Selasa, 28 Mei 2013

Divonis seumur hidup karena membunuh satu keluarga

Madiun (ANTARA News) - Terdakwa kasus pembunuhan satu keluarga di Madiun, Agus Basuki (35) divonis penjara seumur hidup oleh majelis hakim di Pengadilan Negeri (PN) Kabupaten Madiun, Jawa Timur, Selasa.

Vonis tersebut sesuai dengan tuntutan Jaksa Penuntut Umum yakni pasal 340 KUHP tentang pembunuhan berencana yang ancamannya hukuman mati atau penjara seumur hidup.

"Menyatakan Agus Basuki bin Kasiyono terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana pembunuhan berencana pada sepasang suami istri dan secara sengaja melakukan kekejaman yang telah mengakibatkan seorang anak mati. Menjatuhkan pidana kepada Agus basuki bin Kasiyono dengan hukuman penjara seumur hidup," ujar Ketua Majelis Hakim Ujiyati.

JPU Slamet Widodo dan Yusak langsung menerima putusan hakim ini.

"Hukuman seumur hidup itu sudah sesuai dengan isi dari dua pasal primer yang kami gunakan dalam tuntutan, yaitu Pasal 340 KUHP dan Pasal 80 ayat 3 Undang-Undang Nomor 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak," kata Slamet Widodo kepada wartawan.

Fakta persidangan membuktikan Agus tega membunuh Muhamad Giantoro (Ian) dan keluarganya karena takut penipuan dengan modus penggandaan uang yang dilakukannya terbongkar.

Agus membunuh Ian (35) dan istrinya Retno Sugiarti (35) yang sedang hamil lima bulan anak ketiganya, serta anak pertamanya Firstania Capolista (11) dengan racun potasium sianida.

Retno ditemukan tewas dalam sebuah taksi pada 9 Januari 2013 di Madiun, sedangkan Mohamad dan putrinya Firstania ditemukan pada 13 Januari 2013 wilayah hutan Desa Kuwiran, Kare, Kabupaten Madiun.

Ibu korban Ian, Suyati, langsung histeris dan pingsan setelah mendengar terdakwa dihukum penjara seumur hidup. Keluarga korban menilai hukuman itu tidak sebanding dengan empat nyawa yang telah dibunuh pelaku.

"Keluarga sangat kecewa. Kami berharap pelaku dihukum mati atas semua yang telah dilakukannya kepada keluarga anak saya," ucap ayah korban, Senen.

Usai pembacaan putusan, Agus dibawa ke kendaraan tahanan untuk dikembalikan ke Lapas Madiun dengan kawalan ketat polisi guna menghindari serangan dari keluarga korban yang emosional selama sidang berlangsung.

Senin, 27 Mei 2013

Terdakwa bom Depok dituntut hukuman 12 tahun penjara

Depok (ANTARA News) - Jaksa menuntut terdakwa kasus bom Beji Kota Depok Jawa Barat Ahmad Sofyan dengan hukuman penjara selama 12 tahun.

Jaksa juga menuntut dua terdakwa lainnya  yaitu Yusuf Rizaldi dengan 8 tahun penjara dan Agus Adillah 10 tahun  penjara.

"Tuntutan hukuman itu berbeda disesuaikan dengan peranan masing-masing dalam menjalankan aksi teror mereka," kata jaksa penuntut umum Ida Bagus Alit dalam sidang di Pengadilan Negeri Depok Senin.

Mereka dituntut berdasarkan UU No.12 tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme dan UU Darurat No. 12 tahun 1951.

Ia mengatakan Yusuf Rizaldi alias abu Toto dituntut lebih ringan karena perannya tidak terlalu menonjol, selain itu dia juga menyerahkan diri dan mengakui perbuatannya.

Ahmad Sofyan dituntut paling berat karena dia terlibat di semua peran, termasuk penyediaan alat dan bahan untuk merakit bom.

Pertimbangan jaksa yang meringankan yaitu karena mereka mengaku bersalah dan berjanji tidak akan mengulangi lagi perbuatan tersebut.

"Yang memberatkan karena mereka melakukan tindakan terorisme dan tindakannya membahayakan orang banyak," katanya.

Sementara itu kuasa hukum tiga terdakwa Muslim Bakrie mengatakan tuntutan tersebut terlalu tinggi karena peran mereka hanya sebagai pembantu.

Ia menjelaskan otak pelaku adalah Anwar yang tewas di Rumah Sakit Polri akibat peristiwa ledakan bom

Tak Puas Vonis Hakim, Pelaku Pembunuhan Siswa SMA 6 Akan Banding

VIVAnews - Kuasa hukum terdakwa Fitra Ramadhani alias Doyok (19), siswa SMA 70, mengaku tidak puas terhadap vonis tujuh tahun penjara yang dijatuhkan majelis hakim Pengadilan Negeri Jakarta Selatan.
"Kami akan banding. Kemudian menyurati Kapolri dan Kejaksaan Agung," ujar Kuasa Hukum Fitra, Nazarudin Lubis, seusai persidangan di Pengadilan Negeri Jakarta Selata, Jalan Ampera Raya, Senin 27 Mei 2013.

Nazarudin mengatakan pihaknya akan mengajukan banding karena adanya kekurangan satu alat bukti berupa arit. Menurutnya, barang bukti yang tertera dalam berita acara pemeriksaan polisi adalah dua buah arit dan pecahan botol.
Selain itu, menurut Nazarudin, peran Fitra tak lebih dari sekadar melukai tangan salah satu korban bernama Faruk. Di lain pihak, jaksa penuntut umum mangaku masih pikir-pikir dahulu dalam menanggapi vonis dari majelis hakim tersebut.

Fitra Ramadhani (FR) alias Doyok, terdakwa kasus pengeroyokan terhadap Alawy Yusianto Putra, siswa SMAN 6 dalam tawuran yang terjadi September 2012, dijatuhi vonis tujuh tahun penjara oleh majelis hakim Pengadilan Negeri Jakarta Selatan.

Fitra didakwa dengan pasal 170 ayat 2 dan 3 KUHP tentang pengeroyokan serta Pasal 351 ayat 3 jo pasal 55 ayat 1 KUHP tentang penganiayaan hingga menimbulkan kematian orang lain.

Sabtu, 18 Mei 2013

Tolak Eksekusi Tanah, Warga Tutup Jalan I Gusti Ngurah Rai

Edward Febriyatri Kusuma - detikNews

Jakarta - Warga Klender di sekitar Jalan I Gusti Ngurah Rai menolak digusur oleh Satpol PP. Buntut dari penolakan itu, ratusan warga mulai menutup jalan tersebut.

Ratusan warga itu sudah berkumpul dipinggir Jalan I Gusti Ngurah Rai, Jakarta Timur, Sabtu (18/5/2013) sejak pagi. Untuk menunjukkan ekspresi penolakan, warga mulai membakar ban di tengah jalan. Alhasil jalan di sekitar Mal Klender mengarah ke Pondok Kopi maupun ke Jatinegara sudah tidak dapat dilalui kendaraan sama sekali.

Salah seorang petugas Polsek Duren Sawit, Aiptu Priyono mengatakan berdasarkan pantauan kondisi di lapangan sudah mulai memanas. Priyono mengatakan hal itu dikarenakan sejumlah warga di sekitar jalan tersebut merasa telah memiliki tanah yang telah ditinggali selama bertahun-tahun di areal tanah seluas 10 hektar.

"Kondisi sudah mulai memanas, informasinya warga sudah ada yang mulai bakar ban di tengah jalan eksekusi lahan 10 hektar, dan sejumlah mobil dihentikan lalu diparkir memalang jalan tersebut," ujar Priyono.

Jumat, 17 Mei 2013

Amnesty Internasional nilai hukuman mati di Indonesia langkah mundur

London (ANTARA News) - Amnesty Internasional mendesak Indonesia untuk menghentikan eksekusi mati yang sudah direncanakan terhadap tiga orang, yang diperkirakan segera dilakukan karena ini akan menjadi kemunduran besar dalam urusan hukuman mati.

"Jika orang-orang tersebut dieksekusi maka ini akan menjadi kemunduran besar dalam urusan hukuman mati, di negeri yang terlihat bergerak menjauh dari praktik brutal dalam beberapa tahun belakangan, demikian disampaikan Josef Roy Benedict, Campaigner - Indonesia dan Timor-Leste Amnesty International Secretariat kepada ANTARA London, Kamis.

Menurut Kejaksaan Agung, Suryadi Swabuana, Jurit bin Abdullah, dan Ibrahim bin Ujang, akan dieksekusi mati bulan ini. Namun demikian, ada beberapa indikasi mereka bisa dieksekusi mati sesegera malam ini. Tiga orang tersebut sekarang ditempatkan di penjara isolasi di penjara Pulau Nusakambangan, Jawa Tengah, di mana mereka akan dieksekusi mati dengan regu tembak.

Amnesty International, badan internasional yang berkedudukan di Inggris itu menentang hukuman mati di semua kasus tanpa pengecualian. Pada kasus Indonesia, tidak ada indikasi yang jelas mengapa negeri ini telah memutuskan untuk melanjutkan eksekusi mati setelah jeda empat tahun.

Periode tersebut diakhiri pada 14 Maret tahun ini ketika seorang warga negara Malawi, Adami Wilson (48), dieksekusi mati untuk penyelundupan narkotika. Eksekusi mati ini dan tiga eksekusi mati yang akan segera terjadi nampaknya berlawanan dengan pernyataan dan tindakan sebelumnya yang diambil oleh pejabat pemerintah.

Pada Oktober tahun lalu, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono mengubah hukuman mati terhadap seorang bandar narkotika. Menteri Luar Negeri Marty Natalegawa menyatakan langkah tersebut merupakan bagian dari dorongan yang lebih besar untuk menjauh dari penggunaan hukuman mati di Indonesia.

Eksekusi mati ini juga merupakan upaya yang berlawanan dengan usaha Indonesia untuk meminta pengubahan hukuman mati warga negaranya yang menjadi terpidana mati di luar negeri, seperti di Arab Saudi dan Malaysia.

Eksekusi mati lainnya harus dihentikan. Eksekusi mati ini menjadi bahan pertanyaan atas reformasi hak asasi manusia dan komitmen yang dibuat oleh pemerintah Indonesia di tahun-tahun belakangan ini.


Warisan Positif

Peneliti Indonesia dari Amnesty International Papang Hidayat mengatakan ketika Presiden Yudhoyono berhenti dari jabatannya pada tahun depan, akan meninggalkan warisan positif soal hak asasi manusia, yang terjadi sekarang justru sebaliknya.

"Perkembangan-perkembangan terkait hukuman mati juga melemahkan peran positif yang telah dimainkan Indonesia di ASEAN dalam mempromosikan penghargaan yang lebih terhadap hak asasi manusia."

Suryadi Swabuana divonis dan dihukum mati pada 1992 untuk kasus pembunuhan sebuah keluarga di provinsi Sumatera Selatan. Grasi yang diajukannya ditolak pada 2003.

Jurit bin Abdullah dan Ibrahim bin Ujang divonis dan dihukum mati pada 1998 untuk kasus pembunuhan di kabupaten Musi Banyuasin, provinsi Sumatera Selatan.

Menurut pengacara mereka, Jurit dan Ibrahim mengajukan kembali grasi masing-masing pada 2006 dan 2008, tetapi belum menerima balasan dari Presiden.

Pada bulan Maret, setelah eksekusi mati Adami Wilson, Jaksa Agung mengumumkan rencana untuk mengeksekusi mati paling tidak sembilan orang lainnya di tahun ini yang sekarang mendapat hukuman mati.

Pihak berwenang tidak mengungkapkan nama-nama sembilan orang tersebut atau tanggal eksekusi mati mereka. Paling tidak ada 130 orang menjadi terpidana mati di Indonesia.

Hukuman mati di Indonesia dilakukan regu tembak dan terpidana mati memiliki pilihan untuk berdiri atau duduk, dan bisa menentukan apakah mata mereka ditutup kain atau kerudung, atau tidak sama sekali.

Regu tembak terdiri dari 12 orang, tiga di antaranya dilengkapi dengan senjata berpeluru tajam, sementara sembilan lainnya dengan peluru hampa. Regu tembak menembak dari jarak antara lima hingga sepuluh meter. Sementara 140 negara menghapuskan hukuman mati lewat hukum atau secara praktik di seluruh dunia, 17 di antaranya dari kawasan Asia Pasifik.(*)

Rabu, 15 Mei 2013

Penyerang Mapolres OKU divonis 3-4 tahun penjara

Palembang (ANTARA News) - Tiga oknum prajurit TNI dari Batalyon Artileri Medan, Martapura, Sumatera Selatan, yang menyerang Mapolres Ogan Komering Ulu (OKU) divonis 3-4 tahun penjara.

Para pelaku dengan inisial F, TN, dan ER itu dihukum oleh pengadilan militer sesuai dengan tingkat kesalahan mereka, kata Kapendam II/Sriwijaya, Kolonel Arm Jauhari Agus Suraji, Selasa.

Majelis hakim mendapati ketiga oknum TNI tersebut terbukti bertindak melawan hukum dengan melanggar pasal 170 KUHP dan 406 KUHP.

Selama proses hukum, pihak penegak hukum telah memeriksa 30 orang anggota TNI.

Total tersangka dalam kasus ini adalah 20 orang, dengan 19 di antaranya disidang di Palembang dan seorang tersangka berpangkat perwira disidangkan di pengadilan Mahkamah Militer di Medan.

Penyerangan terhadap Mapolres OKU terjadi pada Kamis (7/3). Aksi ini menyebabkan empat polisi terluka dan seorang petugas kebersihan Mapolres atas nama Edy Maryono  tewas.

Maryono meninggal setelah 10 hari dirawat di Rumah Sakit dr Noemir Baturaja.

Terdakwa kasus bioremediasi divonis lima tahun penjara

Pekanbaru (ANTARA News) - Ricksy Prematuri, terdakwa kasus dugaan korupsi proyek bioremediasi PT Chevron Pasific Indonesia (CPI) divonis bersalah dengan ganjaran penjara selama lima tahun dan denda sebesar Rp200 juta atau jika tidak dibayarkan (subsider) ditambah hukuman kurungan selama dua bulan.

Dalam sidang yang digelar di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta Selatan, Selasa (7/5) malam, majelis hakim yang diketuai oleh Sudharmawatiningsi memutuskan terdakwa bersalah telah melanggar aturan karena belum memiliki izin pengelolaan limbah.

Pernyataan majelis hakim ini berlawanan dengan Keputusan Menteri Lingkungan Hidup dan Undang-undang tentang lingkungan hidup yang menyatakan izin pengelolaan limbah hanya cukup pada perusahaan pengelola migas, sementara rekanan kontraktor tidak perlu lagi memiliki izin tersebut.

Untuk diketahui, terdakwa Ricksy merupakan Direktur PT Green Planet Indonesia (GPI) yang menjalankan proyek bioremediasi di Lapangan Minas, Kabupaten Siak, Riau.

"Perusahaan terdakwa merupakan rekanan yang juga diwajibkan untuk membayar uang pengganti kerugian negara sebesar 3,089 juta dollar AS, jika dalam waktu satu bulan setelah keputusan berkekuatan hukum tetap belum dibayar, hartanya akan disita untuk negara," kata majelis hakim.

Majelis hakim dalam sidang yang digelar hingga larut malam itu, menyatakan Ricksy telah bersalah melakukan tindak pidana korupsi sebagaimana dalam dakwaan primer yakni melanggar Pasal 2 Ayat (1) juncto Pasal 18 UU No 31 Tahun 1999 sebagaimana diubah dengan UU No 20 Tahun 2001 juncto Pasal 55 Ayat (1) ke-1 KUHPidana juncto Pasal 65 Ayat (1) KUHPidana.

Kerugian negara yang ditimbulkan dalam kasus ini diperkirakan oleh majelis hakim mencapai 3,089 juta dollar AS atau hampir setara dengan Rp30 miliar.

Vonis yang dijatuhi oleh majelis hakim untuk terdakwa lebih rendah dibandingkan tuntutan Jaksa Penuntut Umum (JPU).

JPU dari Kejaksaan Agung sebelumnya menuntut Direktur PT Green Planet Indonesia (GPI) Ricksy Prematuri dengan hukuman 12 tahun penjara dan denda Rp 1 miliar serta uang pengganti diwajibkan untuk perusahaannya membayar yakni sebesar 3,08 juta dollar AS.

Ketika itu, JPU menilai Ricksy terbukti memperkaya diri dari proyek bioremediasi pada tahun 2006-2012. PT GPI dinilai jaksa tidak memiliki kualifikasi pengolahan limbah hingga dianggap tidak melaksanakan bioremediasi sesuai dengan aturan yang berlaku.

Atas putusan majelis hakim, JPU berencana akan melakukan banding, sementara pihak terdakwa menyatakan masih pikir-pikir. (FZR)

Chevron panik dengan kasus bioremediasi

Pekanbaru (ANTARA News) - Lembaga kajian Duri Institute menyatakan, PT Chevron Pasific Indonesia panik dengan kasus dugaan korupsi proyek bioremediasi yang kini ditangani Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta.

"Chevron panik, sehingga mereka menggerakkan untuk membangun opini publik mulai dari kalangan perguruan tinggi, media massa dan masyarakat," ujar Koordinator Lembaga Kajian Duri Institute Agung Marsudi, melalui telepon seluler dari Pekanbaru, Selasa.

Opini publik sengaja dibangun, menurut dia, untuk meloloskan Chevron dalam sidang pengadilan yang bertujuan memuluskan dugaan korupsi yang dilakukan kontraktor bersama di perusahaan minyak dan gas bumi (migas) asal Amerika Serikat.

Apa yang dilakukan Chevron merupakan permainan yang diduga dilakukan oleh "akun" yang bekerja di perusahaan asing migas, termasuk bioremediasi selama ini.

Mengenai adanya dugaan fiktif di lapangan, dia tidak sepakat karena proyeknya ada berupa kegiatan bioremediasi. Tetapi dalam kasus tersebut, apa yang disebut fiktif berbeda pada kenyataan.

"Uang Chevron diganti oleh Negara, tetapi kegiatan tidak dilakukan. Suatu kegiatan yang dilakukan atau tidak dilakukan secara menyeluruh disebut fiktif. Berarti dalam kasus bioremediasi ada permainan `akun`," ucapnya.

Sebelumnya keluarga besar alumni Universitas Indonesia (UI), Institut Teknologi Bandung (ITB), Institut Pertanian Bogor (IPB) mendukung lima terdakwa kasus bioremediasi Chevron dan apa yang dilakukan terdakwa sesuai prosedur yang benar.

Kejaksaan Agung menahan Manajer Lingkungan Sumatera Light North (SLN) dan Sumatera Light South (SLS) Endah Rumbiyanti, Koordinator Environmental Issue Settlement Team Sumatera Light South Minas PT Chevron Kukuh Kertasafari dan Team Leader SLN Duri Provinsi Riau Widodo.

Herlan menjabat sebagai Direktur PT Sumigita Jaya, kontraktor pelaksana bioremediasi Chevron dan Ricksy Prematuri menjabat Direktur PT Green Planet Indonesia yang menjadi rekanan Chevron dalam proyek bioremediasi. (M046/M027)

Ada indikasi pelanggaran HAM dalam kasus bioremediasi

Pekanbaru, Riau (ANTARA News) - Komisioner Komisi Nasional Hak Asasi Manusia, Natalius Pigai, menyatakan, ada indikasi pelanggaran HAM dalam penanganan kasus Proyek Bioremediasi PT Chevron Pasific Indonesia (CPI) yang ditangani Kejaksaan Agung.

"Kami sudah menyiapkan bahan hasil penyelidikan Komnas HAM setebal 400 halaman. Komnas HAM menemukan beberapa indikasi pelanggaran HAM dalam penanganan kasus bioremediasi ini. Yang mencolok adalah diskriminasi di hadapan hukum dan peradilan," kata Pigai, dalam surat elektronik di Pekanbaru, Minggu.

Komnas HAM telah meminta keterangan dari berbagai pihak antara lain Chevron selaku korporasi, 18 orang karyawan Chevron, SKK Migas, BPKP, BPK, KLH, Kementerian ESDM, dan berkoordinasi dengan Komisi Kejaksaan dan IPA.

Edison Effendi selaku pelapor untuk kasus tersebut, sekaligus saksi ahli yang dihadirkan Jaksa Penuntut Umum (JPU) saat persidangan, sudah dipanggil tiga kali tapi tidak datang dan tidak ada keterangan yang jelas.

Edison Effendi sebelumnya juga dinyatakan sebagai saksi ahli yang tidak berkompeten. Selain sebagai pelapor, Edison juga merupakan pejabat perusahaan yang kalah tender terkait proyek bioremediasi di Chevron Wilayah Provinsi Riau.

Corporate Communication Manager Chevron, Dony Indrawan, sangat mendukung upaya Komnas HAM dan berharap rekomendasi Komnas HAM segera disampaikan ke publik.

"Kami melihat dan mencatat berbagai kejanggalan dalam proses penanganan kasus ini oleh Kejagung dan juga proses peradilan yang tengah berlangsung. Kami mendukung penuh upaya karyawan, kontraktor dan keluarga untuk melaporkan adanya dugaan pelanggaran HAM sebagai hak warga negara yang harus dihormati dan dilindungi," kata Indrawan.

Dia mengatakan, kejanggalan ini sudah tercium sejak awal seperti yang sudah diputuskan empat hakim praperadilan bahwa penahanan Kukuh Kertasafari, Endah Rumbiyanti, Widodo dan Bachtiar Abdulfatah tidak sah sehingga mereka dibebaskan setelah 62 hari ditahan bahkan Bachtiar dibebaskan dari statusnya sebagai tersangka karena dianggap Hakim tidak berdasar.


Menurut Pigai, berdasarkan penyelidikan dan investigasi mendalam oleh para penyidik Komnas HAM, ditemukan beberapa indikasi kuat pelanggaran HAM.

Yang pertama, demikian Natalius, proyek biormediasi adalah proyek perusahaan atau korporasi yang mekanisme pengadaan, perencanaan dan persetujuannya mengikuti mekanisme PSC Migas sehingga pertanggungjawabannya ada pada level korporasi yaitu pimpinan korporasi/perusahaan.

Kemudian yang kedua, lanjut kata Natalius, CPI mengacu pada Production Sharing Contract (PSC) dalam menjalankan proyek korporasi ini yang memiliki klausul.

"Terkait adanya perbedaan penafsiran soal kebutuhan, kerugian, dan segala macam, itu mekanismenya adalah perdata seperti yang diatur dalam kontrak tersebut. Kalau tidak bisa diselesaikan secara perdata maka dibawa ke arbitrase."

Ketiga, kata dia, semua terdakwa tidak memenuhi unsur sebagai pihak yang dapat dimintai pertanggung jawaban sebagai korporasi.

Dimana, katanya lagi, CPI telah menjelaskan bahwa proyek ini adalah proyek korporasi dan tidak ada karyawan yang melakukan kesalahan.

"Jika Kejaksaan Agung menganggap ada masalah, maka yang seharusnya dimintai pertanggung jawaban adalah pimpinan korporasi, bukan karyawannya. Oleh karenanya penetapan tersangka dalam kasus proyek ini salah sasaran," katanya.

Selanjutnya, indikasi keempat yakni KLH telah menyampaikan bahwa tidak ada masalah dan pelanggaran soal izin baik oleh CPI maupun kontraktornya.

"CPI telah memiliki izin dan KLH membolehkan CPI meneruskan proyek bioremediasi saat perpanjangan izin belum keluar dan ada berita acaranya. Soal jaksa bilang kontraktor tidak berizin, KLH menjelaskan kontraktornya memang tidak perlu izin karena izin hanya diberikan kepada CPI yang memiliki limbah, bukan kontraktor," katanya.

Kelima, lanjut kata Natulius, Kejagung mengambil sampel tanah dari 2 SBF, menilai bermasalah tapi menyimpulkan bahwa seluruh proyek di 9 SBF bermasalah.

Para ahli yang dimintai keterangan oleh Komnas HAM mengatakan tidak bisa metodologi pengambilan sample seperti itu digunakan karena sampel pada dua SBF tidak dapat mewakili sembilan SBF yang jaraknya saling berjauhan dan bisa berjam-jam untuk menempuhnya dan logika ini tidak dapat diterima.

Kerugian negara sebesar 9,9 juta dolar Amerika Serikat yang dihitung BPKP didasarkan pembayaran kepada kontraktor atas pekerjaan di 9 SBF bukan hanya 2 SBF dan hal ini janggal, kata Natalius.

Yang Keenam, demikian Natalius, yakni adanya dugaan korupsi karena ahli Kejaksaan Agung, Edison Effendi mengatakan bahwa yang boleh dibioremediasi hanya yang TPH-nya 7,5 persen sampai 15 persen, di luar itu tidak boleh.

Untuk diketahui, bahwa KLH telah menjelaskan tidak pernah disebutkan dalam Kepmen 128/2003 bahwa TPH minimal 7,5 persen. Sesuai Keputusan Menteri (Kepmen), yang boleh dibioremediasi yang TPH-nya diatas 1 persen maksimal 15 persen.

"Dari situ kami menemukan bahwa dakwaan jaksa penuntut umum salah," katanya.

Yang ketujuh, kata dia, ada konflik kepentingan dari ahli Kejagung, Edison Effend, dimana Edison adalah saksi ahli, tapi dia datang ke persidangan sebagai saksi fakta dan juga ke lapangan sehingga tidak jelas statusnya sebagai saksi (fakta) atau ahli.

Kemudian Edison Effendi juga pernah terlibat dalam proyek bioremediasi yang gagal di CPI tahun 2004 serta gagal pada tender proyek bioremediasi CPI 2007 dan 2011.

Seorang karyawan CPI katanya juga mengaku sempat mendengar perkataan Edison pada tender 2011 yang bunyinya kurang lebih: "Awas, saya juga butuh makan."

Yang paling parah, kata Natalius, audit kerugian negara sebagai dasar pengenaan kasus korupsi harus dilakukan oleh BPK RI, dan tidak bisa oleh BPKP, namun Kejagung justru memaksakan diri melakukan analisa sendiri.

Selain itu, terkait dugaan korupsi pada pembayaran cost recovery, seharusnya merujuk pada mekanisme PSC yang merupakan ranah perdata dan penyelesaiannya melalui audit atau arbitrase bukan dibawa sebagai kasus pidana, demikian Natalius.  

Mantan Sekretaris DPRD divonis satu tahun

Yogyakarta (ANTARA News) - Majelis Hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Yogyakarta menjatuhkan vonis satu tahun penjara kepada mantan Sekretaris Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten Gunung Kidul, Yogyakarta periode 1999--2004, Aris Purnomo (55).

"Menyatakan terdakwa terbukti secara meyakinkan melanggar Pasal 3 UU No 31 Tahun 1999 tentang tindak pidana korupsi secara bersama. Majelis hakim menjatuhkan pidana selama satu tahun penjara dengan mengganti biaya perkara Rp5.000," kata Ketua Majelis Hakim IG Eko Purwanto dalam sidang putusan di Yogyakarta, Selasa petang.

Dalam putusan tersebut hakim berkesimpulan bahwa terdakwa sebagai pengguna APBD Gunung Kidul periode 1999--2004 menyetujui serta melakukan pembiaran terhadap penyaluran dana untuk pos anggaran yang dipersoalkan.

Pos anggaran yang dipersoalkan antara lain berupa dana tunjangan khusus operasional fraksi, perawatan kesehatan, dan asuransi tanpa menyertakan bukti pembayaran.

"Biaya asuransi yang seharusnya dibayarkan sendiri oleh masing-masing anggota Dewan, malah dimintakan dari kas daerah," katanya.

Hal tersebut membuktikan bahwa terdakwa telah melakukan upaya untuk memperkaya diri sendiri, orang lain, atau korporasi.

Dalam kasus tersebut terdakwa dan 33 anggota DPRD Gunung Kidul terbukti merugikan kas negara sebesar Rp3,465 miliar.

Putusan yang dijatuhkan oleh majelis hakim tersebut, lebih ringan dari tuntutan yang diajukan oleh Jaksa Penuntut Umum (JPU) sebelumnya yakni selama empat tahun tiga bulan penjara.

Setelah pembacaan putusan, Ketua Majelis Hakim memberikan kesempatan terdakwa untuk mengajukan banding.

"Kami memberikan waktu tujuh hari untuk berfikir, memberi kesempatan terdakwa apabila ingin mengajukan banding," katanya.

Sementara itu, penasehat hukum terdakwa, Sapta Utama usai persidangan mengaku tidak puas serta keberatan dengan putusan hakim.

Menurut Sapta, terdakwa hanya menjalankan anggaran dari periode sebelumnya serta tidak menikmati aliran dana yang dipersoalkan tersebut.

"Terdakwa hanya bertindak sebagai pelaksana APBD. Terdakwa tidak berwenang untuk memutuskan atau menolak menjalankan APBD yang ditentukan oleh bendahara daerah," katanya.

Selanjutnya, kata dia, pihaknya dan terdakwa akan melakukan perundingan terkait kem

Rabu, 08 Mei 2013

Kontraktor Chevron Divonis Lima Tahun Penjara

INILAH.COM, Jakarta - Direktur PT Green Planet Indonesia (GPI) Ricksy Prematuri divonis hukuman 5 tahun penjara oleh majelis hakim pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor).
Majelis hakim juga menjatuhkan hukuman membayar denda Rp200 juta subsider 2 bulan kurungan dan diwajibkan membayar uang pengganti US$ 3,089.
Hakim menilai dalam proyek bioremediasi PT Chevron Pacific Indonesia (CPI) Ricksy terbukti melakukan pidana korupsi. Ricksy dinilai terbukti bersalah melanggar hukum lantaran perusahaannya tidak mengantongi izin pekerjaan bioremediasi.

Hal tersebut sebagaimana tertuang dalam UU Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup dan PP Nomor 18 Tahun 1999 tentang Pengelolaan Limbah Berbahaya dan Beracun.

"Menyatakan terdakwa Ricksy Prematuri terbukti secara sah dan meyakinkan melakukan tindak pidana korupsi secara bersama-sama dan berlanjut. Terdakwa mengetahui PT GPI bukan perusahaan pengolahan limbah bioremediasi yang mendapat izin Kementerian Lingkungan Hidup tapi tetap melakukan pengerjaan pengolahan limbah," ucap hakim ketua Sudharmawatiningsih saat membacakan amar putusan di Pengadilan Tipikor, Jakarta, Selasa (7/5/2013) malam.

Hakim menyatakan terdakwa Ricksy Prematuri terbukti bersalah melanggar Pasal 2 Ayat (1) jo Pasal 18 UU Pemberantasan Korupsi jo Pasal 55 Ayat (1) ke-1 KUHPidana jo Pasal 65 Ayat (1) KUHPidana sebagaimana dalam dakwaan primer.

Dalam uraiannya, Hakim menerangkan bahwa pelaksanaan pekerjaan bioremediasi tahun 2006-20011 yang dilakukan PT GPI tidak sesuai dengan Keputusan Menteri Lingkungan Hidup Nomor 128/2003 tentang Tata Cara dan Persyaratan Teknis Pengolahan Limbah.

Dalam proyek tersebut negara dirugikan US$ 3,089 juta. Sebab, Kerugian tersebut terjadi lantaran PT Chevron memperhitungkan biaya proyek bioremediasi dengan mekanisme cost recovery.

Vonis itu sendiri lebih ringan dibanding tuntutan jaksa penuntut umum pada Kejaksaan Agung (Kejakgung). Jaksa sebelumnya menuntut Ricksy dengan hukukan pidana 12 tahun penjara dan denda Rp 1 miliar subsider enam bulan kurungan. [gus]

Senin, 06 Mei 2013

Jika Tak Dilaporkan ke KPK, Gitar Metallica Jokowi Bisa Dikatakan Suap

Ray Jordan - detikNews

Jakarta - Gubernur DKI Jakarta, Joko Widodo (Jokowi) diminta untuk segera melaporkan gitar pemberian dari personel band Metallica kepada Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Sebab jika lebih dari masa 30 hari setelah menerima pemberian tidak dilaporkan ke KPK, maka barang tersebut bisa dikategorikan sebagai bentuk suap.

"Iya, itu gratifikasi, dan gratifikasi itu sebetulnya masih abu-abu, bisa legal bisa juga ilegal. Namun, jika lebih dari 30 hari setelah diterima tidak dilaporkan ke KPK, maka itu bisa dikatakan sebagai suap. Meskipun itu hanya gitar bekas yang mungkin nilainya tidak lebih dari Rp 10 juta," ujar salah satu koordinator Indonesia Corruption Watch (ICW), Danang Widyoko saat berbincang dengan detikcom, Senin (6/5/2013).

Namun demikian, jika sudah dikategorikan sebagai suap, hal itu juga masih perlu pembuktian, apakah terkait dengan proyek tertentu atau suatu harapan yang berkaitan dengan jabatannya.

"Suap itu bisa diperiksa lagi apakah terkait dengan suatu harapan atau bagaimana. Jadi itu harus dilaporkan ke KPK dan KPK yang akan menentukan itu bisa diterima atau diambil oleh negara," terang Danang.

sebelumnya diberitakan, Gubernur DKI Jakarta, Joko Widodo (Jokowi) baru-baru ini mendapat kado istimewa, sebuah gitar bass dari salah seorang personel grup band rock Metallica, Robert Trujillo. Jokowi pun diminta untuk segera melaporkan pemberian tersebut kepada KPK.

Gitar bass tersebut bermerek Ibanez warna merah marun yang diberikan Trujillo melalui rekan Jokowi yang juga seorang promotor acara musik, Jonathan Liu. Gitar tersebut juga telah diperlihatkan Jokowi kepada publik pada Jumat (3/5) lalu di gedung Balaikota DKI.

KPK Apresiasi Transparansi Jokowi yang Dapat Hadiah Gitar Bass Metallica

Ray Jordan - detikNews

Jakarta - Gubernur DKI Jakarta, Joko Widodo (Jokowi) mendapat kado istimewa berupa gitar bass dari salah seorang personel grup band rock, Metallica, Robert Trujillo. Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) pun mengapresiasi sikap Jokowi yang mau secara terbuka menyampaikan dan memperlihatkan pemberian tersebut kepada publik.

"Pak Jokowi telah memberikan contoh yang baik dengan transparansi atas pemberian gratifikasi tersebut dan tidak menyembunyikannya," ujar Direktur Gratifikasi KPK, Giri Supradiyono melalui pesan singkatnya kepada detikcom, Minggu (5/6/2013) malam.

Meski demikian, Giri pun mengimbau kepada Jokowi untuk segera melaporkan pemberian tersebut kepada KPK. Dan nanti KPK akan memutuskan apakah Jokowi berhak untuk menerima hadiah tersebut atau barang tersebut menjadi milik negara.

"Menurut undang-undang, wajib dilaporkan sebelum 30 hari sejak diterimanya gratifikasi tersebut," ujar Direktur Gratifikasi KPK. Jadi, KPK nanti akan menetapkan status boleh diterima gratifikasi tersebut oleh Pak Jokowi atau menjadi milik negara dalam jangka waktu 30 hari oleh pimpinan KPK," terang Giri.

Giri menambahkan, kepatuhan kepala daerah untuk melaporkan setiap pemberian atau hadiah, dalam bentuk uang maupun barang lainnya kepada KPK masih terbilang rendah. Padahal, lanjut Giri, gaji dan tunjangan gubernur terbilang cukup besar.

"Kalau untuk gratifikasi acara pernikahan cukup baik (dilaporkan). Sayangnya keasadaran melaporkan gratifikasi dalam bentuk uang terima kasih dan pemberian lain terkait jabatan relatif rendah," terang Giri.

Seperti diketahui, beberapa waktu lalu Jokowi menerima hadiah berupa gitar bass merek Ibanez berwarna merah marun dari salah seorang personel band rock asal Amerika, Metallica. Gitar tersebut juga telah diperlihatkan Jokowi kepada publik pada Jumat (3/5) lalu di gedung Balaikota DKI.

"Nih gitarnya, bagus sekali, ada tanda tangan Trujillo," kata Jokowi.

Gitar tersebut diterima Jokowi melalui seorang promotor musik Jonatahan Liu yang mengaku juga dekat dengan grup band Metallica. Jonathan sendiri berencana untuk menggelar acara konser musik rock Metallcia yang dipadukan dengan musik dan tari tradisonal khas Bali, Kecak.

Rencana konser 'Kecak Rock' itu disambut antusias oleh Jokowi. Jokowi pun kemudian menyarankan tiga tempat di Jakarta sebagai tempat penyelenggaraan konser tersebut, yaitu di Monumen Nasional (Monas), Museum Fatahillah atau Taman Mini Indonesia Indah (TMII).

Mantan Wali Kota Jambi divonis 15 bulan

Jambi (ANTARA News) - Mantan Wali Kota Jambi Arifien Manap divonis satu tahun tiga bulan atau 15 bulan penjara dalam kasus korupsi pengadaan dua unit mobil pemadam kebakaran yang merugikan negara Rp1,2 miliar pada 2004.

Keputusan majelis hakim Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jambi, diketuai Eliyati, Jumat, terhadap terdakwa Arifien Manap itu lebih rendah empat bulan dibandingkan tuntutan 19 bulan penjara yang diajukan Jaksa Penuntut Umum.

Selain mantan Wali Kota Jambi, Arifien Manap, majelis hakim Tipikor yang sama juga memvonis hukuman satu tahun tiga bulan penjara terhadap dua terdakwa lainnya, yakni Zulkifli Somad mantan Ketua DPRD Kota Jambi dan mantan Kadis Damkar, Arifuddin Yasak.

Dalam persidangan terungkap ketiga terdakwa terbukti bersalah melakukan tindak pidana korupsi bersama-sama dan menguntungan seseorang atau orang lain.

Terdakwa Arifien Manap bersama-sama dengan terdakwa lainnya yakni Zulkifli Somad dan Arifuddin Yasak juga telah terbukti bersalah melanggar Pasal 3 ayat 1 Undang-undang Nomor 31/1999 tentang Tipikor sebagaimana diubah dengan Undang-undang Nomor 20 tahun 2001 jo Pasal 55 ayat (1) ke (1) KUHP.

Berdasarkan keterangan saksi mantan pejabat Pemerintah Kota Jambi mereka menyebutkan perbuatan para terdakwa melanggar tindak pidana korupsi.

Peran mantan Wali Kota Arifien Manap dalam kasus ini menyampaikan nota keuangan di sidang paripurna DPRD Jambi tidak diusulkan namun dibahas pada APBDP 2004 Kota Jambi untuk mengajukan anggaran pengadaan dua unit mobil Damkar yang disahkan DPRD Kota Jambi dan disetujui oleh Zulkifli Somad sebagai ketua dewan saat itu.

Kedua terdakwa juga menyetujui untuk mengajukan anggaran dua unit mobil damkar dengan menandatangani anggaran tersebut.

Setelah disetujui anggarannya maka dilaksanakanlah proyek tersebut dan meminta Arifuddin Yasak yang saat itu sebagai kepala Dinas Pemadam Kebakaran Kota Jambi untuk melaksanakan proyek pengadaan mobil damkar senilai Rp1,2 miliar.

Pengadaan mobil damkar tersebut sesuai dengan surat telegram dari Mendagri atas pengadaan mobil damkar oleh PT Istana Raya yang sudah datang sebelum dananya dianggarkan.

Terdakwa dalam kasus ini adalah menyetujui akan dilaksanakannya pengadaan mobil damkar tersebut dan telah minta kepada Kepala Dinas Pemadam Kebakaran Kota Jambi, Arifuddin Yasak, yang juga terdakwa dalam kasus ini, untuk melaksanakan proyek tersebut tanpa mengikuti proses dalam pengadaan proyek.

Mereka dianggap bertanggung jawab mengakibatkan kerugian negara sekitar Rp 1,2 miliar.

Sidang kedua terdakwa yang didampingi kuasa hukumnya dilanjutkan pekan depan untuk mendengarkan pembelaan.

Kamis, 02 Mei 2013

PTUN: Laporan Audit BPKP di Kasus IM2 Cacat Hukum

VIVAnews - Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) mengabulkan gugatan Indar Atmanto, mantan Dirut IM2, Indosat, dan IM2 terkait laporan audit Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) yang menyatakan adanya kerugian negara senilai Rp1,3 triliun dalam kasus dugaan penyalahgunaan frekuensi radio 2.1 GHz/3G oleh Indosat dan IM2.

Juru bicara Indosat, Adrian Prasanto, dalam keterangan tertulis, Rabu, 1 Mei 2013, menjelaskan majelis hakim menyatakan laporan audit BPKP tidak sah dan cacat secara hukum.

"Dengan adanya putusan dari PTUN ini maka secara otomatis hasil audit BPKP tidak bisa digunakan sebagai obyek dalam kasus dugaan pidana korupsi yang dituduhkan kepada ketiganya," katanya.

Keputusan ini mempertegas putusan sela pada 7 Februari 2013 lalu. Saat itu, Majelis Hakim PTUN mengabulkan permohonan yang diajukan oleh Indar Atmanto, PT Indosat Tbk dan IM2 untuk menunda pelaksanaan keputusan BPKP atas kasus IM2.
Dalam perkara IM2, BPKP mengeluarkan pernyataan adanya kerugian negara senilai Rp 1,3 triliun.

Sementara, proses persidangan dugaan korupsi yang dalam kasus ini dengan terdakwa mantan Dirut IM2 Indar Atmanto, juga sedang berlangsung di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) dimana hampir semua saksi yang diajukan oleh Jaksa Penuntut Umum (JPU) semakin meringankan terdakwa.

Sebagai informasi Laporan BPKP menyebut adanya kerugian negara hingga Rp1,3 triliun dari kerjasama Indosat dan IM2 merupakan alat bukti paling pokok yang digunakan Kejaksaan Agung untuk mendakwa mantan Dirut Indosat Indar Atmanto melakukan tindak pidana korupsi.

"Dengan adanya penetapan PTUN ini maka alat bukti tersebut (laporan BPKP) otomatis tidak bisa digunakan sebagai alat bukti pokok," katanya.

MA Jatuhi Hukuman Mati Pembunuh Kejam Ibu & Anak yang Dibakar

Andi Saputra - detikNews

 Jakarta - Palu hakim agung diketok keras. Dengan tegas, 3 hakim agung menjatuhkan vonis mati terhadap Rahmat Awafi (26), pembunuh kejam ibu dan anak yang dimutilasi dan dimasukkan ke dalam koper.

Vonis ini lebih berat dari tuntutan jaksa penuntut umum yang menuntut Rahmat dijatuhi hukuman penjara seumur hidup.

"Mengabulkan kasasi jaksa, mengadili sendiri menjatuhkan hukuman mati," kata sumber resmi detikcom di peradilan, (1/5/2013).

Perkara nomor 254 K/PID/2013 diadili pada 30 April 2013 dengan ketua majelis hakim Timur Manurung dan anggota Dr Dudu D Machmuddin dan Prof Dr Gayus Lumbuun. Di Pengadilan Negeri Jakara Utara (PN Jakut) dan Pengadilan Tinggi Jakarta, Rahmat hanya divonis 15 tahun penjara.

"Putusan bulat, tidak ada perbedaan pendapat (dissenting opinion)," paparnya.

Rahmat membunuh Hertati pada 14 Oktober 2011 dengan cara membekapnya hingga lemas. Kemudian menusuk perut Hartati dengan sebilah pisau. Anak Hertati, ER, juga dihabisi setelah melihat ibunya tewas.

Kedua mayat tersebut dibuang di 2 tempat terpisah yaitu di Jalan Kurnia, Gang D, Koja, Jakarta Utara dan di kawasan Cakung, Jakarta Timur, setelah dimasukkan ke dalam koper dan kardus.