Prins David Saut - detikNews
Jakarta - Mahkamah Agung (MA) menghargai masa depan
anak yang dijadikan pelacur sebesar Rp 20 juta. Putusan ini dinilai
menjadi salah satu putusan yang terburuk dalam proses penegakan hukum
dan perlindungan perempuan di Indonesia.
"Ini jadi preseden buruk
untuk melakukan penegakan hukum. Yang disalahkan selalu perempuan yang
sebenarnya korban dari para pelaku," kata mantan Ketua Yayasan Lembaga
Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) Erna Ratnaningsih kepada detikcom, Senin
(3/6/2013).
Mendengar putusan ini, Erna langsung mempertanyakan
kapabilitas dan kredibilitas hakim agung dalam memahami prinsip-prinsip
kesetaraan gender. Majelis kasasi itu diketuai oleh Imron Anwari dengan
anggota Timur Manurung dan Hakim Nyak Pha.
"Harusnya ditraining
gender, dia (para hakim agung) sepertinya kurang memahami kerugian yang
dialami perempuan," ujar Erna yang aktif dalam memperjuangkan hak-hak
perempuan.
Erna melihat keseluruhan kasus yang terjadi di Dumai,
Riau, ini tidak seimbang karena tidak ada penyelesaian hukum pidana
untuk pelaku utama. Sementara, kerugian yang dialami korban sangat
mendalam. Korban pelacuran akan mengalami penderitaan sepanjang sisa
hidupnya.
"Seharusnya yang diproses adalah pelaku yang
memperjualbelikan perempuan ini untuk bekerja secara seksual," ujar
pemerhati masalah trafficking di Indonesia ini.
Erna menilai yang
ganti rugi Rp 20 juta sama saja tidak menghargai kerugian masa depan
korban tersebut. Pasalnya, sebagian besar korban trafficking mengalami
kesulitan hidup berkeluarga dan bekerja.
"Dalam kondisi korban
trafficking itu proses pidana dia seharusnya tidak diberlakukan, bahkan
tidak sampai hakim memutuskan," ujar Erna.
Kasus trafficking ini
terbongkar oleh salah satu korban yang melewati penjaga dan mengirimkan
surat kepada keluarga pada Februari 2000 silam. Dalam putusan kasasi, MA
mengganjar pengelola tempat hiburan malam itu sebesar Rp 30 juta.
"Kerugian
materil Rp 10 juta sedangkan kerugian immateril Rp 20 juta untuk
kerugian moril karena takut, tertekan atau rasa malu serta kerugian masa
depan secara sosial masyarakat," putus MA dalam kasasi bernomor 137
K/Pdt/2008.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar