Salmah Muslimah - detikNews
Jakarta - Hakim agung pembatal vonis mati gembong
narkoba yang mengubahnya menjadi hukuman 15 tahun penjara, Brigjen TNI
(Purn) Imron Anwari masih diperiksa Mahakmah Agung (MA). Namun
pemeriksaan ini belum menemui hasil.
"Ya iya lah (lama), kan yang
terkait (putusan itu) semua diproses," kata Hatta Ali kepada wartawan
usai acara rapat teknis penegakan hukum lingkungan hidup di Hotel Grand
Sahid, Jalan Jenderal Sudirman, Jakarta Pusat, Selasa (6/12/2012).
Hatta
Ali berjanji bahwa tim yang memeriksa Imron Anwari dkk terus berjalan.
Hatta Ali juga menyatakan MA akan terus terbuka kepada publik terkait
kinerja MA.
"Jadi sudah kita bentuk tim (pemeriksa), sudah kita lakukan," ungkap Hatta.
Beberapa
waktu lalu, juru bicara MA, Djoko Sarwoko mengatakan pemeriksaan akan
dimulai dari para hakim yang memberikan vonis hingga panitera/pengetik
putusan.
"Sudah dimulai hari ini mulai dari bawah dulu. Kemudian
mungkin besok Senin atau Selasa. Mungkin mulai dari hakim agung Imron
Anwari dan anggotanya dua orang itu," kata Djoko saat memberikan
keterangan pers di ruang media center MA, pada 12 Oktober 2012.
Menurut
Djoko, Brigjen TNI (Purn) Imron Anwari sendiri yang meminta MA agar
memeriksa dirinya. Hal ini karena banyaknya pemberitaan mengenai dirinya
di berbagai media elektronik maupun cetak.
"Kemarin Pak Imron
selaku ketua majelis karena namanya selalu disebut dalam pemberitaan
maka hakim agung Imron justru meminta segera diperiksa oleh majelis
hakim agung," ungkap Djoko.
Seperti diketahui, majelis hakim PK
MA membebaskan hukuman mati atas putusan kasasi MA. Pertama dijatuhkan
kepada warga Nigeria Hillary K Chimezie, pemilik 5,8 kilogram heroin,
bebas dari hukuman mati dan hukumannya diubah menjadi penjara 12 tahun.
Adapun
kasus kedua, MA membebaskan pemilik pabrik ekstasi Hengky Gunawan dari
hukuman mati menjadi hukuman 15 tahun penjara pada 16 Agustus 2011 lalu.
Hukuman mati terhadap Hengky dijatuhkan MA dalam tingkat kasasi. Apa
alasan MA dalam kedua putusan tersebut?
"Hukuman mati
bertentangan dengan pasal 28 ayat 1 UUD 1945 dan melanggar pasal 4 UU No
39/1999 tentang HAM," demikian salinan PK yang ditandatangani Imron
Anwari selaku ketua majelis hakim agung.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar