Djoko Suud - detikNews
Jakarta
Gatoloco terbahak-bahak tertawakan Mahkamah Agung (MA). Itu setelah
tahu lembaga itu membatalkan vonis mati Hengky Gunawan. Pemilik pabrik
ekstasi itu hukumannya disulap menjadi 15 tahun penjara. Mengapa
Gatoloco ngakak? Itu karena dia merasa MA seperti dirinya, serasa di
surga jika sedang madat.
Putusan MA yang 'sangat manusiawi' itu
adalah kali kedua. Pertama dijatuhkan pada Hillary K Chimezie warga
Nigeria yang punya 5,8 kilogram heroin. Kedua pada Hengky Gunawan.
Alasannya, hukuman mati bertentangan dengan pasal 28 ayat 1 UUD 1945 dan
melanggar pasal 4 UU No 39/1999 tentang HAM.
Gatoloco tidak
paham dengan pasal-pasal itu. Yang dia pahami, di zaman polisi berani
ngluruk KPK, menunjukkan arogansi secara kasat mata, korupsi di
mana-mana, dan MA mengubah putusan mengejutkan di balik teriakan anti
korupsi dan berantas narkotika, tentu, adalah sesuatu yang ada di
baliknya.
Pasal bisa saja hanya sebagai pembenar. Benar yang
belum tentu benar. Pasal ini menjadi entri point, kecerdasan dalam
menyikapi zaman edan. Zaman, yang kata Ronggowarsito,
seberuntung-beruntung yang edan, lebih beruntung yang ingat dan waspada.
Imron Anwari selaku ketua majelis hakim agung 'waspada' soal itu. Tidak
salah jika dipersalahkan, karena ada pasal yang diapologiskan.
Namun
tindakan itu mengindikasikan, bahwa zaman ini memang masih nuansa zaman
edan. Zaman di mana institusi dan pejabatnya juga ikut edan. Mereka
tidak mengukur kebenaran melalui nurani dan naluri sebagai akar
kebenaran sejati, tetapi mendasarkan pada perhitungan untung rugi
bersifat material.
Untuk itu bisa dibenarkan jika polisi yang
wilayahnya 'diobok-obok' dan petingginya tersangkut kasus korupsi
'dibela' dengan cara-cara yang tidak logis. Tidak perlu mengindahkan
nurani rakyat, dan wajib acuh terhadap kemungkinan kian dibenci rakyat
di saat popularitasnya mulai membaik.
Tindakan MA itu juga
terkesan sama. Narkotika yang susul-menyusul masuk Indonesia,
berdatangan dari segitiga emas hingga Cina dengan bandar orang asing,
lokal, sampai napi yang 'diback-up' kepala penjara (LP Nusa Kambangan)
tidak menjadi pertimbangan. Mengubah vonis yang bertolak belakang dengan
rasa keadilan rakyat mayoritas negeri ini tetap dilakukan tanpa
bersalah.
Juga catatan sejarah kolonial, bisnis haram ini lancar
jika melibatkan petinggi negara dan cukong, tidak membuatnya sadar jika
putusan itu akan kembali mengingatkan rakyat negeri ini ke masa silam.
Masa jahiliyah yang siapa saja tidak ingin kembali mengulangnya.
Itu
yang membuat Gatoloco terpingkal-pingkal. Dia membayangkan dua
institusi dan pejabatnya itu seperti dirinya. Gatoloco berani berdebat
seru dengan Kiai Kasan Besari setelah habis madat. Setelah 'asap setan'
itu menjalar hingga ke tulang sumsum, mulutnya mencerocos bicara tentang
hakekat manusia dan kemanusiaan. Termasuk soal hidup dan mati yang
menjadi hak prerogatif Tuhan.
MA tidak lagi melihat, bahwa dari
hari ke hari, penyelundupan narkotika terus terjadi, dari hari ke hari,
kurir, sidang, dan vonis soal narkotika tidak pernah istirahat hingga
kabar soal peredaran narkotika ini terasa membosankan.
Nilai
transaksi barang haram ditaksir triliuan rupiah mengindikasikan besarnya
pasar dan banyaknya peminat tidak lagi mengusik nuraninya. Hengky
Gunawan yang bandar gede, dengan jaringan, kurir, bandar krucil, dan
organisasi yang profesional tidak lagi menjadi pertimbangan. Termasuk
terbentuknya pasar baru dan generasi baru yang mungkin teler akibat
suburnya peredaran barang haram ini.
Namun dari kasus MA itu
sedikit terjawab pertanyaan, kenapa peredaran narkotika kian berbiak
seperti jamur di musim hujan? Kenapa penangkapan bandar narkotika di
lapas Kerobokan Denpasar ribut? Kenapa penangkapan di penjara Riau
berakhir dengan kontroversi soal penamparan yang konon dilakukan Wakil
Menteri Hukum dan HAM, Denny Indrayana dibanding mengungkap tuntas
jaringan narkotika ini di penjara? Padahal sebelumnya sudah terbukti,
Kalapas Nusa Kambangan terlibat 'pembekingan' bandar narkoba.
Kita
tidak memvonis ada uang di baliknya. Ada bisnis umpet-umpetan di tengah
perkara ini. Namun jika kita lari ke era kolonial, modus-modus semacam
itu yang biasa terjadi. Sebuah indikator yang mendekati aksioma.
James
R Rush dalam Opium To Java menyebut bisnis narkotika lancar jika
terjadi kesepahaman antara penguasa dan cukong. Penguasa dan pengusaha.
Penguasa itu mewakili pemerintah (kalau narkotika dilegalkan). Atau atas
nama pribadi yang kebetulan sedang berkuasa dalam bentuk upeti.
Di
era itu para cukong diberi konsesi mengimpor dan mengedarkan narkotika
(candu) di daerah tertentu. Dibantu para bandar yang diangkat saban
daerah dan terstruktur hingga ke bawah, maka peredaran narkotika
menyeluruh dan dikuasai para cukong.
Sebagai kompensasi, para
cukong wajib bayar pajak tinggi untuk pemasukan negara. Di daerah
tertentu memberi upeti pada pribadi sang penguasa. Karena itu, menurut
catatan Peter Carey, di tahun 1820 saja, di Yogyakarta terdapat 372
tempat yang menerima lisensi menjual narkotika ini.
Legalisasi
candu memang membuat semuanya mengalami ketergantungan. Tidak saja
rakyat, tetapi juga aparat. Para raja, bupati, syahbandar, cukong
mengalami itu. Sampai-sampai disebutkan, dalam Perang Jawa (Diponegoro),
banyak prajurit sakit ketika pasokan candu terhenti. Kenapa bisa
terhenti?
Penguasa yang membekingi bisnis narkotika adalah
penguasa yang sekaligus pemakai. Untuk meraup keuntungan yang lebih
besar cukong sinergi dengan penyelundup dan membentuk pasar gelap.
Pemerintah Belanda tahu permainan ini. Operasi dilakukan terus-menerus
dan tidak ada kompromi. Berkat itu pasokan candu terhenti. Sebab candu
yang beredar terbanyak barang selundupan.
Cara-cara kolonial itu
bisa diterapkan sekarang. Itu jika kita sungguh-sungguh ingin
memberantas narkotika demi menyelamatkan generasi mendatang. Aparat
tidak kompromi dan melakukan operasi intensif sangat efektif. Ini akan
menurunkan permintaan narkotika di pasar, mengacaukan kompromi pejabat
negara yang jadi 'bandar terselubung', dan tentu omzet bandar.
Namun
jika kini vonis mati yang dilakukan MA dianulir sendiri, seriuskah kita
memerangi narkotika? Bisa tegaskah kita terhadap aparat yang terlibat
bisnis ini?
*) Djoko Suud Sukahar adalah pemerhati sosial budaya. Penulis tinggal di Jakarta.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar