Surabaya (ANTARA) - Pakar Ilmu Akuntansi dari Universitas Airlangga (Unair) Surabaya Prof Dr Bambang Tjahjadi SE MBA Ak menilai maraknya mafia di Indonesia seperti mafia pajak membuktikan "Good Governance" atau "Good Corporate Governance" masih fatamorgana.
"Maraknya mafia pajak, mafia paspor, mafia tanah, mafia obat, mafia pendidikan, mafia hukum, mafia kejahatan narkoba, dan mafia-mafia lainnya menguatkan bukti bahwa Good Governance masih merupakan ilusi," katanya di Surabaya, Minggu.
Guru Besar ke-400 Unair Surabaya itu menegaskan bahwa Good Governance itu tidak ditentukan oleh sumberdaya alam (SDA) yang melimpah, karena negara yang miskin SDA tapi praktik Good Governance berjalan bagus, maka negara itu bisa menjadi kaya.
"Negara miskin SDA yang akhirnya menjadi negara kaya karena Good Governance yang dijalankan bukan fatamorgana antara lain Korea Utara, Taiwan, Singapura, Hong Kong, Israel, dan Denmark," kata guru besar yang baru saja dikukuhkan pada 19 Februari itu.
Sebaliknya, negara yang kaya SDA, tapi akhirnya menjadi negara miskin akibat Good Governance yang bersifat fatamorgana antara lain Indonesia, Nigeria, Arab Saudi, Venezuela, dan Rusia.
"Kaplan dan Norton (2004) menyebut negara miskin SDA tapi akhirnya menjadi kaya itu karena menerapakn tiga hal yakni human capital, information capital, dan organization capital," katanya.
Ia menjelaskan human capital adalah pengembangan sumberdaya manusia yang kompeten dan berkarakter, information capital adalah penguasaan teknologi, dan organization capital adalah organisasi yang baik (Good Governance).
"Karena itu, solusinya adalah bagaimana membumikan Good Governance, sehingga bukan hanya pidato, workshop, atau bahkan penandatangan Pakta Integritas. Itu tidak cukup, tapi upaya membumikan Good Governance itu perlu sistem manajemen yang terintegrasi," katanya.
Menurut dia, manajemen yang terintegrasi itu harus didukung tiga hal yakni sistem manajemen strategik, sistem manajemen risiko, dan sistem manajemen proses bisnis.
"Sistem manajemen strategik adalah sistem manajemen yang terkomunikasi atau dapat diidentifikasi secara keseluruhan unit yang dapat dilakukan dengan bantuan teknologi informasi. Tentunya, strategi itu harus melalui formulasi visi dan misi organisasi," katanya.
Untuk sistem manajemen risiko adalah sistem untuk mengukur sistem yang dikomunikasikan dan diidentifikasikan itu, termasuk reward dan punishment yang juga terpantau secara adil.
Sementara itu, sistem manajemen proses bisnis adalah upaya menjadikan organisasi memiliki keunggulan (daya saing) dibandingkan dengan pesaing, termasuk keunggulan dalam mengelola risiko yang datang dari pesaing.
"Dengan manajemen terintegrasi yang meliputi strategik, risiko, dan proses bisnis (keunggulan) itu, maka organisasi akan menjadi sistem yang tidak lagi bergantung kepada tokoh, karena siapapun yang memimpin akan mengikuti sistem yang sudah berjalan," katanya.
Ia menambahkan masalah yang terjadi di Indonesia sebenarnya masalah manajemen pemerintahan yang belum efektif atau Good Governance atau Good Corporate Governance selama ini hanya ilusi, karena itu perlu penerapan manajemen yang terintegrasi.
"Maraknya mafia pajak, mafia paspor, mafia tanah, mafia obat, mafia pendidikan, mafia hukum, mafia kejahatan narkoba, dan mafia-mafia lainnya menguatkan bukti bahwa Good Governance masih merupakan ilusi," katanya di Surabaya, Minggu.
Guru Besar ke-400 Unair Surabaya itu menegaskan bahwa Good Governance itu tidak ditentukan oleh sumberdaya alam (SDA) yang melimpah, karena negara yang miskin SDA tapi praktik Good Governance berjalan bagus, maka negara itu bisa menjadi kaya.
"Negara miskin SDA yang akhirnya menjadi negara kaya karena Good Governance yang dijalankan bukan fatamorgana antara lain Korea Utara, Taiwan, Singapura, Hong Kong, Israel, dan Denmark," kata guru besar yang baru saja dikukuhkan pada 19 Februari itu.
Sebaliknya, negara yang kaya SDA, tapi akhirnya menjadi negara miskin akibat Good Governance yang bersifat fatamorgana antara lain Indonesia, Nigeria, Arab Saudi, Venezuela, dan Rusia.
"Kaplan dan Norton (2004) menyebut negara miskin SDA tapi akhirnya menjadi kaya itu karena menerapakn tiga hal yakni human capital, information capital, dan organization capital," katanya.
Ia menjelaskan human capital adalah pengembangan sumberdaya manusia yang kompeten dan berkarakter, information capital adalah penguasaan teknologi, dan organization capital adalah organisasi yang baik (Good Governance).
"Karena itu, solusinya adalah bagaimana membumikan Good Governance, sehingga bukan hanya pidato, workshop, atau bahkan penandatangan Pakta Integritas. Itu tidak cukup, tapi upaya membumikan Good Governance itu perlu sistem manajemen yang terintegrasi," katanya.
Menurut dia, manajemen yang terintegrasi itu harus didukung tiga hal yakni sistem manajemen strategik, sistem manajemen risiko, dan sistem manajemen proses bisnis.
"Sistem manajemen strategik adalah sistem manajemen yang terkomunikasi atau dapat diidentifikasi secara keseluruhan unit yang dapat dilakukan dengan bantuan teknologi informasi. Tentunya, strategi itu harus melalui formulasi visi dan misi organisasi," katanya.
Untuk sistem manajemen risiko adalah sistem untuk mengukur sistem yang dikomunikasikan dan diidentifikasikan itu, termasuk reward dan punishment yang juga terpantau secara adil.
Sementara itu, sistem manajemen proses bisnis adalah upaya menjadikan organisasi memiliki keunggulan (daya saing) dibandingkan dengan pesaing, termasuk keunggulan dalam mengelola risiko yang datang dari pesaing.
"Dengan manajemen terintegrasi yang meliputi strategik, risiko, dan proses bisnis (keunggulan) itu, maka organisasi akan menjadi sistem yang tidak lagi bergantung kepada tokoh, karena siapapun yang memimpin akan mengikuti sistem yang sudah berjalan," katanya.
Ia menambahkan masalah yang terjadi di Indonesia sebenarnya masalah manajemen pemerintahan yang belum efektif atau Good Governance atau Good Corporate Governance selama ini hanya ilusi, karena itu perlu penerapan manajemen yang terintegrasi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar