Oleh Isyana Artharini | Newsroom Blog
Hukuman mati bukan hal mudah untuk dilawan, bahkan sudah menjadi
keniscayaan untuk mendukung pelaksanaan hukuman tersebut buat para
kriminal yang dianggap melakukan kejahatan berat.
Namun pada
12-15 Juni 2013, ada sekitar 1500 orang aktivis, pengacara, dan politisi
dari 90 negara yang menghadiri Kongres Dunia Melawan Hukuman Mati
(World Congress Against the Death Penalty) di Madrid, Spanyol. Ini
adalah untuk kelima kalinya acara tersebut diadakan, setelah pertama
kali diadakan di Strasbourg pada 2001, kemudian di Montreal pada 2004,
Paris (2007), dan Jenewa (2010).
Sejak 2001, mereka berkumpul
setiap tiga tahun untuk membahas penghapusan hukuman mati di berbagai
negara di dunia. Baik peserta maupun penyelenggara kongres ini sadar
betul, posisi yang mereka ambil bukanlah sesuatu yang populer.
Dalam
konferensi pers sebelum pembukaan kongres tersebut di Palacio Municipal
de Congresos, Madrid, Presiden Koalisi Dunia Melawan Hukuman Mati,
Florence Bellivier mengatakan bahwa setiap negara punya konteks budaya
dan ekonomi masing-masing mengenai hukuman mati. Dan evolusi setiap
negara tersebut menuju penghapusan hukuman mati selalu saja sulit.
"Lewat kongres ini kami ingin gerakan abolisi tidak hanya ada di satu
negara saja, atau ada di negara Eropa tertentu saja."
Kongres
ini disponsori oleh empat negara Eropa yang sudah menghapus hukuman
mati, yaitu Spanyol, Norwegia, Swiss, dan Prancis. Saat ini, sudah ada
97 negara di dunia yang menghapus hukuman mati. Ada 57 negara (termasuk
Indonesia) yang masih memberlakukan hukuman mati, dan 36 negara lain
yang sebenarnya masih memberlakukan hukuman mati namun tak melakukan
eksekusi dalam 10 tahun terakhir. Dan 8 negara lain sudah menghapus
hukuman mati, kecuali terjadi hal khusus.
Apa sebenarnya yang membuat hukuman mati harus dihapuskan?
Raphaƫl
Chenuil-Hazan, direktur Ensemble contre la peine de mort (ECPM) dalam
pidato pembukaannya mengatakan, ini hukuman yang kejam, tak manusiawi,
dan merendahkan, bukan hanya untuk si narapidana tapi masyarakat yang
menjatuhkan hukuman tersebut.
"Hukuman mata dibalas mata ini adalah penalti yang tak beradab dan kuno," kata dia.
Salah
satu sesi utama dalam konferensi ini rencananya akan membahas hukuman
mati di kawasan negara-negara Timur Tengah, lengkap dengan kajian
keagamaan, sosiologis, serta legalnya. Tahun ini, konferensi juga akan
memfokuskan diri pada Iran. Tak ketinggalan aktivitas hukuman mati di
negara-negara Asia (termasuk Indonesia) bakal jadi bahasan.
Jerry
Givens, seorang mantan sipir di negara bagian Virginia, Amerika
Serikat, yang sudah mengeksekusi 62 orang punya pendapat soal
penghapusan hukuman mati. Ada 25 narapidana yang ia suntik mati, dan 37
lain yang ia setrum dengan 3000 volt listrik.
"Balas dendam itu
bukan keadilan. Kita hanya membuat senang ayah atau ibu yang anaknya
terbunuh, sehingga mereka mendapat penutup. Namun bagaimana kita memberi
'penutup buat keluarga yang dijatuhi hukuman mati? Kalau misalnya
pemerintah mau menurunkan tingkat kriminalitas, kenapa dengan membunuh?"
Givens kemudian menyoroti kondisi pengadilan yang dijalani narapidana di
Amerika Serikat. "Di negara saya, jika kamu tak punya uang, maka kamu
tidak akan mendapat pengadilan yang adil. Bagaimana jika dari 62 orang
yang saya bunuh tersebut, ada yang mendapat pengadilan tak adil? Jika
mereka dihukum penjara dan baru diketahui 20 tahun kemudian bahwa napi
ini ternyata tidak bersalah, dia bisa dilepas. Tapi jika mereka dihukum
mati, saya tak bisa menggali mereka dari kuburan, menghidupkan mereka
lagi."
"Kematian itu pasti akan datang. Jika Tuhan mengambil
nyawa, dia tetaplah Tuhan. Jika saya yang mengambil nyawa, saya adalah
seorang jagal."
Kata-kata Givens si mantan jagal itu disambut
oleh air mata dari Tanya Ibar. Suami Tanya, Pedro Ibar, sudah 19 tahun
berada dalam 'antrian' hukuman mati di negara bagian Florida, AS. Pedro
Ibar adalah satu-satunya warga negara Spanyol yang dijatuhi hukuman mati
di negara bagian tersebut.
"Tak mungkin mendengar kata-kata
seperti itu dari sipir yang mengawasi suami saya," kata dia. "Di
Amerika, saya dibilang kekasih seorang pembunuh, di sini saya mendapat
dukungan luar biasa. Mereka berusaha mengganti hilangnya nyawa orang
lain dengan mencabut nyawa suami saya, ini bukanlah keadilan. Apa
pembenarannya? Pencarian keadilan bukanlah tentang melakukan sesuatu
yang mudah atau populer, tapi tentang melakukan hal yang benar."
Sentimen
Tanya Ibar tersebut dibenarkan oleh pernyataan dari Menteri Luar Negeri
Prancis, Laurent Fabius dalam upacara pembukaan Kongres. "Inilah
saatnya politisi berani melawan argumen lama, bahwa penghapusan hukuman
mati akan menghancurkan masyarakat dan meningkatkan kejahatan."
Fabius
bercerita bahwa Prancis baru 30 tahun lalu menghapuskan hukuman mati.
Pada saat itu, masyarakatnya sangat mendukung penjatuhan hukuman
tersebut. Saat penghapusan hukuman mati diberlakukan, sentimen yang
berlaku di masyarakat Prancis pun begitu tak ramah. Fabius tapi
menekankan, "Penghapusan hukuman mati di Prancis membuat kita sadar
bahwa keberanian para politisi ini melawan opini mayoritas publik
terbayar, dan bahwa apa yang mereka lakukan adalah hal yang tepat."
Gry
Larsen, Wakil Menteri Luar Negeri Norwegia, mengakui beratnya langkah
yang harus diambil menuju penghapusan hukuman mati di sebuah negara.
"Tak bisa sekaligus, ada tahap-tahap yang bisa diambil lebih dulu
sebelum penghapusan hukuman mati."
Pertama, bisa dengan melakukan
moratorium hukuman mati sehingga mengurangi jumlah narapidana yang
dieksekusi, lalu kemudian membatasi jumlah kejahatan kriminal yang bisa
mendapat hukuman mati, sampai kemudian hukuman itu dihapuskan.
TerorismeDi
Indonesia, kadang hukuman mati dilakukan tak lewat jalur hukum.
Eksekusi pelaku terorisme ada yang melalui proses pengadilan, tapi
sering juga terjadi tanpa melalui proses pengadilan, hanya dilakukan
saat penggerebekan oleh Detasemen 88, meski mereka masih terduga
teroris. Mungkin yang jadi pertimbangan adalah hilangnya nyawa yang
disebabkan oleh aksi terorisme tersebut.
Namun Soad El Khammal,
seorang ibu dan pengacara yang kehilangan dua anak laki-lakinya dan
suaminya karena ledakan bom di Casablanca pada Mei 2003, tetap tak
mendukung pelaksanaan hukuman mati.
"Jika saya ditanya saat itu,
mungkin saya akan membunuh sendiri para pelaku pengeboman itu dengan
tangan saya. Namun setelah 10 tahun berlalu, saya berintrospeksi.
Sebagai seorang ibu yang pernah melahirkan anak, saya tak bisa melihat
orang dibunuh seperti itu lewat hukuman mati. Dan yang kedua, saya tetap
ingin melihat mereka dipenjara selama seumur hidup, kemudian mungkin
mereka akan menyesali apa yang mereka lakukan."
"(Mendukung penghapusan hukuman mati) bukanlah memberi ampunan, tapi membiarkan mereka merasa bersalah seperti seharusnya."
Tidak ada komentar:
Posting Komentar