Rabu, 10 Oktober 2012

Tawa Gatoloco Buat MA

Djoko Suud - detikNews

Jakarta Gatoloco terbahak-bahak tertawakan Mahkamah Agung (MA). Itu setelah tahu lembaga itu membatalkan vonis mati Hengky Gunawan. Pemilik pabrik ekstasi itu hukumannya disulap menjadi 15 tahun penjara. Mengapa Gatoloco ngakak? Itu karena dia merasa MA seperti dirinya, serasa di surga jika sedang madat.

Putusan MA yang 'sangat manusiawi' itu adalah kali kedua. Pertama dijatuhkan pada Hillary K Chimezie warga Nigeria yang punya 5,8 kilogram heroin. Kedua pada Hengky Gunawan. Alasannya, hukuman mati bertentangan dengan pasal 28 ayat 1 UUD 1945 dan melanggar pasal 4 UU No 39/1999 tentang HAM.

Gatoloco tidak paham dengan pasal-pasal itu. Yang dia pahami, di zaman polisi berani ngluruk KPK, menunjukkan arogansi secara kasat mata, korupsi di mana-mana, dan MA mengubah putusan mengejutkan di balik teriakan anti korupsi dan berantas narkotika, tentu, adalah sesuatu yang ada di baliknya.

Pasal bisa saja hanya sebagai pembenar. Benar yang belum tentu benar. Pasal ini menjadi entri point, kecerdasan dalam menyikapi zaman edan. Zaman, yang kata Ronggowarsito, seberuntung-beruntung yang edan, lebih beruntung yang ingat dan waspada. Imron Anwari selaku ketua majelis hakim agung 'waspada' soal itu. Tidak salah jika dipersalahkan, karena ada pasal yang diapologiskan.

Namun tindakan itu mengindikasikan, bahwa zaman ini memang masih nuansa zaman edan. Zaman di mana institusi dan pejabatnya juga ikut edan. Mereka tidak mengukur kebenaran melalui nurani dan naluri sebagai akar kebenaran sejati, tetapi mendasarkan pada perhitungan untung rugi bersifat material.

Untuk itu bisa dibenarkan jika polisi yang wilayahnya 'diobok-obok' dan petingginya tersangkut kasus korupsi 'dibela' dengan cara-cara yang tidak logis. Tidak perlu mengindahkan nurani rakyat, dan wajib acuh terhadap kemungkinan kian dibenci rakyat di saat popularitasnya mulai membaik.

Tindakan MA itu juga terkesan sama. Narkotika yang susul-menyusul masuk Indonesia, berdatangan dari segitiga emas hingga Cina dengan bandar orang asing, lokal, sampai napi yang 'diback-up' kepala penjara (LP Nusa Kambangan) tidak menjadi pertimbangan. Mengubah vonis yang bertolak belakang dengan rasa keadilan rakyat mayoritas negeri ini tetap dilakukan tanpa bersalah.

Juga catatan sejarah kolonial, bisnis haram ini lancar jika melibatkan petinggi negara dan cukong, tidak membuatnya sadar jika putusan itu akan kembali mengingatkan rakyat negeri ini ke masa silam. Masa jahiliyah yang siapa saja tidak ingin kembali mengulangnya.

Itu yang membuat Gatoloco terpingkal-pingkal. Dia membayangkan dua institusi dan pejabatnya itu seperti dirinya. Gatoloco berani berdebat seru dengan Kiai Kasan Besari setelah habis madat. Setelah 'asap setan' itu menjalar hingga ke tulang sumsum, mulutnya mencerocos bicara tentang hakekat manusia dan kemanusiaan. Termasuk soal hidup dan mati yang menjadi hak prerogatif Tuhan.

MA tidak lagi melihat, bahwa dari hari ke hari, penyelundupan narkotika terus terjadi, dari hari ke hari, kurir, sidang, dan vonis soal narkotika tidak pernah istirahat hingga kabar soal peredaran narkotika ini terasa membosankan.

Nilai transaksi barang haram ditaksir triliuan rupiah mengindikasikan besarnya pasar dan banyaknya peminat tidak lagi mengusik nuraninya. Hengky Gunawan yang bandar gede, dengan jaringan, kurir, bandar krucil, dan organisasi yang profesional tidak lagi menjadi pertimbangan. Termasuk terbentuknya pasar baru dan generasi baru yang mungkin teler akibat suburnya peredaran barang haram ini.

Namun dari kasus MA itu sedikit terjawab pertanyaan, kenapa peredaran narkotika kian berbiak seperti jamur di musim hujan? Kenapa penangkapan bandar narkotika di lapas Kerobokan Denpasar ribut? Kenapa penangkapan di penjara Riau berakhir dengan kontroversi soal penamparan yang konon dilakukan Wakil Menteri Hukum dan HAM, Denny Indrayana dibanding mengungkap tuntas jaringan narkotika ini di penjara? Padahal sebelumnya sudah terbukti, Kalapas Nusa Kambangan terlibat 'pembekingan' bandar narkoba.

Kita tidak memvonis ada uang di baliknya. Ada bisnis umpet-umpetan di tengah perkara ini. Namun jika kita lari ke era kolonial, modus-modus semacam itu yang biasa terjadi. Sebuah indikator yang mendekati aksioma.

James R Rush dalam Opium To Java menyebut bisnis narkotika lancar jika terjadi kesepahaman antara penguasa dan cukong. Penguasa dan pengusaha. Penguasa itu mewakili pemerintah (kalau narkotika dilegalkan). Atau atas nama pribadi yang kebetulan sedang berkuasa dalam bentuk upeti.

Di era itu para cukong diberi konsesi mengimpor dan mengedarkan narkotika (candu) di daerah tertentu. Dibantu para bandar yang diangkat saban daerah dan terstruktur hingga ke bawah, maka peredaran narkotika menyeluruh dan dikuasai para cukong.

Sebagai kompensasi, para cukong wajib bayar pajak tinggi untuk pemasukan negara. Di daerah tertentu memberi upeti pada pribadi sang penguasa. Karena itu, menurut catatan Peter Carey, di tahun 1820 saja, di Yogyakarta terdapat 372 tempat yang menerima lisensi menjual narkotika ini.

Legalisasi candu memang membuat semuanya mengalami ketergantungan. Tidak saja rakyat, tetapi juga aparat. Para raja, bupati, syahbandar, cukong mengalami itu. Sampai-sampai disebutkan, dalam Perang Jawa (Diponegoro), banyak prajurit sakit ketika pasokan candu terhenti. Kenapa bisa terhenti?

Penguasa yang membekingi bisnis narkotika adalah penguasa yang sekaligus pemakai. Untuk meraup keuntungan yang lebih besar cukong sinergi dengan penyelundup dan membentuk pasar gelap. Pemerintah Belanda tahu permainan ini. Operasi dilakukan terus-menerus dan tidak ada kompromi. Berkat itu pasokan candu terhenti. Sebab candu yang beredar terbanyak barang selundupan.

Cara-cara kolonial itu bisa diterapkan sekarang. Itu jika kita sungguh-sungguh ingin memberantas narkotika demi menyelamatkan generasi mendatang. Aparat tidak kompromi dan melakukan operasi intensif sangat efektif. Ini akan menurunkan permintaan narkotika di pasar, mengacaukan kompromi pejabat negara yang jadi 'bandar terselubung', dan tentu omzet bandar.

Namun jika kini vonis mati yang dilakukan MA dianulir sendiri, seriuskah kita memerangi narkotika? Bisa tegaskah kita terhadap aparat yang terlibat bisnis ini?

*) Djoko Suud Sukahar adalah pemerhati sosial budaya. Penulis tinggal di Jakarta.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar