Selasa, 09 Oktober 2012

Kisah Imron: 2007 Setuju Vonis Mati Bos Narkoba, 2009 Batalkan Demi HAM

Andi Saputra - detikNews


Jakarta Hakim agung Brigjen TNI (Purn) Imron Anwari pada 2007 masih menyetujui hukuman mati dikenakan kepada gembong narkoba. Tapi sejak 2009 dia mulai membatalkan vonis hukuman mati bagi sindikat narkotika internasional karena alasan HAM.

Seperti terungkap dalam salinan putusan kasasi yang dilansir website MA, Selasa (9/10/2012), Imron pada 2007 menjadi anggota majelis hakim dalam perkara pabrik ekstasi terbesar di Asia yang berlokasi di Cikande, Tangerang.

Pada 6 November 2006, PN Tangerang menghukum vonis hukuman penjara seumur hidup WN Belanda, Nicolaas Garnick Josephus Gerardus alias Dick (61) dan warga Perancis, Serge Areski Atlaoui (43). Putusan ini dikuatkan oleh Pengadilan Tinggi Banten pada 17 Januari 2007.

Nah, saat masuk kasasi, perkara tersebut diadili oleh Imron sebagai salah satu anggota majelis bersama Mayjend TNI (Purn) Timur Manurung. Keduanya memutus perkara di bawah ketua majelis hakim Soedarno.

Pada 29 Mei 2007, Imron dan 2 hakim agung lainnya mengubah hukuman penjara seumur hidup Dick dan Areski menjadi vonis mati. Imron tidak mengajukan dissenting opinion (pendapat berbeda) terkait vonis mati tersebut.

"Nicolaas Garnick Josephus Gerardus alias Dick (61) dan warga Perancis, Serge Areski Atlaoui (43) terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah memproduksi dan/atau mengunakan dalam proses produksi psikotropika golongan I secara terorganisir memproduksi psikotropika. Menjatuhkan masing-masing hukuman mati," putus majelis secara bulat.

Saat itu, Imron juga setuju jika perbuatan kedua terdakwa bertentangan dengan kebijakan pemerintah Indonesia dalam hal memberantas peredaran narkotika dan psikotropika secara ilegal. Imron juga setuju dengan pendapat 2 hakim agung lainnya jika perbuatan terdakwa menimbulkan akibat hukum merusak mental bangsa dan masyarakat internasional.

"Para terdakwa sebagai tenaga ahli yang profesional telah menyalahgunakan keahliannya melakukan kejahatan yang sangat membahayakan kehipuan bangsa dan negara Indonesia," tandas Imron.

Seiring waktu, ternyata Imron dan Timur Manurung tidak konsisten dalam menilai hukuman mati. Hal ini terbukti dalam perkara vonis mati yang dihadapi WN Nigeria, Hillary K Chimezie, Imron memutus pemilik 5,8 kilogram heroin lepas dari hukuman mati. Pada 6 Oktober 2010, Imron bersama Timur memilih menjatuhkan hukuman 12 tahun penjara.

Vonis ini sekaligus membatalkan putusan kasasi MA No 643 K/Pid/2004 tanggal 19 Juli 2004. Dalam putusan tersebut Hillary diputus hukuman mati oleh majelis hakim.

Cerita kontroversi hakim dari peradilan militer ini tidak cukup selesai di 2009. Sebab dia mengulangi putusan yang menggoncang keadilan masyarakat dengan membatalkan hukuman mati bagi pemilik pabrik ekstasi Hengky Gunawan pada 16 Agustus 2011. Dalam kedua putusan pembatalan vonis mati tersebut, Imron beralasan HAM hengky harus dilindungi berdasarkan konstitusi.

"Hukuman mati bertentangan dengan pasal 28 ayat 1 UUD 1945 dan melanggar Pasal 4 UU No 39/1999 tentang HAM," demikian bunyi PK yang diketuai Imron Anwari.

Lain dulu, lain sekarang. Dulu setuju hukuman mati, sekarang menolak.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar