JAKARTA-Kekerasan
terhadap wartawan yang dilakukan oknum TNI Angkatan Udara di Pekanbaru,
jelas-jelas melanggar Pasal 351 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana
(KUHP). Untuk itu Lembaga Bantuan (LBH) Hukum Medan, menuntut agar para
pelaku segera ditindak dan diseret ke pengadilan.
Namun karena pelaku merupakan oknum TNI, maka sesuai UU Nomor 31 Tahun 1997, mereka harus dihadapkan pada peradilan militer. Demikian kata Kepala Divisi Advokasi, Hak Azasi Manusia (HAM) dan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) LBH Medan, Ahmad Irwandi Lubis, dalam siaran pers yang dikirim lewat surat elektronik.
"Tidak cukup hanya minta maaf, tetapi pelaku harus ditindak secara tegas dan diseret ke pengadilan sesuai UU Nomor 31 Tahun 1997, tentang peradilan militer,” ujarnya.
Langkah tersebut penting, agar tercipta efek jera bagi para pelaku. Dan lebih dari itu, agar kekerasan terhadap insan pers atas nama apapun, tidak lagi terjadi di kemudian hari.
Menurut Irmadi, kekerasan pada jurnalis yang dilakukan oknum aparat militer, sudah berulangkali terjadi. Tapi selama ini, tindaklanjutnya hanya permohonan maaf. Setelah itu, persoalan kemudian dianggap selesai.
“Ini tentu menjadi bias dan tidak jelas penyelesaiannya secara hukum. (Hanya permintaan maaf,red) tidaklah tepat. Kekerasan yang dialami wartawan dalam menjalankan profesi, harus ditindak melalui mekanisme peradilan pidana,” katanya.
Selain itu, Irmadi menilai pentingnya pemahaman yang tepat dari semua pihak, terhadap kerja jurnalistik yang dilindungi oleh undang-undang. Dimana dalam menjalankan profesinya, para jurnalis dilindungi dan dijamin oleh UU Nomor 14 tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik, Jo Pasal 19 UU No 12 Tahun 2005 tentang Kovenan Hak-hak Sipil dan Politik. Serta UU Nomor 40 tahun 1999, tentang kebebasan pers.(gir/jpnn)
Namun karena pelaku merupakan oknum TNI, maka sesuai UU Nomor 31 Tahun 1997, mereka harus dihadapkan pada peradilan militer. Demikian kata Kepala Divisi Advokasi, Hak Azasi Manusia (HAM) dan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) LBH Medan, Ahmad Irwandi Lubis, dalam siaran pers yang dikirim lewat surat elektronik.
"Tidak cukup hanya minta maaf, tetapi pelaku harus ditindak secara tegas dan diseret ke pengadilan sesuai UU Nomor 31 Tahun 1997, tentang peradilan militer,” ujarnya.
Langkah tersebut penting, agar tercipta efek jera bagi para pelaku. Dan lebih dari itu, agar kekerasan terhadap insan pers atas nama apapun, tidak lagi terjadi di kemudian hari.
Menurut Irmadi, kekerasan pada jurnalis yang dilakukan oknum aparat militer, sudah berulangkali terjadi. Tapi selama ini, tindaklanjutnya hanya permohonan maaf. Setelah itu, persoalan kemudian dianggap selesai.
“Ini tentu menjadi bias dan tidak jelas penyelesaiannya secara hukum. (Hanya permintaan maaf,red) tidaklah tepat. Kekerasan yang dialami wartawan dalam menjalankan profesi, harus ditindak melalui mekanisme peradilan pidana,” katanya.
Selain itu, Irmadi menilai pentingnya pemahaman yang tepat dari semua pihak, terhadap kerja jurnalistik yang dilindungi oleh undang-undang. Dimana dalam menjalankan profesinya, para jurnalis dilindungi dan dijamin oleh UU Nomor 14 tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik, Jo Pasal 19 UU No 12 Tahun 2005 tentang Kovenan Hak-hak Sipil dan Politik. Serta UU Nomor 40 tahun 1999, tentang kebebasan pers.(gir/jpnn)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar