JAKARTA, KOMPAS.com - Para hakim Mahkamah Agung (MA) dinilai semakin permisif terhadap persoalan narkotika di Indonesia. Penilaian ini terkait pembatalan hukuman mati terhadap sejumlah terpidana kasus narkotika. Padahal, masalah narkotika menyangkut nasib jutaan generasi muda Indonesia.
Hal
itu dikatakan Ketua Kelompok Fraksi Partai Keadilan Sejahtera di Komisi
III Dewan Perwakilan Rakyat Aboe Bakar Al Habsy, di Jakarta, Kamis
(11/10/2012).
Aboe Bakar menilai, MA mengabaikan jumlah korban
narkoba yang mencapai 3,8 juta jiwa serta puluhan juta orang yang
berpotensi menjadi korban. Dia berharap agar Badan Narkotika Nasional
(BNN) melakukan sosialisasi kepada para hakim MA perihal bahaya dan
ancaman narkoba.
Aboe Bakar juga menilai, MA tidak konsisten
menyikapi hukuman mati. MA telah menghukum mati terpidana kasus
terorisme Amrozi, Imam Samudera, dan Muklas. Namun, kata dia, ketika memutus gembong narkoba, para hakim MA memakai alasan hukuman mati bertentangan dengan konstitusi dan hak asasi manusia.
"Ini berarti tidak ada equality before the law. Buat para gembong narkoba hukuman mati dikatakan inkonstitusional, namun buat yang lain tidak," kata Aboe Bakar.
Aboe
Bakar berharap, Komisi Yudisial melakukan kajian atas pembatalan para
terpidana kasus narkotika. "Bagaimanapun, masyarakat melihat banyak
keganjilan atas putusan-putusan MA untuk para gembong narkoba ini.
Jangan sampai KY hanya sebagai penonton saja," pungkas dia.
Seperti
diberitakan, MA membatalkan vonis mati beberapa terpidana kasus
narkoba. Terakhir, pembatalan itu diberikan kepada Deni Setia Maharwa
alias Rapi Mohammed Majid. Sebelumnya, Deni divonis mati oleh MA atas
kasus kepemilikan 3 kg kokain dan 3,5 kg heroin. MA lalu menghukum
dengan pidana penjara seumur hidup.
Sebelumnya, MA juga
membatalkan vonis mati kepada warga Nigeria Hillary K Chimezie, pemilik
5,8 kilogram heroin. Hukuman diubah menjadi penjara 12 tahun. Selain
itu, putusan sama diberikan kepada Hengky Gunawan. Hukuman diubah
menjadi 15 tahun penjara.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar