Kamis, 22 Mei 2014

Hendra Mengaku Sempat Disogok Putra Syarief Hasan

Oleh: Indra Hendriana

INILAHCOM, Jakarta - Terdakwa kasus dugaan korupsi pengadaan alat Videotron di Kementerian Koperasi dan UKM pernah ditawari uang senilai Rp 100 juta oleh Dirut PT Rifuel, Riefan Avrian.
Uang itu, diberikan sebagai uang tutup mulut supaya Hendra tidak membeberkan keterlibatan Riefan yang juga putra Menteri Koperasi dan UKM, Syarief Hasan.

Penegasan tersebut disampaikan Riefan setelah menjalani sidang di Pengadilan Tipikor Jakarta, Rabu (21/5/2014). Menurut dia, uang itu disampaikan oleh pengacara Riefan, Albani yang mendatangi rumahnya.

"Iya sempat ditawari pengacara dari Riefan. Namanya Albani. Dia sempat tawari uang Rp 100 juta biar saya pasang badan, jangan bawa-bawa nama Riefan dalam kasus ini. Namun, saya tidak mau," kata Hendra.

Hendra pun menolak permintaan tersebut. Sebab, dia merasa sudah dikorbankan oleh Riefan. "Yang nawarin Albani atas perintah Riefan. Biar saya enggak bilang Riefan biangnya," ujar Hendra.

Saat disinggung ihwal pemeriksaan Riefan sebagai tersangka di Kejaksaan Tinggi DKI Jakarta hari ini, Hendra tidak mau banyak komentar. Tetapi, Hendra cuma punya satu harapan buat Riefan.

"Saya harap segera ditahan," tandasnya.[ris]

Sengketa Pilkada Kembali ke MA

Oleh: Fadly Dzikry

INILAHCOM, Jakarta - Bekas Hakim Agung Laica Marzuki khawatir, sengketa penanganan perselisihan hasil pemilihan umum (PHPU) kepala daerah kembali ke Mahkamah Agung (MA).

"Karena bagi saya pemeriksaan sengketa pilkada jangan seperti dulu di MA yang tertutup. Itu harus melalui sidang terbuka. Kalau tertutup nanti bisa masuk angin," kata dia di Dedung Dewan Pers, Jakarta Pusat, Rabu (21/5/2014).

Bekas hakim konstitusi ini, juga tidak sepakat jika Mahkamah Konstitusi (MK) mengembalikan kewenangan sengketa pilkada ke MA, karena kasus Akil Mochtar.

"Dan kejadian Akil juga tidak bisa dijadikan pegangan. Karena itu menyangkut sistem, sistem peradilan," ungkapnya.

Untuk diketahui, MK menyerahkan ke DPR untuk memberikan kewenangan penanganan sengketa pilkada ke lembaga tertentu.

Lembaga pengawal konstitusi itu, menghapus pasal 236 C Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2008 tentang Pemerintahan Daerah (UU Pemda), tentang penyerahan wewenang Mahkamah Agung menggelar sengketa pilkada ke MK, dan pasal 29 ayat 1 huruf e Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman.[ris]

Bagir Manan Minta Ada Lembaga Baru Tangani Sengketa Pilkada

Rina Atriana - detikNews

Jakarta - Terdapat pro dan kontra terkait Mahkamah Konstitusi (MK) yang memutuskan untuk tidak mengadili sengketa Pilkada lagi. Menurut mantan ketua Mahkamah Agung (MA), Bagir Manan, MK seharusnya tidak boleh memutus perkara yang berkaitan dengan lembaganya sendiri.

"Menurut saya yang prinsipil tidak boleh hakim memutus perkara untuk kepentingan sendiri, orang tidak boleh menjadi hakim bagi kepentingannya sendiri, ini konflik of interest," kata Bagir Manan, usai diskusi bertema Mengembalikan Keagungan MA, di Gedung Dewan Pers, Jl Kebon Sirih, Jakarta Pusat, Rabu (21/5/2014).

Bagir yang kini menjabat Ketua Dewan Pers ini menyatakan, MK tidak boleh melepas kewenangan dengan menggunakan kewenangan sendiri. Hal itu sangat prinsipil dan harus diperhatikan efeknya.

"Dia harus diselesaikan dengan undang-undang, tidak boleh dengan putusannya sendiri," ujar Bagir.

Menurut Bagir, ia termasuk yang setuju sengketa Pilkada dibuatkan lembaga khusus. Lembaga mandiri tersebut tidak usah diberi label pengadilan.

"Jadi lembaga menyelesaikan sengketa pilkada, sebab sama saja nanti dibawa ke MA nanti ada penyakitnya lagi. Saya ingin menghindarkan dua badan peradilan ini karena bagi saya perkara pilkada ada unsur kepentingan politik, itu harus dijauhkan," tuturnya.

Selasa, 20 Mei 2014

Selundupkan Orang ke Australia, Anggota Paspampres Dibui 5 Tahun & Dipecat

Andi Saputra - detikNews

Jakarta - Anggota Pasukan Pengaman Presiden (Paspampres) Kopda Amin Rumakmur dihukum 5 tahun penjara dan dipecat dari TNI. Amin dihukum karena menyelundupkan imgran gelap ke Australia.

Kasus bermula saat Amin berkenalan dengan warga Turki, Habib pada Juli 2011 di Sarinah, Jakarta. Dari perkenalan itu, lantas Habib meminta bantuan Amin untuk mengawal rombongan imigran gelap asal Timur Tengah pada 29 Oktober 2011. Sebagai imbalannya, Amin akan dapat kompensasi Rp 15 juta.

Permintaan ini disanggupi dan Amin lalu mencari bus untuk membawa 128 imigran gelap dari Jakarta-Trenggalek. Rencananya dari Trenggalek para imigran gelap itu akan berlayar ke Australia menggunakan kapal nelayan setempat.

Namun saat bus baru sampai di Sragen, polisi menghentikan kendaraan yang membawa 128 imigran gelap itu. Setelah diperiksa, Amin pun diserahkan ke Pomdam IV/Diponegoro untuk diproses sesuai hukum militer.

Pada 17 Oktober 2012, oditur (jaksa) menuntut Amin menuntut 5 tahun penjara serta pemecatan dari dinas militer. Tuntutan ini dikabulkan oleh Pengadilan Militer II-11 Yogyakarta pada 5 Desember 2012 dan dikuatkan oleh Pengadilan Militer Tinggi II Jakarta pada 12 Februari 2013. Atas vonis ini, Amin lalu mengajukan kasasi. Apa kata MA?

"Memidana Terdakwa dengan pidana pokok selama 5 tahun penjara, denda Rp 500 juta subsidair 3 bulan kurungan. Pidana tambahan dipecat dari dinas militer," putus MA seperti dilansir website MA, Selasa (20/5/2014).

Duduk sebagai ketua majelis yaitu hakim agung Imron Anwari, Dr Andi Abu Ayyub Saleh dan Prof Dr Gayus Lumbuun. Dalam putusan yang diketok pada 18 Juni 2013 itu terbukti Amin membantu menyelundupkan imigran gelap ke Australia. Namun Amin baru menerima imbalan uang Rp 5 juta karena sisanya baru akan diterima apabila pengawalan sukses sampai Trenggalek.

Jumat, 16 Mei 2014

Praka Heri Menangis Dituntut Pecat karena Pinjamkan Senpi ke Sipil

TRIBUNNEWS.COM, BANDA ACEH - Praka Heri Shafitri (31), anggota Yonif 111/Raider Paya Bakong, Aceh Utara, menangis seusai mendengar tuntutan majelis hakim Pengadilan Militer (Dilmil) I-01 Banda Aceh.

Dalam persidangan yang digelar Selasa (13/5/2014) itu, Praka Heri dituntut hukuman tiga tahun penjara dan dipecat dari TNI.

Oditur menilai, oknum TNI ini terbukti meminjamkan senjata api (senpi) laras panjang SS2 V1 miliknya kepada warga sipil.

Sejnpi itu lah, yang digunakan untuk memberondong posko calon anggota legislatif Partai Nasdem di Gampong Kunyet Mule, Kecamatan Matangkuli, Aceh Utara, 17 Februari 2014 dini hari.

Pembacaan tuntutan terhadap perkara yang menarik perhatian publik ini, banyak luput dari liputan wartawan, termasuk Serambi. Para wartawan mengira sidang lanjutan ini pada Rabu (14/5), tapi ternyata dilaksanakan sehari sebelumnya.  

Oditur dari Oditurat Militer (Odmil) I-01 Banda Aceh, Mayor Chk Uje Koswara SH ketika dijumpai Serambi, Rabu (14/5) membenarkan bahwa tuntutan ini telah ia bacakan sehari sebelumnya dalam sidang lanjutan perkara ini. 

"Ya, dia tampak menangis seusai saya bacakan tuntutan tiga tahun penjara plus dipecat. Memang bagi TNI, dipecat ini sesuatu yang sangat memberatkan, bahkan lebih berat dari hukuman penjara," kata Uje.

Menurut Mayor Uje, terdakwa menyatakan senpi itu dipinjamkan ke sipil atas nama Rasyidin alias Mario, karena temannya itu menyatakan hendak berburu babi.

Tetapi oditur berkeyakinan, terdakwa sudah tahu bahwa senpi itu akan digunakan Mario dan Umar Adam alias Membe (berkas terpisah) untuk menembak Posko Partai Nasdem.

Hal ini sesuai keterangan Mario dan Membe pada sidang sebelumnya, ketika keduanya yang kini masih ditahan di Mapolda Aceh diperiksa sebagai saksi terhadap Praka Heri.

Sebelum pemberondongan yang bertujuan menakut-nakuti dan tidak menimbulkan korban jiwa ini, oditur juga berkeyakinan, terdakwa ikut menggunakan sabu-sabu bersama Mario sesuai pengakuan Mario saat menjadi saksi.

"Kami menilai, terdakwa terbukti melanggar Pasal 1 ayat (1) Undang-Undang RI Nomor 12 Darurat Tahun 1951 atau melanggar Pasal 148 ke-1 Kitab Undang-undang Hukum Pidana Militer (KUHPM) tentang penyalahgunaan senpi. Dia juga melanggar Pasal 127 ayat (1) huruf a UU RI Nomor 35 tahun 2009 tentang Narkotika. Salah satu hal memberatkannya, ya karena meminjamkan senjata api lengkap dengan amunisi itu," kata Uje. (sal)

Senin, 05 Mei 2014

Ini 3 Hakim Agung yang Anulir Vonis Mati Jaringan Pengimpor Narkoba 36 Kg

Andi Saputra - detikNews

Jakarta - Gara-gara belum pernah dihukum, Srie Moetarini Evianti diampuni Mahkamah Agung (MA) dari hukuman mati. Padahal, Srie merupakan kurir yang berulang kali mengimpor narkoba jenis sabu, total mencapai 36 Kg. 

Dalam aksinya, Srie bekerjasama dengan teman kosnya di Tangerang, Jessica Apriyani. Barang haram itu milik Christophe Kablan, warga Nigeria, yang juga pacar Jessica. Menurut Kanit II Narkoba Mabes Polri, Kombes Siswandi, duo kurir itu telah berulang kali menyelundupkan sabu dan tiap satu kali penyelundupan membawa 2,6 Kg.

Namun aksi Srie akhirnya terungkap saat tertangkap pada 13 April 2010 di Bandara Adi Sucipto, Yogyakarta. Dari tangannya didapati sabu 2,6 Kg di dalam tas. Setelah itu, Jessica dan Christophe ditangkap di Hotel Maharani, Jakarta.

Oleh Pengadilan Negeri (PN) Sleman dan Pengadilan Tinggi (PT) Yogyakarta menghukum mati Srie. Namun siapa nyana, MA menganulirnya menjadi hukuman 18 tahun penjara. Alasannya, Srie tidak jadi dihukum mati karena mempunyai alasan yang meringankan, yaitu belum pernah dihukum sebelumnya. 

"MA kan judex jurist, tidak sampai ke situ (menilai alasan meringankan). Kalau menilai kesalahan itu judex factie (Pengadilan Negeri dan Pengadilan Tinggi)," kata komisioner Komisi Yudisial (KY), Imam Anshori Saleh, Senin (5/5/2014).

Vonis mati Srie dianulir oleh tiga hakim agung yaitu Prof Dr Mieke Komar selaku ketua majelis. Dengan anggota hakim agung Sofyan Sitompul dan Mahdi Soroinda Nasution. Siapakah mereka?

1. Prof Dr Mieke Komar SH MCL
Terlahir di Bandung, pada tanggal 25 Maret 1942 dengan nama Femmetje Judith Magdalena Palar. Mieke menamatkan pendidikannya pada tahun 1967 di Fakultas Hukum Universitas Padjadjaran (FH Unpad), jurusan hukum internasional di bawah bimbingan langsung Mochtar Kusumaatmadja.

Anak dari Daan Pieter Palar dan Hermiena Wenas ini kemudian melanjutkan pendidikan S2 di Southern Methodist University Law School, Dallas, Texas, Amerika Serikat dan gelar doktor diselesaikannya pada 1988 dari kampus Unpad.

Sebelum menjadi hakim agung, Mieke pernah menjadi diplomat dan juga akademisi dengan jabatan tertinggi sebagai Dekan FH Unpad. Mieke lalu duduk sebagai hakim agung pada 2003. Mieke mengakhiri tugasnya sebagai hakim agung pada 24 Maret 2012 seiring usianya yang memasuki 70 tahun.

Mieke dikaruniai 3 orang anak dari hasil perkawinannya dengan Komar Kantaatmadja. Suaminya yang berprofesi sebagai pengacara itu meninggal pada 3 Mei 1998.

2. Dr Sofyan Sitompul
Nama Sofyan belakangan mencuat saat membebaskan Cindra Wijaya alias Acin, pria yang disebut-sebut sebagai raja judi di Riau. Saat itu dia duduk dalam majelis PK bersama dua hakim agung lainnya, Dr Zaharuddin Utama dan dr Andi Abu Ayyub.

Sofyan mengawali kariernya sebagai hakim pada tahun 1985 di Pengadilan Negeri (PN) Cirebon. Tahun 2003, Sofyan bertugas di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat (PN Jakpus).

Namun, karena ada prinsip yang bertentangan, akhirnya Sofyan mengundurkan diri pada tahun 2004 dan menjadi Pelaksana tugas (Plt) Direktur Litigasi Kemenkum HAM. Pada tahun  2009 sampai saat ini, Sofyan menjadi Inspektur Kepegawaiaan Kementrian Hukum dan HAM. Akhirnya Sofyan kembali ke lembaga peradilan dengan status baru sebagai hakim agung pada 2010.

Sofyan meraih gelar magister hukum di STIH IBLAM dan menyelesaikan program doktor di Universitas Padjajaran.

3. Mahdi Soroinda Nasution
Mahdi lahir di Tapanuli Selatan pada 24 Maret 1949. Mahdi merupakan hakim karier yang telah malang melintang di berbagai pelosok Nusantara.

Memulai karirnya sebagai hakim PN Bangli, Bali pada 1981 dan mencapai puncak karier sebelum menjadi hakim agung yaitu sebagai hakim Pengadilan Tinggi Pekanbaru.

Gelar sarjana hukumnya disabet dari Universitas Indonesia (UI) pada 1975 dengan konsentrasi Hukum Perdata. Masetr hukum diraih dari Universitas Gadjah Mada pada 2006.

Mahdi pernah mendaftar menjadi calon hakim agung 2007 dan gagal di fit and proper tes DPR. Dirinya terpilih sebagai hakim agung pada seleksi berikutnya atas usul Mahkamah Agung.

Sabtu, 03 Mei 2014

MA Anulir Vonis Mati Anggota Sindikat Pengimpor Narkoba 36 Kg

Andi Saputra - detikNews

Jakarta - Mahkamah Agung (MA) menganulir vonis mati yang dijatuhkan pengadilan tingkat pertama dan banding terhadap anggota sindikat narkoba internasional, Srie Moetarini Evianti. MA mengubah hukumannya menjadi 18 tahun penjara.

Perempuan kelahiran 30 Januari 1973 itu dibekuk Mabes Polri di Bandara Adi Sucipto, Yogyakarta, pada 13 April 2010 lalu. Saat itu Srie baru saja turun dari pesawat Air Asia nomor penerbangan AK 594 dari Kuala Lumpur. Saat melintas X-Ray, didapati sabu seberat 2,6 Kg di dalam tasnya. 

Atas perbuatannya, Srie lalu divonis bersalah oleh Pengadilan Negeri (PN) Sleman dan dijatuhi hukuman mati pada 27 Oktober 2010. Putusan ini dikuatkan oleh Pengadilan Tinggi (PT) Yogyakarta pada 3 Januari 2011. Atas hukuman mati itu, Srie pun mengajukan kasasi dan meminta hukuman ringan. Gayung bersambut, permohonan dikabulkan.

"Mengadili sendiri, menjatuhkan hukuman pidana penjara selama 18 tahun," putus majelis kasasi yang terdiri dari Prof Dr Mieke Komar, Dr Sofyan Sitompul dan Mahdi Soroinda Nasution seperti detikcom kutip dari website MA, Sabtu (3/5/2014).

Apa alasan MA mengubah vonis mati tersebut? Ketiganya menilai Srie belum pernah dihukum sehingga bisa menjadi alasan yang meringankan pelaku. Karena ada alasan yang meringankan, maka tidak tepat dijatuhi vonis mati.

"Sesuai fakta persidangan telah ditemukan hal yang meringankan dalam diri terdakwa yaitu belum pernah dihukum/dipidana. Dalam praktek peradilan Indonesia, apabila seseorang Terdakwa belum pernah dihukum maka hal tersebut dapat menjadi salah satu alasan meringankan hukuman bagi terdakwa. Dan apabila pada diri seseorang terdakwa terdapat satu hal yang meringankan, maka tidak boleh dijatuhi hukuman mati," putus majelis pada 12 Mei 2011 silam.

Siapakah Srie? Selidik punya selidik, Srie merupakan anggota sindikat jaringan narkoba internasional. Setelah berkali-kali gagal menyelundupkan barang haram melalui bandara di Medan, Bali, Jakarta dan Bandung, sindikat narkoba internasional gang Srie menjadikan Yogyakarta sebagai pintu masuk

"Ia sudah lima kali lolos dari pemeriksaan petugas bandara," kata Kanit II Narkoba Mabes Polri, Kombes Siswandi kala itu.

Kepada polisi, Srie mengaku diperintah mengambil sabu di Malaysia oleh Jessica Apriyani (29) teman kosnya di Tangerang, Banten. Barang haram itu milik Christophe Kablan (32) warga Nigeria, yang juga pacar Jessica. Jessica dan Christophe ditangkap di Hotel Maharani, Jakarta dan diadili dalam perkara terpisah.

Jessica sendiri adalah kurir yang sudah mondar-mandir di kawasan Asia untuk bisnis narkoba. Di antaranya empat kali ke Thailand, sekali ke India, dan empat kali ke Malaysia untuk mengambil barang haram titipan teman Christophe. Selama itu, Jessica kerap turun di Bandara Husein Sastranegara di Bandung lalu menuju Jakarta dengan bus.

Pada setiap kesempatan, kedua wanita ini selalu membawa 2,6 Kg shabu dari luar negeri. 

"Sudah empat belas kali mereka lolos. Bila ditotal, sudah lebih dari 36 Kg shabu masuk ke Indonesia," kata Siswandi.

Bebaskan Raja Judi, Hakim Agung Zaharuddin Dkk Tabrak Sistem Kamar MA?

Andi Saputra - detikNews

Jakarta - Sempat dihukum 4 tahun di tingkat kasasi, Cindra Wijaya alias Acin dibebaskan oleh Mahkamah Agung (MA) di tingkat peninjauan kembali (PK). Plin-plan MA ini bertolakbelakang dengan semangat pembentukan sistem kamar MA.

Dualisme pandangan ini mengingatkan lembaga peradilan tertinggi di Indonesia itu saat mulai memberlakukan sistem kamar. Menurut MA, semangat penerapan sistem kamar yang konsisten akan meningkatkan kualitas dan konsistensi putusan.

Dalam catak biru pembaharuan MA 2010-2013, MA mengakui ketiadaan sistem kamar juga menyebabkan sulitnya upaya untuk mengawasi konsistensi putusan dan membangun keahlian hakim secara lebih terstruktur.

MA dalam blue print tersebut menjelaskan secara singkat tujuan penerapan sistem kamar adalah untuk menjaga kesatuan hukum, mengurangi disparitas putusan, memudahkan pengawasan putusan, meningkatkan produktivitas dalam pemeriksaan perkara dan mengembangkan kepakaran dan keahlian hakim dalam mengadili perkara.

Lewat SK Ketua MA No 017/KMA/SK/II/2012, maka dibagilah para hakim agung ke dalam pidana, perdata, tata usaha negara, agama dan militer. Sistem kamar ini efektif berjalan mulai 1 April 2013. 

Berdasarkan sistem kamar ini, setiap putusan PK yang akan membatalkan putusan kasasi harus dibawa ke rapat kamar untuk didiskusikan. Hal ini untuk menjaga keajegan dan kepastian hukum.

Di kasus Acin, hakim agung Zaharuddin Utama, Andi Abu Ayyub Saleh dan Sofyan Sitompul membatalkan putusan kasasi pada 26 Juni 2013. Berdasarkan SK Ketua MA No 017/KMA/SK/II/2012, maka hal itu harus dirapatkan terlebih dahulu ke kamar pidana.

Belakangan, SK Ketua MA No 017/KMA/SK/II/2012 itu direvisi. Dalam rapat pleno akhir tahun 2013 lalu, seluruh hakim agung sepakat rapat kamar hanya digelar jika putusan PK tersebut akan membatalkan dengan catatan ada yang dissenting opinion.

"Keputusan Ketua Mahkamah Agung Nomor 112/KMA/SK/VII/2013 tanggal 10 Juli 2013 tentang Perubahan Kedua Surat Keputusan Ketua Mahkamah Agung Nomor 142/KMA/SK IX/2011 tentang Pedoman Penerapan Sistem Kamar pada Mahkamah Agung. Ketentuan dalam angka VIII mengatur bahwa perkara peninjauan kembali yang dibahas di Rapat Pleno Kamar adalah perkara permohonan PK yang akan membatalkan putusan tingkat kasasi dimana terdapat perbedaan pendapat (dissenting opinion) dalam Majelis Hakim Agung yang memeriksa perkara tersebut," ucap Ketua MA Hatta Ali yang dibakukan dalam Surat Edaran MA Nomor 4 tahun 2014 seperti dikutip detikcom, Sabtu (3/5/2014).

Nah, apakah bebasnya Acin yang dikenal sebagai raja judi yang diketok pada 26 Juni 2013, sudah melalui rapat pleno kamar? Tidak disebutkan dalam putusan tersebut.

Kamis, 01 Mei 2014

Pelatih golf Rudi Rubiandini divonis 4,5 tahun penjara

Pewarta: Desca Lidya Natalia

Jakarta (ANTARA News) - Deviardi, pelatih golf mantan Kepala Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (SKK Migas) Rudi Rubiandini, divonis 4 tahun 6 bulan dan denda Rp50 juta subsider 1 bulan kurungan.

"Terdakwa Deviardi secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana korupsi secara bersama-sama dan menjatuhkan hukuman pidana kepada terdakwa berupa penjara 4 tahun 6 bulan dan denda Rp50 juta dengan ketentuan kalau tidak dibayar diganti kurungan 1 bulan," kata ketua majelis hakim Matheus Samiadji dalam sidang di pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta, Selasa.

Putusan tersebut lebih rendah dibanding tuntutan yang diajukan oleh jaksa KPK yang meminta agar Deviardi dihukum selama 5 tahun dan pidana denda Rp50 juta subsider 3 bulan kurungan.

Majelis hakim yang terdiri dari Amin Ismanto, Matheus Samiadji, Purwono Edi Santoso, Anwar dan Ugo.

Perbuatan yang dilakukan Deviardi adalah menerima menerima uang 200 ribu dolar Singapura dan 900 dolar AS dari pengusaha asal Singapura Widodo Ratanachaithong dan PT Kernel Oil Pte Limited (KOPL) melalui Simon Gunawan Tandjaya dan 522,5 ribu dolar AS dari Artha Meris Simbolon dan PT Kaltim Parna Industri Artha Meris Simbolon. Penerimaan uang itu diperintahkan oleh Rudi.

Deviardi juga menerima uang 600 ribu dolar Singapura dari Wakil Kepala SKK Migas Yohanes Widjanarko, uang sejumlah 350 ribu dolar AS dari Deputi Pengendalian Dukungan Bisnis SKK Migas Gerhard Rumesser dan dari kepala Divisi Penunjang SKK Migas Iwan Rahman sebesar 50 ribu dolar AS. Uang yang ditujukan untuk Rudi tersebut selanjutnya disimpan di safe deposit box CIMB Niaga.

Deviardilah yang menjadi pihak pembeli rumah, penukar mata uang asing, pembeli jam tangan, pembeli mobil dan kegiatan lain yang dikategorikan menyamarkan uang untuk Rudi Rubiandini.

Rudi Rubiandini divonis tujuh tahun penjara

Pewarta: Desca Lidya Natalia

Jakarta (ANTARA News) - Majelis hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta pada Selasa menjatuhkan vonis hukuman tujuh tahun penjara dan denda Rp200 juta subsider tiga bulan kurungan kepada Rudi Rubiandini, mantan Kepala Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (SKK Migas).

Majelis hakim yang diketuai oleh Amin Ismanto menyatakan Rudi terbukti bersalah melakukan tindak pidana korupsi karena menerima uang dari sejumlah perusahaan migas dan pejabat di lingkungan SKK Migas serta melakukan tindak pidana pencucian uang.

Vonis tersebut lebih rendah dari tuntutan jaksa penuntut umum KPK, yang meminta hakim menjatuhkan hukuman penjara selama 10 tahun dan pidana denda Rp250 juta subsider tiga bulan kurungan kepada Rudi.

Majelis hakim yang terdiri dari Amin Ismanto, Matheus Samiadji, Purwono Edi Santoso, Anwar dan Ugo menilai bahwa Rudi memenuhi semua unsur dalam tiga dakwaan.

Dakwaan pertama, saat masih menjadi penyelenggara negara (sebagai Kepala SKK Migas) Rudi menerima hadiah padahal diketahui atau patut diduga hadiah atau janji tersebut untuk melakukan sesuatu yang bertentang dengan kewajibannya.

Rudi menerima uang 200.000 dolar Singapura dan 900 dolar AS dari pengusaha asal Singapura Widodo Ratanachaithong dan PT Kernel Oil Pte Limited (KOPL) melalui Simon Gunawan Tandjaya.

Uang tersebut diberikan supaya Rudi, sebagai Kepala SKK Migas, mengatur pelelangan minyak mentah dan kondensat bagian negara di SKK Migas.

Rudi juga menerima uang 522,5 ribu dolar AS dari Artha Meris Simbolon dan PT Kaltim Parna Industri Artha Meris Simbolon. Penerimaan uang itu diterima oleh pelatih golf Rudi, Deviardi.

Artha Meris memberikan uang itu agar Rudi bersedia memberikan rekomendasi untuk menurunkan formula harga gas PT KPI ke Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral.

Selain itu Rudi didakwa menjadi penyelenggara negara yang menerima hadiah atau janji padahal diketahui atau patut diduga hadiah atau janji tersebut diberikan karena kewenangan yang berhubungan dengan jabatannya.

Rudi menerima uang 600.000 dolar Singapura dari Wakil Kepala SKK Migas Yohanes Widjanarko, uang sejumlah 350 ribu dolar AS dari Deputi Pengendalian Dukungan Bisnis SKK Migas Gerhard Rumesser dan dari kepala Divisi Penunjang SKK Migas Iwan Rahman sebesar 50 ribu dolar AS. 

Penerimaan uang itu seluruhnya juga melalui Deviardi karena perintah Rudi dan disimpan di safe deposit box CIMB Niaga.

"Tempus kejadiannya bersamaan dengan jabatan terdakwa sebagai kepala SKK Migas dan diperoleh fakta hukum terdakwa bersama Deviardi memiliki rekening di CIMB Pondok Indah sehingga majelis hakim mendapat keyakinan kesalahan terdakwa," kata Anwar, anggota majelis hakim.

Rudi juga didakwa menyamarkan harta kekayaan yang diketahui atau patut diduga merupakan hasil tindak pidana.

Harta yang dimaksud antara lain meliputi satu unit rumah di Jalan H. Ramli no 15 RT 011/RW 015 Tebet senilai Rp2 miliar, mobil volvo XC90 senilai Rp1,6 miliar dengan uang muka hasil penukaran uang 50 ribu dolar AS (senilai Rp498,75 juta), dan jam tangan Rolex senilai Rp106 juta.

Selain itu ada mobil Toyota Camry senilai Rp630,8 juta yang dibeli menggunakan dolar AS sejumlah 65 ribu dolar AS, jam tangan Citizeen Echo Drive, dan pembayaran Rp405 juta kepada Mazaya Wedding Organizer sebagai cicilan biaya pernikahan anak Rudi. 

Rudi juga menukarkan mata uang asing dari safe deposit box milik Deviardi senilai Rp2,98 miliar dan menyimpan hingga 60 ribu dolar AS dan 252 ribu dolar Singapura di safe deposit box Deviardi ditambah uang dalam rekening Deviardi di Bank CIMB Niaga senilai Rp1,02 miliar.

Majelis hakim menyatakan tidak sependapat dengan pembelaan terdakwa, yang menyatakan tidak pernah meminta Deviardi menerima uang, memerintahkan dia mengembalikan uang yang diterima dari beberapa pihak serta membeli tanah dan barang berharga lain seperti tercantum dalam dakwaan. 

"Dan menyatakan bahwa terdakwa terbukti melakukan perbuatan sebagaimana dakwaan primer kesatu, dakwaan kedua dan dakwaan ketiga," kata hakim Anwar.