam perkara pabrik ekstasi terbesar di Asia yang
berlokasi di Cikande, Tangerang.
Pada 6 November 2006, PN
Tangerang menghukum vonis hukuman penjara seumur hidup WN Belanda,
Nicolaas Garnick Josephus Gerardus alias Dick (61) dan warga Perancis,
Serge Areski Atlaoui (43). Putusan ini dikuatkan oleh Pengadilan Tinggi
Banten pada 17 Januari 2007.
Nah, saat masuk kasasi, perkara
tersebut diadili oleh Imron sebagai salah satu anggota majelis bersama
Mayjend TNI (Purn) Timur Manurung. Keduanya memutus perkara di bawah
ketua majelis hakim Soedarno.
Pada 29 Mei 2007, Imron dan 2 hakim
agung lainnya mengubah hukuman penjara seumur hidup Dick dan Areski
menjadi vonis mati. Imron tidak mengajukan dissenting opinion (pendapat
berbeda) terkait vonis mati tersebut.
"Nicolaas Garnick Josephus
Gerardus alias Dick (61) dan warga Perancis, Serge Areski Atlaoui (43)
terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah memproduksi dan/atau
mengunakan dalam proses produksi psikotropika golongan I secara
terorganisir memproduksi psikotropika. Menjatuhkan masing-masing hukuman
mati," putus majelis secara bulat.
Saat itu, Imron juga setuju
jika perbuatan kedua terdakwa bertentangan dengan kebijakan pemerintah
Indonesia dalam hal memberantas peredaran narkotika dan psikotropika
secara ilegal. Imron juga setuju dengan pendapat 2 hakim agung lainnya
jika perbuatan terdakwa menimbulkan akibat hukum merusak mental bangsa
dan masyarakat internasional.
"Para terdakwa sebagai tenaga ahli
yang profesional telah menyalahgunakan keahliannya melakukan kejahatan
yang sangat membahayakan kehipuan bangsa dan negara Indonesia," tandas
Imron.
Seiring waktu, ternyata Imron dan Timur Manurung tidak
konsisten dalam menilai hukuman mati. Hal ini terbukti dalam perkara
vonis mati yang dihadapi WN Nigeria, Hillary K Chimezie, Imron memutus
pemilik 5,8 kilogram heroin lepas dari hukuman mati. Pada 6 Oktober
2010, Imron bersama Timur memilih menjatuhkan hukuman 12 tahun penjara.
Vonis
ini sekaligus membatalkan putusan kasasi MA No 643 K/Pid/2004 tanggal
19 Juli 2004. Dalam putusan tersebut Hillary diputus hukuman mati oleh
majelis hakim.
Cerita kontroversi hakim dari peradilan militer
ini tidak cukup selesai di 2009. Sebab dia mengulangi putusan yang
menggoncang keadilan masyarakat dengan membatalkan hukuman mati bagi
pemilik pabrik ekstasi Hengky Gunawan pada 16 Agustus 2011. Dalam kedua
putusan pembatalan vonis mati tersebut, Imron beralasan HAM hengky harus
dilindungi berdasarkan konstitusi.
"Hukuman mati bertentangan
dengan pasal 28 ayat 1 UUD 1945 dan melanggar Pasal 4 UU No 39/1999
tentang HAM," demikian bunyi PK yang diketuai Imron Anwari.
Lain dulu, lain sekarang. Dulu setuju hukuman mati, sekarang menolak.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar