Jumat, 16 November 2012

Batalkan Dua Vonis Mati, Hakim Imron Dilaporkan ke KY

VIVAnews - Hakim Agung, Imron Anwari dua kali membatalkan vonis mati bagi dua terdakwa perkara narkoba. Padahal untuk perkara narkoba lima tahun lalu, dalam perkara pabrik ekstasi, Hakim Imran pernah mengubah hukuman penjara seumur hidup dari putusan PN Tangerang menjadi hukuman mati bagi para terdakwanya dalam putusan kasasi Mahkamah Agung.

Karena itu Kaukus Masyarakat Peduli Anak dari Kejahatan Narkoba menilai, Hakim Imron tidak konsisten dalam menerapkan hukum di setiap putusannya.

"Sifat Hakim Imron inkonsistensi. Dengan sifatnya yang inkosistensi itu, maka tidak sesuai dengan Pasal 4 ayat 1d Kode Etik Profesi Hakim," kata Ikhsan Abdullah, anggota Kaukus dalam jumpa pers di Gedung Komisi Yudisial, Jakarta, Kamis 11 Oktober 2012.

Ikhsan menjelaskan, Hakim Imron pada tahun 2007 pernah mengubah putusan seumur hidup menjadi hukuman mati sewaktu ia menjadi anggota majelis hakim PN Tangerang. Kala itu perkara yang ia tangani adalah perkara pabrik ekstasi terbesar di Asia yang berlokasi di Cikande, Tangerang dengan terdakwa WN Belanda Nicolaas Garnick Josephus Gerardus alias Dick dan WN Perancis Serge Areski Atlaoui.

Kala itu, Hakim Imron setuju perbuatan Dick dan Serge bertentangan dengan kebijakan pemerintah Indonesia dalam hal memberantas peredaran narkotika dan psikotropika secara ilegal. Dan perbuatan para terdakwa menimbulkan akibat hukum, merusak mental bangsa dan masyarakat internasional.

"Di lain waktu, ternyata Hakim Imron tidak konsisten dalam menilai hukuman mati," kata dia.

Hal itu terbukti dari perkara vonis mati yang dihadapi WN Nigeria Hillary K Chimezie sebagai pemilik 5,8 kilogram heroin. Hakim Imran yang pernah menjadi ketua majelis hakim banding Mahkamah Militer Agung untuk perkara Tim Mawar Kopassus itu membatalkan vonis mati dan menjatuhkan Hillary dengan hukum 12 tahun penjara.

Tak sampai di situ, dalam perkara a quo, Hakim Imron melakukan hal serupa. Ia membatalkan hukuman mati dan menggantinya dengan hukuman 15 tahun penjara bagi terdakwa pemilik pabrik ekstasi Hengky Gunawan.

Menurut Ikhsan, pelaku kejahatan narkoba telah melakukan kejahatan serius yang menimbulkan kematian orang setiap harinya. Karena itu, Ikhsan menilai, dua putusan pembatalan hukuman mati dari Hakim Imran itu tidak sesuai dengan Pasal 5 huruf d Kode Etik Profesi Hakim yang menyebutkan, "Kewajiban memutus perkara, berdasarkan atas hukum dan rasa keadilan".

Untuk itulah, Kaukus meminta agar Ketua KY segera memeriksa Hakim Imran dan melakukan investigasi terhadap putusan-putusan itu. "Kami juga meminta MA segera melakukan eksaminasi terhadap putusan dimaksud dengan melibatkan kajian yang mendalam dari berbagai tokoh masyarakat," ujarnya.

Wakil Ketua KY, Imam Anshori Saleh mengatakan, terkait laporan ini, pihaknya sudah berkoordinasi dengan MA untuk menentukan, apakah MA berjalan sendiri atau melibatkan KY.

"Kalau ada indikasi kuat tentu akan kami prioritaskan tangani. Kita akan klarifikasi ke hakim yang bersangkutan, barangkali benar apakah dia mendapat tekaan atau tidak dalam memutus. Tentu kalau dia mengakui ada tekanan atau apa, itu jadi kewenangan KY," ujarnya.

Seperti diketahui, Imron membebaskan hukuman mati atas putusan kasasi MA. Pada perkara pertama, terpidana Hillary K Chimezie, Imron memutus pemilik 5,8 kilogram heroin itu bebas dari hukuman mati dan mengubah hukumannya menjadi penjara 12 tahun. Putusan terhadap warga negara Nigeria ini dibuat pada 6 Oktober 2010.

Adapun kasus kedua, Imron membebaskan pemilik pabrik ekstasi Hengky Gunawan dari hukuman mati menjadi hukuman 15 tahun penjara pada 16 Agustus 2011 lalu.

Apa alasan Imron dalam kedua putusan tersebut?

"Hukuman mati bertentangan dengan pasal 28 ayat 1 UUD 1945 dan melanggar pasal 4 UU No 39/1999 tentang HAM," tulis salinan PK yang ditandatangani Imron selaku ketua majelis. (sj)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar