London (ANTARA News) - Amnesty Internasional mendesak Indonesia untuk menghentikan eksekusi mati yang sudah direncanakan terhadap tiga orang, yang diperkirakan segera dilakukan karena ini akan menjadi kemunduran besar dalam urusan hukuman mati.

"Jika orang-orang tersebut dieksekusi maka ini akan menjadi kemunduran besar dalam urusan hukuman mati, di negeri yang terlihat bergerak menjauh dari praktik brutal dalam beberapa tahun belakangan, demikian disampaikan Josef Roy Benedict, Campaigner - Indonesia dan Timor-Leste Amnesty International Secretariat kepada ANTARA London, Kamis.

Menurut Kejaksaan Agung, Suryadi Swabuana, Jurit bin Abdullah, dan Ibrahim bin Ujang, akan dieksekusi mati bulan ini. Namun demikian, ada beberapa indikasi mereka bisa dieksekusi mati sesegera malam ini. Tiga orang tersebut sekarang ditempatkan di penjara isolasi di penjara Pulau Nusakambangan, Jawa Tengah, di mana mereka akan dieksekusi mati dengan regu tembak.

Amnesty International, badan internasional yang berkedudukan di Inggris itu menentang hukuman mati di semua kasus tanpa pengecualian. Pada kasus Indonesia, tidak ada indikasi yang jelas mengapa negeri ini telah memutuskan untuk melanjutkan eksekusi mati setelah jeda empat tahun.

Periode tersebut diakhiri pada 14 Maret tahun ini ketika seorang warga negara Malawi, Adami Wilson (48), dieksekusi mati untuk penyelundupan narkotika. Eksekusi mati ini dan tiga eksekusi mati yang akan segera terjadi nampaknya berlawanan dengan pernyataan dan tindakan sebelumnya yang diambil oleh pejabat pemerintah.

Pada Oktober tahun lalu, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono mengubah hukuman mati terhadap seorang bandar narkotika. Menteri Luar Negeri Marty Natalegawa menyatakan langkah tersebut merupakan bagian dari dorongan yang lebih besar untuk menjauh dari penggunaan hukuman mati di Indonesia.

Eksekusi mati ini juga merupakan upaya yang berlawanan dengan usaha Indonesia untuk meminta pengubahan hukuman mati warga negaranya yang menjadi terpidana mati di luar negeri, seperti di Arab Saudi dan Malaysia.

Eksekusi mati lainnya harus dihentikan. Eksekusi mati ini menjadi bahan pertanyaan atas reformasi hak asasi manusia dan komitmen yang dibuat oleh pemerintah Indonesia di tahun-tahun belakangan ini.


Warisan Positif

Peneliti Indonesia dari Amnesty International Papang Hidayat mengatakan ketika Presiden Yudhoyono berhenti dari jabatannya pada tahun depan, akan meninggalkan warisan positif soal hak asasi manusia, yang terjadi sekarang justru sebaliknya.

"Perkembangan-perkembangan terkait hukuman mati juga melemahkan peran positif yang telah dimainkan Indonesia di ASEAN dalam mempromosikan penghargaan yang lebih terhadap hak asasi manusia."

Suryadi Swabuana divonis dan dihukum mati pada 1992 untuk kasus pembunuhan sebuah keluarga di provinsi Sumatera Selatan. Grasi yang diajukannya ditolak pada 2003.

Jurit bin Abdullah dan Ibrahim bin Ujang divonis dan dihukum mati pada 1998 untuk kasus pembunuhan di kabupaten Musi Banyuasin, provinsi Sumatera Selatan.

Menurut pengacara mereka, Jurit dan Ibrahim mengajukan kembali grasi masing-masing pada 2006 dan 2008, tetapi belum menerima balasan dari Presiden.

Pada bulan Maret, setelah eksekusi mati Adami Wilson, Jaksa Agung mengumumkan rencana untuk mengeksekusi mati paling tidak sembilan orang lainnya di tahun ini yang sekarang mendapat hukuman mati.

Pihak berwenang tidak mengungkapkan nama-nama sembilan orang tersebut atau tanggal eksekusi mati mereka. Paling tidak ada 130 orang menjadi terpidana mati di Indonesia.

Hukuman mati di Indonesia dilakukan regu tembak dan terpidana mati memiliki pilihan untuk berdiri atau duduk, dan bisa menentukan apakah mata mereka ditutup kain atau kerudung, atau tidak sama sekali.

Regu tembak terdiri dari 12 orang, tiga di antaranya dilengkapi dengan senjata berpeluru tajam, sementara sembilan lainnya dengan peluru hampa. Regu tembak menembak dari jarak antara lima hingga sepuluh meter. Sementara 140 negara menghapuskan hukuman mati lewat hukum atau secara praktik di seluruh dunia, 17 di antaranya dari kawasan Asia Pasifik.(*)