Jumat, 12 Oktober 2012

MA Setuju Pemerkosa Tidak Dipenjara, Tapi Bayar Seekor Kerbau

Andi Saputra - detikNews

Jakarta Apakah selamanya pemerkosa harus dihukum penjara? Ternyata tidak. Di Indonesia yang memiliki beragam budaya dan beraneka suku, pengadilan bisa mengesampingkan KUHP dan menguatkan hukuman dengan hukum adat yang berlaku di tempat tersebut.

"Mahkamah Agung (MA) tetap menghormati putusan Kepala Adat yang memberikan sanksi adat terhadap pelanggar norma hukum adat," kata Wakil Ketua Pengadilan Negeri Jakarta Utara (Waka PN Jakut), Dr Lilik Mulyadi, Jumat (12/10/2012). Hal ini tertuang dalam buku karya terbarunya 'Bunga Rampai Hukum Pidana Umum dan Khusus' yang diterbitkan Penerbit Alumni.

Kasus ini bermula saat seorang pemuda dinilai berbuat asusila di desa Paruna, Unaaha, Kendari pada 15 Juni 1987. Akibat perbuatan tersebut, pemuda tersebut diadili secara adat oleh ketua adat yang dikenal dengan istilah 'Prohala'. Hukuman tersebut yaitu harus membayar seekor kerbau dan satu piece kain kaci. Hukuman ini diterima pelaku dan dilakanakan.

Akan tetapi masalah tersebut diusut lagi oleh kepolisian dan kejaksaan hingga dilimpahkan ke pengadilan. Dalam dakwannya, pemudan tersebut didakwa telah melanggar pasal 285 KUHP tentang pemerkosaan. Pada 15 Juni 1987, PN Kendari menguatkan hukuman adat tersebut.

"Terdakwa telah dijatuhi sanksi adat 'Prohala' oleh kepala adat dan pemuka adat sehingga dalam diadilinya lagi terdakwa berdasarkan KUHP berarti terdakwa telah diadili dua kali dalam masalah yang sama (ne bis in idem," ujar Lilik dalam halaman 436.

Putusan ini lalu dikuatkan oleh Pengadilan Tinggi Sulawesi Tenggara pada 11 November 1987. Menurut majelis hakim tinggi, perbuatan pidana adat yang dilakukan terdakwa tidak ada bandingnya di dalam KUHP. Oleh karena itu menurut majelis hakim banding, terdakwa harus dipersalahkan melanggar hukum adat berdasarkan ketentuan Pasal 5 ayat 3 sub UU Darurat Nomor 1/1951.

"Atas putusan ini terdakwa menyatakan kasasi," ujar hakim yang mengadili Amrozi cs ini.

Nah, MA bukannya mengubah putusan tersebut tetapi malah kembali menguatkan putusan sebelumnya. MA menyatakan tuntutan jaksa tidak dapat diterima.

"Badan peradilan umum tidak dibenarkan mengadili untuk kedua kalinya pelanggar hukum adat dengan cara memberikan pidana penjara. Konsekuensinya bila Kepala Adat tidak pernah memberikan sanksi adat terhadap pelanggar hukum adat maka hakim badan peradilan negara berwenang penuh mengadillinya," tandas ujar pemegang gelar doktor dari kampus Universitas Padjajaran (Unpad), Bandung ini.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar