VIVAnews - Hakim Agung, Imron Anwari dua kali
membatalkan vonis mati bagi dua terdakwa perkara narkoba. Padahal untuk
perkara narkoba lima tahun lalu, dalam perkara pabrik ekstasi, Hakim
Imran pernah mengubah hukuman penjara seumur hidup dari putusan PN
Tangerang menjadi hukuman mati bagi para terdakwanya dalam putusan
kasasi Mahkamah Agung.
Karena itu Kaukus Masyarakat Peduli Anak
dari Kejahatan Narkoba menilai, Hakim Imron tidak konsisten dalam
menerapkan hukum di setiap putusannya.
"Sifat Hakim Imron
inkonsistensi. Dengan sifatnya yang inkosistensi itu, maka tidak sesuai
dengan Pasal 4 ayat 1d Kode Etik Profesi Hakim," kata Ikhsan Abdullah,
anggota Kaukus dalam jumpa pers di Gedung Komisi Yudisial, Jakarta,
Kamis 11 Oktober 2012.
Ikhsan menjelaskan, Hakim Imron pada tahun
2007 pernah mengubah putusan seumur hidup menjadi hukuman mati sewaktu
ia menjadi anggota majelis hakim PN Tangerang. Kala itu perkara yang ia
tangani adalah perkara pabrik ekstasi terbesar di Asia yang berlokasi di
Cikande, Tangerang dengan terdakwa WN Belanda Nicolaas Garnick Josephus
Gerardus alias Dick dan WN Perancis Serge Areski Atlaoui.
Kala
itu, Hakim Imron setuju perbuatan Dick dan Serge bertentangan dengan
kebijakan pemerintah Indonesia dalam hal memberantas peredaran narkotika
dan psikotropika secara ilegal. Dan perbuatan para terdakwa menimbulkan
akibat hukum, merusak mental bangsa dan masyarakat internasional.
"Di lain waktu, ternyata Hakim Imron tidak konsisten dalam menilai hukuman mati," kata dia.
Hal
itu terbukti dari perkara vonis mati yang dihadapi WN Nigeria Hillary K
Chimezie sebagai pemilik 5,8 kilogram heroin. Hakim Imran yang pernah
menjadi ketua majelis hakim banding Mahkamah Militer Agung untuk perkara
Tim Mawar Kopassus itu membatalkan vonis mati dan menjatuhkan Hillary
dengan hukum 12 tahun penjara.
Tak sampai di situ, dalam perkara a
quo, Hakim Imron melakukan hal serupa. Ia membatalkan hukuman mati dan
menggantinya dengan hukuman 15 tahun penjara bagi terdakwa pemilik
pabrik ekstasi Hengky Gunawan.
Menurut Ikhsan, pelaku kejahatan
narkoba telah melakukan kejahatan serius yang menimbulkan kematian orang
setiap harinya. Karena itu, Ikhsan menilai, dua putusan pembatalan
hukuman mati dari Hakim Imran itu tidak sesuai dengan Pasal 5 huruf d
Kode Etik Profesi Hakim yang menyebutkan, "Kewajiban memutus perkara,
berdasarkan atas hukum dan rasa keadilan".
Untuk itulah, Kaukus
meminta agar Ketua KY segera memeriksa Hakim Imran dan melakukan
investigasi terhadap putusan-putusan itu. "Kami juga meminta MA segera
melakukan eksaminasi terhadap putusan dimaksud dengan melibatkan kajian
yang mendalam dari berbagai tokoh masyarakat," ujarnya.
Wakil
Ketua KY, Imam Anshori Saleh mengatakan, terkait laporan ini, pihaknya
sudah berkoordinasi dengan MA untuk menentukan, apakah MA berjalan
sendiri atau melibatkan KY.
"Kalau ada indikasi kuat tentu akan
kami prioritaskan tangani. Kita akan klarifikasi ke hakim yang
bersangkutan, barangkali benar apakah dia mendapat tekaan atau tidak
dalam memutus. Tentu kalau dia mengakui ada tekanan atau apa, itu jadi
kewenangan KY," ujarnya.
Seperti diketahui, Imron membebaskan
hukuman mati atas putusan kasasi MA. Pada perkara pertama, terpidana
Hillary K Chimezie, Imron memutus pemilik 5,8 kilogram heroin itu bebas
dari hukuman mati dan mengubah hukumannya menjadi penjara 12 tahun.
Putusan terhadap warga negara Nigeria ini dibuat pada 6 Oktober 2010.
Adapun
kasus kedua, Imron membebaskan pemilik pabrik ekstasi Hengky Gunawan
dari hukuman mati menjadi hukuman 15 tahun penjara pada 16 Agustus 2011
lalu.
Apa alasan Imron dalam kedua putusan tersebut?
"Hukuman
mati bertentangan dengan pasal 28 ayat 1 UUD 1945 dan melanggar pasal 4
UU No 39/1999 tentang HAM," tulis salinan PK yang ditandatangani Imron
selaku ketua majelis. (sj)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar