Andi Saputra - detikNews
Jakarta - Komisi Yudisial (KY) meminta Mahkamah Agung
(MA) menanggapi dengan serius berbagai kritikan dari masyarakat.
Termasuk oleh salah satu hakim agungnya sendiri, Prof Gayus Lumbuun.
"Sudah saatnya ada penataan yang ideal tentang main organ dengan
organ penunjang di semua lembaga negara seperti MA, DPR, DPD, MK, KY
dan lainnya," kata Wakil Ketua KY, Imam Anshari Saleh, kepada detikcom,
Rabu (14/11/2012).
Khusus dalam kasus MA, Imam menilai
permasalahan berawal dari campur aduknya kekuasaan kehakiman dengan
birokrasi. Pembagian kerja yang tidak profesional mengakibatkan kinerja
lembaga tidak maksimal.
"Persoalan MA karena bercampurnya
kekuasaan mengadili dan birokrasi sehingga energi pimpinan MA terbagi.
Tidak terfokus pada manajemen peradilannya. Akibatnya aparat yang
diserahi me-manage urusan nonperadilan dapat berjalan tanpa kontrol yang baik dari pimpinan MA," ujar Imam.
"Bahkan ada kesan mereka, organ penunjang, tapi justru mendikte pimpinan MA," sambung mantan anggota DPR ini.
Kinerja
yang tidak profesional ini yang membuat hakim agung Gayus gerah.
Kritikan yang dilontarkan di internal tidak membuahkan hasil sehingga
hakim agung Gayus pun bersuara ke luar.
"Ini mungkin yang
kemudian, ada semacam kecemburuan dari para hakim agung termasuk Pak
Gayus kepada birokrasi penunjang yang notabene di bawah kekuasaan
eksekutif," terang Imam.
Sebagai mantan anggota DPR, Imam menilai
permasalahan MA pun terjadi di semua lembaga negara lain. Tumpang
tindih pekerjaan dan birokrasi yang tidak efektif membuat kinerja tidak
maksimal.
"Ini bukan hanya persoalan di MA, tapi juga di
lembaga-lembaga negara lainnya. Dimana pengendali birokrasi penunjangnya
dan aturan-aturan di bawah kendali eksekutif," ungkap Imam.
Dalam kolom detikcom,
Selasa (13/11), Gayus Lumbuun menyerukan reformasi MA secara total.
Menurut Gayus, agenda reformasi di MA mendapat resistensi yang sangat
dahsyat di lingkungan MA. Pembentukan Komisi Yudisial (KY) serta upaya
berbagai organisasi masyarakat pemantau lembaga peradilan tidak mampu
membongkar dan membenahi persoalan-persoalan mendasar dan laten di MA.
"Ada
kesan penetapan majelis memiliki pola yang tidak saja berdasarkan
kompetensi, tetapi didasarkan “like and dislike”. Ada kecendrungan
kegiatan studi banding hanya diikuti oleh hakim agung yang sama (yang
itu-itu saja). Tidaklah jelas apa yang menjadi alasannya, apakah karena
memang setiap kegiatan tersebut substansinya sama dengan tugas dan
kewenangan yang bersangkutan atau ada pertimbangan lainnya, tidalah
jelas," tulis Gayus.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar