London (ANTARA News) - Amnesty Internasional mengungkapkan persidangan atas dua belas anggota Kopassus (Komando Pasukan Khusus) yang dituduh melakukan eksekusi di luar hukum terhadap empat tahanan mungkin tidak lebih dari sekedar tanda tipuan sebagaimana pengadilan militer kasus itu dibuka Kamis.

Hal itu diungkapkan Deputi Direktur Program Asia-Pasifik Amnesty International, Isabelle Arradon, yang bermarkas di London dalam keterangan yang diterima ANTARA London, Jumat.

Pengadilan semacam ini seharusnya tidak boleh digunakan untuk mengadili mereka yang dituduh melakukan pelanggaran HAM, karena pengadilan tersebut bersifat bias dan menciptakan suatu lingkungan yang intimidatif terhadap saksi untuk membuat kesaksian , ujarnya.

Kopassus telah dituduh bertanggung jawab terhadap berbagai pelanggaran HAM serius di masa lalu, namun sebagian besar dari mereka tidak pernah diadili dalam sebuah pengadilan yang independen untuk kejahatan-kejahatan semacam itu.

Kasus mengerikan ini merupakan peringatan yang begitu gamblang bagaimana reformasi militer dan sistem peradilan pidana sudah macet bertahun-tahun di Indonesia.

Para pelaku kejahatan masa lalu bebas berkeliaran dan pelanggaran HAM baru dapat dilakukan dengan impunitas yang jelas terlihat.

Menurut Isabelle Arradon, harus ada perubahan segera dalam perundang-undangan dan praktik supaya pelanggar HAM dapat secara efektif diadili di muka peradilan sipil yang independen, dan untuk mengirimkan pesan yang jelas bahwa tidak ada seorang pun di atas hukum.

Kedua belas personel Kopassus tersebut dituduh atas pembunuhan empat tahanan tak bersenjata di penjara Cebongan di luar Yogyakarta pada 23 Maret tahun ini.

Menurut sumber-sumber yang dapat dipercaya, para personel Kopassus tersebut -- menggunakan penutup muka dan membawa senjata api, termasuk AK-47 -- berhasil memaksa masuk ke dalam penjara setelah seseorang mengklaim dari Kepolisian Yogyakarta meyakinkan para penjaga untuk membuka pintu.

Setelah memukuli penjaga supaya dapat mengakses sel para tahanan tersebut, para personel Kopassus tersebut kemudian dilaporkan menembak mati tahanan di dalam sel . Rekaman CCTV juga diambil dari penjara itu sebagai upaya nyata untuk menyembunyikan barang bukti.

Reaksi awal komandan militer lokal atas kejadian ini adalah menyangkal keterlibatan personel militer, namun sebuah penyelidikan internal militer kemudian menyebut 12 nama anggota Kopassus sebagai tersangka.

Meski demikian, Komandan Kopassus Mayor Jenderal Agus Sutomo bersikeras bahwa apa yang terjadi bukan sebuah pelanggaran HAM, tetapi merupakan "pembangkangan".

Isabelle Arradon mengatakan pejabat militer itu menyatakan "pembangkangan" bagi pembunuhan empat orang tak bersenjata yang ditahan di dalam sebuah sel merupakan hal yang sangat memperihatinkan, dan menunjukan mengapa sangat penting bahwa militer seharusnya tidak diperbolehkan menyelidiki sendiri dalam kasus-kasus semacam ini.

Meskipun penting bahwa langkah-langkah diambil untuk memastikan mereka yang bertanggung jawab atas pelanggaran HAM yang serius dapat dimintai pertanggungjawabannya, pengadilan militer bukan solusinya, ujarnya.

Eksekusi di luar hukum adalah kejahatan di bawah hukum internasional, dan juga melanggar hak asasi dasar manusia untuk hidup, yang mana Indonesia terikat untuk menghormati dan melindunginya di bawah hukum perjanjian internasional dan Konstitusinya sendiri.

Dengan persidangan terhadap 12 personel Kopassus dimulai besok, kelompok-kelompok HAM Indonesia telah mengangkat keprihatinannya akan sedikitnya barang bukti yang dikumpulkan oleh penyidik militer. Paling tidak 10 saksi yang trauma juga takut untuk bersaksi di pengadilan dan telah meminta fasilitas telekonferensi.

Isabelle Arradon mengatakan bersaksi dalam pengadilan militer jelas merupakan kemungkinan yang menakutkan bagi banyak orang sipil. Pemerintah Indonesia perlu memastikan para saksi dari pelanggaran HAM militer tersebut bebas dari potensi balas dendam selama proses persidangan. (ZG