REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Komisi Yudisial menilai pembatalan
putusan vonis mati pemilik pabrik narkotika, Hengky Gunawan, melemahkan
upaya pemberatasan narkotika. Komisi Yudisial (KY) melakukan investigasi
putusan Hakim Agung M Imron Anwari yang membatalkan hukuman mati
gembong narkotika tersebut.
Komisioner Bidang Pengawasan Hakim dan Investigasi Komisi Yudisial, Suparman Marzuki, mengatakan putusan ini sangat menyesakkan bagi upaya pemberantas narkoba. Sebab, terpidana Hanky Gunawan merupakan pelaku luar biasa dengan kasus yang luas biasa juga. Sehingga hukuman mati yang dijatuhkan oleh kasasi seharusnya sudah tepat, diukur dari dampak dari peredaran narkoba yang merusak generasi muda.
Karena itu, deponering hukuman mati hakim peninjauan kembali ini patut dipertanyakan. "Apalagi dengan alasan hukuman mati tidak sesuai undang-undang dan melanggar HAM," kata Suparman, Rabu (10/10).
Sebab, Suparman menjelaskan, hukuman mati seperti yang ditegaskan Mahkamah Konsitutusi adalah konstitusional. Bahkan, HAM masih memungkinkan hukuman mati terhadap kejahatan serius, seperti pelanggaran HAM, perang, korupsi, dan narkoba.
Meski begitu, KY tidak akan mengeksaminasi putusan Hakim Imron, karena putusan tersebut sudah final. Hanya, KY melakukan investigasi putusan Hakim Agung M Imron Anwari yang membatalkan hukuman mati pemilik pabrik narkotika.
"Saya tidak menuduh, tapi sulit sekali untuk tidak mengatakan tidak ada suap. Terpidana bukan pemain biasa tapi pelaku yang memang jam terbangnya sudah tinggi," kata Suparman. Karena itu, kata Suparman, KY melakukan investigasi untuk mencari kemungkinan apakah ada suap atau tidak di balik putusan Hakim Imron ini.
"Umumnya sulit untuk membuktikannya tapi bukan berarti tidak bisa. Banyak hakim yang sudah dipecat, itu karena terungkap," kata Suparman. Dia mengaku sudah mengantongi profil dan rekam jejak Hakim Imron.
Suparman meminta Mahkamah Agung (MA) melakukan penyelidikan internal. "Sebagai institusi MA jangan lepas tangan," kata Suparman.
Dalam putusan PK Hanky, disebutkan bahwa pertimbangan majelis hakim agung MA mengabulkan permohonan Henky, karena menganggap hukuman mati bertentangan dengan Pasal 28 Ayat 1 UUD 1945 dan melanggar Pasal 4 UU Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia (HAM). Karena itu, putusan tersebut dengan sendirinya menganulir putusan kasasi MA yang menghukum mati Henky.
Komisioner Bidang Pengawasan Hakim dan Investigasi Komisi Yudisial, Suparman Marzuki, mengatakan putusan ini sangat menyesakkan bagi upaya pemberantas narkoba. Sebab, terpidana Hanky Gunawan merupakan pelaku luar biasa dengan kasus yang luas biasa juga. Sehingga hukuman mati yang dijatuhkan oleh kasasi seharusnya sudah tepat, diukur dari dampak dari peredaran narkoba yang merusak generasi muda.
Karena itu, deponering hukuman mati hakim peninjauan kembali ini patut dipertanyakan. "Apalagi dengan alasan hukuman mati tidak sesuai undang-undang dan melanggar HAM," kata Suparman, Rabu (10/10).
Sebab, Suparman menjelaskan, hukuman mati seperti yang ditegaskan Mahkamah Konsitutusi adalah konstitusional. Bahkan, HAM masih memungkinkan hukuman mati terhadap kejahatan serius, seperti pelanggaran HAM, perang, korupsi, dan narkoba.
Meski begitu, KY tidak akan mengeksaminasi putusan Hakim Imron, karena putusan tersebut sudah final. Hanya, KY melakukan investigasi putusan Hakim Agung M Imron Anwari yang membatalkan hukuman mati pemilik pabrik narkotika.
"Saya tidak menuduh, tapi sulit sekali untuk tidak mengatakan tidak ada suap. Terpidana bukan pemain biasa tapi pelaku yang memang jam terbangnya sudah tinggi," kata Suparman. Karena itu, kata Suparman, KY melakukan investigasi untuk mencari kemungkinan apakah ada suap atau tidak di balik putusan Hakim Imron ini.
"Umumnya sulit untuk membuktikannya tapi bukan berarti tidak bisa. Banyak hakim yang sudah dipecat, itu karena terungkap," kata Suparman. Dia mengaku sudah mengantongi profil dan rekam jejak Hakim Imron.
Suparman meminta Mahkamah Agung (MA) melakukan penyelidikan internal. "Sebagai institusi MA jangan lepas tangan," kata Suparman.
Dalam putusan PK Hanky, disebutkan bahwa pertimbangan majelis hakim agung MA mengabulkan permohonan Henky, karena menganggap hukuman mati bertentangan dengan Pasal 28 Ayat 1 UUD 1945 dan melanggar Pasal 4 UU Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia (HAM). Karena itu, putusan tersebut dengan sendirinya menganulir putusan kasasi MA yang menghukum mati Henky.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar