Andi Saputra - detikNews
Jakarta
Apakah selamanya pemerkosa harus dihukum penjara? Ternyata tidak. Di
Indonesia yang memiliki beragam budaya dan beraneka suku, pengadilan
bisa mengesampingkan KUHP dan menguatkan hukuman dengan hukum adat yang
berlaku di tempat tersebut.
"Mahkamah Agung (MA) tetap
menghormati putusan Kepala Adat yang memberikan sanksi adat terhadap
pelanggar norma hukum adat," kata Wakil Ketua Pengadilan Negeri Jakarta
Utara (Waka PN Jakut), Dr Lilik Mulyadi, Jumat (12/10/2012). Hal ini
tertuang dalam buku karya terbarunya 'Bunga Rampai Hukum Pidana Umum dan
Khusus' yang diterbitkan Penerbit Alumni.
Kasus ini bermula saat
seorang pemuda dinilai berbuat asusila di desa Paruna, Unaaha, Kendari
pada 15 Juni 1987. Akibat perbuatan tersebut, pemuda tersebut diadili
secara adat oleh ketua adat yang dikenal dengan istilah 'Prohala'.
Hukuman tersebut yaitu harus membayar seekor kerbau dan satu piece kain
kaci. Hukuman ini diterima pelaku dan dilakanakan.
Akan tetapi
masalah tersebut diusut lagi oleh kepolisian dan kejaksaan hingga
dilimpahkan ke pengadilan. Dalam dakwannya, pemudan tersebut didakwa
telah melanggar pasal 285 KUHP tentang pemerkosaan. Pada 15 Juni 1987,
PN Kendari menguatkan hukuman adat tersebut.
"Terdakwa telah
dijatuhi sanksi adat 'Prohala' oleh kepala adat dan pemuka adat sehingga
dalam diadilinya lagi terdakwa berdasarkan KUHP berarti terdakwa telah
diadili dua kali dalam masalah yang sama (ne bis in idem," ujar Lilik
dalam halaman 436.
Putusan ini lalu dikuatkan oleh Pengadilan
Tinggi Sulawesi Tenggara pada 11 November 1987. Menurut majelis hakim
tinggi, perbuatan pidana adat yang dilakukan terdakwa tidak ada
bandingnya di dalam KUHP. Oleh karena itu menurut majelis hakim banding,
terdakwa harus dipersalahkan melanggar hukum adat berdasarkan ketentuan
Pasal 5 ayat 3 sub UU Darurat Nomor 1/1951.
"Atas putusan ini terdakwa menyatakan kasasi," ujar hakim yang mengadili Amrozi cs ini.
Nah,
MA bukannya mengubah putusan tersebut tetapi malah kembali menguatkan
putusan sebelumnya. MA menyatakan tuntutan jaksa tidak dapat diterima.
"Badan
peradilan umum tidak dibenarkan mengadili untuk kedua kalinya pelanggar
hukum adat dengan cara memberikan pidana penjara. Konsekuensinya bila
Kepala Adat tidak pernah memberikan sanksi adat terhadap pelanggar hukum
adat maka hakim badan peradilan negara berwenang penuh mengadillinya,"
tandas ujar pemegang gelar doktor dari kampus Universitas Padjajaran
(Unpad), Bandung ini.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar