Andi Saputra - detikNews
Jakarta
Muka hakim Pengadilan Negeri (PN Bekasi) Puji Wijayanto tenang. Padahal
Puji baru saja digelandang anggota BNN beserta 4 perempuan pemandu
karoke karena kedapatan pesta sabu-sabu dan ekstasi di tempat hiburan di
bilangan Hayam Wuruk, Jakarta Pusat.
"Saya minta maaf kepada
pimpinan MA," kata Puji dengan nada kacau di bawah pengaruh ekstasi
kepada wartawan, Rabu (17/10/2012) dini hari.
Tertangkapnya Puji
seakan membuka bobroknya sistem karier dan pembinaan hakim Mahkamah
Agung (MA). Sebab berdasarkan catatan Komisi Yudisial (KY), Puji telah
diperiksa lima kali terkait aduan pelanggaran kode etik. Namun PW lolos
dari hukuman karena tidak ada bukti terkait pelanggaran tersebut.
"Laporan
pertama kali tahun 2010, dua kali dilaporkan pada tahun 2011 dan 2 kali
dilaporkan pada tahun 2012. Secara garis besar kesimpulan akhir laporan
tidak lengkap dan tidak ada pelanggaran kode etik untuk laporan tahun
2010 dan 2011. Sedangkan untuk yang tahun 2012 masih dalam proses
investigasi dan pemeriksaan," kata Wakil Ketua Komisi Yudisial (KY),
Imam Anshari Saleh.
Meski mendapati banyak aduan, MA malah
mempromosikan Puji menjadi hakim pengadilan kelas IA. Mengantongi
kategori kelas pengadilan ini, maka PN Bekasi masuk dalam kelas
pengadilan khusus sebab banyak perkara besar yang ditangani. Sehingga
harusnya hakim berkualitas kelas wahid yang duduk di PN ini.
Tetapi
bukannya membuang ke pengadilan 'miskin' perkara, MA malah menjadikan
Puji hakim di pengadilan bergelimang kasus besar ini.
Tidak
sensitifnya MA dalam menilai moral para hakim juga tercermin saat Ketua
Pengadilan Negeri Semarang, Sutjahjo Padmo Wasono yang terendus kasus
korupsi. MA bukannya meng-grounded Sutjahtjo tapi malah menaikan karier
Sutjahjo menjadi hakim tinggi. Tidak tanggung-tanggung, Sutjahjo jadi
hakim tinggi Lampung, sebuah pengadilan dengan perkara bergelimang kasus
besar.
Kasus ini seakan mencoreng arang di muka sendiri. Sebab
Hatta Ali dalam pidato usai terpilih menjadi Ketua MA pada akhir Maret
2012 lalu berjanji akan memberantas hakim nakal. Hatta juga mengatakan
dalam seratus hari masa kepemimpinannya di MA, dia berjanji akan
meningkatkan kualitas pengawasan para hakim di seluruh Indonesia
sehingga tidak ada lagi hakim-hakim nakal yang bisa memainkan kasus yang
sedang ditanganinya.
Saat itu dia sesumbar, sebagai mantan Ketua
MA Bidang Pengawasan, Hatta sudah hapal permainan para hakim sehingga
MA bisa semakin bersih di bawah kepemimpinannya. Tapi apa lacur,
lagi-lagi anak buahnya tidak terkontrol, sistem yang dibangun tidak bisa
menjadi benteng bagi hakim-hakim bermasalah.
Sayangnya, di saat
MA diterpa 'badai tsunami' ini, Hatta Ali bergeming. Pria kelahiran
Sulawesi Selatan ini memilih menghindar, diam seribu bahasa. Wartawan
yang menunggu Hatta berjam-jam untuk mengkonfirmasi hal ini di beberapa
kesempatan dibiarkan bak angin lalu. Kebiasaan yang tidak pernah
dilakukan dua Ketua MA sebelumnya, Bagir Manan dan Harifin Tumpa.
Selaku
penanggungjawab tertinggi peradilan Indonesia, dia melempar badan
kepada juru bicaranya, Djoko Sarwoko untuk menepis semua isu miring
tentang institusi warisan kolonial Belanda ini.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar