Jakarta - Gara-gara belum pernah dihukum, Srie Moetarini Evianti diampuni Mahkamah Agung (MA) dari hukuman mati. Padahal, Srie merupakan kurir yang berulang kali mengimpor narkoba jenis sabu, total mencapai 36 Kg.
Dalam aksinya, Srie bekerjasama dengan teman kosnya di Tangerang, Jessica Apriyani. Barang haram itu milik Christophe Kablan, warga Nigeria, yang juga pacar Jessica. Menurut Kanit II Narkoba Mabes Polri, Kombes Siswandi, duo kurir itu telah berulang kali menyelundupkan sabu dan tiap satu kali penyelundupan membawa 2,6 Kg.
Namun aksi Srie akhirnya terungkap saat tertangkap pada 13 April 2010 di Bandara Adi Sucipto, Yogyakarta. Dari tangannya didapati sabu 2,6 Kg di dalam tas. Setelah itu, Jessica dan Christophe ditangkap di Hotel Maharani, Jakarta.
Oleh Pengadilan Negeri (PN) Sleman dan Pengadilan Tinggi (PT) Yogyakarta menghukum mati Srie. Namun siapa nyana, MA menganulirnya menjadi hukuman 18 tahun penjara. Alasannya, Srie tidak jadi dihukum mati karena mempunyai alasan yang meringankan, yaitu belum pernah dihukum sebelumnya.
"MA kan judex jurist, tidak sampai ke situ (menilai alasan meringankan). Kalau menilai kesalahan itu judex factie (Pengadilan Negeri dan Pengadilan Tinggi)," kata komisioner Komisi Yudisial (KY), Imam Anshori Saleh, Senin (5/5/2014).
Vonis mati Srie dianulir oleh tiga hakim agung yaitu Prof Dr Mieke Komar selaku ketua majelis. Dengan anggota hakim agung Sofyan Sitompul dan Mahdi Soroinda Nasution. Siapakah mereka?
1. Prof Dr Mieke Komar SH MCL
Terlahir di Bandung, pada tanggal 25 Maret 1942 dengan nama Femmetje Judith Magdalena Palar. Mieke menamatkan pendidikannya pada tahun 1967 di Fakultas Hukum Universitas Padjadjaran (FH Unpad), jurusan hukum internasional di bawah bimbingan langsung Mochtar Kusumaatmadja.
Anak dari Daan Pieter Palar dan Hermiena Wenas ini kemudian melanjutkan pendidikan S2 di Southern Methodist University Law School, Dallas, Texas, Amerika Serikat dan gelar doktor diselesaikannya pada 1988 dari kampus Unpad.
Sebelum menjadi hakim agung, Mieke pernah menjadi diplomat dan juga akademisi dengan jabatan tertinggi sebagai Dekan FH Unpad. Mieke lalu duduk sebagai hakim agung pada 2003. Mieke mengakhiri tugasnya sebagai hakim agung pada 24 Maret 2012 seiring usianya yang memasuki 70 tahun.
Mieke dikaruniai 3 orang anak dari hasil perkawinannya dengan Komar Kantaatmadja. Suaminya yang berprofesi sebagai pengacara itu meninggal pada 3 Mei 1998.
Anak dari Daan Pieter Palar dan Hermiena Wenas ini kemudian melanjutkan pendidikan S2 di Southern Methodist University Law School, Dallas, Texas, Amerika Serikat dan gelar doktor diselesaikannya pada 1988 dari kampus Unpad.
Sebelum menjadi hakim agung, Mieke pernah menjadi diplomat dan juga akademisi dengan jabatan tertinggi sebagai Dekan FH Unpad. Mieke lalu duduk sebagai hakim agung pada 2003. Mieke mengakhiri tugasnya sebagai hakim agung pada 24 Maret 2012 seiring usianya yang memasuki 70 tahun.
Mieke dikaruniai 3 orang anak dari hasil perkawinannya dengan Komar Kantaatmadja. Suaminya yang berprofesi sebagai pengacara itu meninggal pada 3 Mei 1998.
2. Dr Sofyan Sitompul
Nama Sofyan belakangan mencuat saat membebaskan Cindra Wijaya alias Acin, pria yang disebut-sebut sebagai raja judi di Riau. Saat itu dia duduk dalam majelis PK bersama dua hakim agung lainnya, Dr Zaharuddin Utama dan dr Andi Abu Ayyub.
Sofyan mengawali kariernya sebagai hakim pada tahun 1985 di Pengadilan Negeri (PN) Cirebon. Tahun 2003, Sofyan bertugas di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat (PN Jakpus).
Namun, karena ada prinsip yang bertentangan, akhirnya Sofyan mengundurkan diri pada tahun 2004 dan menjadi Pelaksana tugas (Plt) Direktur Litigasi Kemenkum HAM. Pada tahun 2009 sampai saat ini, Sofyan menjadi Inspektur Kepegawaiaan Kementrian Hukum dan HAM. Akhirnya Sofyan kembali ke lembaga peradilan dengan status baru sebagai hakim agung pada 2010.
Sofyan meraih gelar magister hukum di STIH IBLAM dan menyelesaikan program doktor di Universitas Padjajaran.
Sofyan mengawali kariernya sebagai hakim pada tahun 1985 di Pengadilan Negeri (PN) Cirebon. Tahun 2003, Sofyan bertugas di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat (PN Jakpus).
Namun, karena ada prinsip yang bertentangan, akhirnya Sofyan mengundurkan diri pada tahun 2004 dan menjadi Pelaksana tugas (Plt) Direktur Litigasi Kemenkum HAM. Pada tahun 2009 sampai saat ini, Sofyan menjadi Inspektur Kepegawaiaan Kementrian Hukum dan HAM. Akhirnya Sofyan kembali ke lembaga peradilan dengan status baru sebagai hakim agung pada 2010.
Sofyan meraih gelar magister hukum di STIH IBLAM dan menyelesaikan program doktor di Universitas Padjajaran.
3. Mahdi Soroinda Nasution
Mahdi lahir di Tapanuli Selatan pada 24 Maret 1949. Mahdi merupakan hakim karier yang telah malang melintang di berbagai pelosok Nusantara.
Memulai karirnya sebagai hakim PN Bangli, Bali pada 1981 dan mencapai puncak karier sebelum menjadi hakim agung yaitu sebagai hakim Pengadilan Tinggi Pekanbaru.
Gelar sarjana hukumnya disabet dari Universitas Indonesia (UI) pada 1975 dengan konsentrasi Hukum Perdata. Masetr hukum diraih dari Universitas Gadjah Mada pada 2006.
Mahdi pernah mendaftar menjadi calon hakim agung 2007 dan gagal di fit and proper tes DPR. Dirinya terpilih sebagai hakim agung pada seleksi berikutnya atas usul Mahkamah Agung.
Memulai karirnya sebagai hakim PN Bangli, Bali pada 1981 dan mencapai puncak karier sebelum menjadi hakim agung yaitu sebagai hakim Pengadilan Tinggi Pekanbaru.
Gelar sarjana hukumnya disabet dari Universitas Indonesia (UI) pada 1975 dengan konsentrasi Hukum Perdata. Masetr hukum diraih dari Universitas Gadjah Mada pada 2006.
Mahdi pernah mendaftar menjadi calon hakim agung 2007 dan gagal di fit and proper tes DPR. Dirinya terpilih sebagai hakim agung pada seleksi berikutnya atas usul Mahkamah Agung.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar