Jumat, 16 November 2012

KY Minta MA Tindaklanjuti Kritikan Hakim Agung Gayus Lumbuun

Andi Saputra - detikNews

Jakarta - Komisi Yudisial (KY) meminta Mahkamah Agung (MA) menanggapi dengan serius berbagai kritikan dari masyarakat. Termasuk oleh salah satu hakim agungnya sendiri, Prof Gayus Lumbuun.

"Sudah saatnya ada penataan yang ideal tentang main organ dengan organ penunjang di semua lembaga negara seperti MA, DPR, DPD, MK, KY dan lainnya," kata Wakil Ketua KY, Imam Anshari Saleh, kepada detikcom, Rabu (14/11/2012).

Khusus dalam kasus MA, Imam menilai permasalahan berawal dari campur aduknya kekuasaan kehakiman dengan birokrasi. Pembagian kerja yang tidak profesional mengakibatkan kinerja lembaga tidak maksimal.

"Persoalan MA karena bercampurnya kekuasaan mengadili dan birokrasi sehingga energi pimpinan MA terbagi. Tidak terfokus pada manajemen peradilannya. Akibatnya aparat yang diserahi me-manage urusan nonperadilan dapat berjalan tanpa kontrol yang baik dari pimpinan MA," ujar Imam.

"Bahkan ada kesan mereka, organ penunjang, tapi justru mendikte pimpinan MA," sambung mantan anggota DPR ini.

Kinerja yang tidak profesional ini yang membuat hakim agung Gayus gerah. Kritikan yang dilontarkan di internal tidak membuahkan hasil sehingga hakim agung Gayus pun bersuara ke luar.

"Ini mungkin yang kemudian, ada semacam kecemburuan dari para hakim agung termasuk Pak Gayus kepada birokrasi penunjang yang notabene di bawah kekuasaan eksekutif," terang Imam.

Sebagai mantan anggota DPR, Imam menilai permasalahan MA pun terjadi di semua lembaga negara lain. Tumpang tindih pekerjaan dan birokrasi yang tidak efektif membuat kinerja tidak maksimal.

"Ini bukan hanya persoalan di MA, tapi juga di lembaga-lembaga negara lainnya. Dimana pengendali birokrasi penunjangnya dan aturan-aturan di bawah kendali eksekutif," ungkap Imam.

Dalam kolom detikcom, Selasa (13/11), Gayus Lumbuun menyerukan reformasi MA secara total. Menurut Gayus, agenda reformasi di MA mendapat resistensi yang sangat dahsyat di lingkungan MA. Pembentukan Komisi Yudisial (KY) serta upaya berbagai organisasi masyarakat pemantau lembaga peradilan tidak mampu membongkar dan membenahi persoalan-persoalan mendasar dan laten di MA.

"Ada kesan penetapan majelis memiliki pola yang tidak saja berdasarkan kompetensi, tetapi didasarkan “like and dislike”. Ada kecendrungan kegiatan studi banding hanya diikuti oleh hakim agung yang sama (yang itu-itu saja). Tidaklah jelas apa yang menjadi alasannya, apakah karena memang setiap kegiatan tersebut substansinya sama dengan tugas dan kewenangan yang bersangkutan atau ada pertimbangan lainnya, tidalah jelas," tulis Gayus.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar