Jakarta (ANTARA News) - Narapidana seumur hidup kasus narkoba, Liem Marita, mengajukan uji materi Pasal 24 ayat (2) UU No. 48 tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman, Pasal 66 ayat (1) UU No. 14 tahun 1985 tentang Mahkamah Agung (MA), dan Pasal 268 ayat (3) KUHAP yang mengatur Peninjauan Kembali (PK) hanya bisa diajukan satu kali ke Mahkamah Konstitusi (MK).

"Pemohon yang dijatuhi hukuman seumur hidup dengan membatasi PK hanya satu kali telah menutup pintu keadilan untuk selamanya," kata Kuasa Hukum Liem Marita, Muhammad Burhanuddin, di MK Jakarta, Kamis.

Menurut Burhanuddin, aturan PK yang hanya sekali berpotensi menghilangkan hak masyarakat, khususnya pemohon untuk mendapatkan keadilan.

"Untuk kami mohon untuk narapidana seumur hidup atau hukuman mati diperbolehkan mengajukan PK lebih dari satu kali jika menemukan novum (bukti baru)," kata Burhanuddin.

Liem Marita alias Aling adalah terpidana seumur hidup yang kini mendekam di Lembaga Pemasyarakatan Wanita Tangerang.

Wanita berumur 43 tahun ini divonis seumur hidup oleh putusan MA dalam  kasus kepemilikan 57 ribuan butir ekstasi.

Pada Desember 2010, narapidana yang disebut-sebut menikmati fasilitas mewah bersama Artalyta Suryani (Ayin) di tahanan ini mengajukan PK, namun ditolak oMA.

Saat ini Aling hendak mengajukan kembali PK lantaran telah mengantongi novum (bukti baru) dalam status kepemilikan barang haram itu. Namun, niat itu urung diwujudkan lantaran terganjal sejumlah aturan yang melarang pengajuan PK lebih dari satu kali.

Burhanuddin menilai aturan PK satu kali ini bertentangan dengan Pasal 1 ayat (3) dan Pasal 28 D ayat (1) UUD 1945 sepanjang untuk perkara pidana yang dijatuhi hukuman pidana mati atau seumur hidup.

Hal itu didasarkan pada hak asasi manusia karena konsep pemidanaan tidak hanya menekankan aspek pembalasan, tetapi juga aspek rehabilitasi dan reintegrasi sosial bagi pelaku tindak pidana.

"Konsep ini bertujuan pelaku menyadari kesalahan, tidak berhendak melakukannya lagi, dan kembali menjadi warga negara yang bertanggung," katanya di depan majelis hakim pimpinan Hamdan Zoelva.

Menanggapi permohonan ini, anggota majelis hakim Harjono mempertanyakan hubungan Pasal 1 ayat (3) dan Pasal 28 D ayat (1) UUD 1945 dengan pembatasan PK hanya sekali.

"Apa kaitannya negara hukum dengan pembatasan PK hanya sekali, apa negara hukum melarang pembatasan PK atau boleh dilakukan tak terbatas yang justru akan mempengaruhi kepastian hukum. Ini argumentasinya apa?" tanya Harjono.

Selain itu, Pasal 28 D ayat (1) UUD 1945 yang menjamin kepastian hukum yang adil dan perlakuan yang sama di hadapan hukum.

"Apa yang menyebabkan PK satu kali bertentangan dengan Pasal 28 D ayat (1)? Apa itu bertentangan dengan hak pengakuan, jaminan, atau kepastian hukum yang mana? Ini juga harus dijelaskan, bagaimana Saudara meyakinkan hakim bahwa PK satu kali bertentangan dua pasal tadi?" tanyanya tajam.

Sedangkan Hamdan mengatakan sebelumnya MK sudah memutus dua kali pengujian aturan yang sejenis tahun lalu.

"Dua perkara sejenis sudah pernah diputus dan putusannya ditolak," kata Hamdan.

Untuk itu, Hamdan menyarankan permohonan dibuat secara spesifik di luar alasan yang sudah dipertimbangkan Mahkamah pada putusan sebelumnya.

"Jadi fokus saja pada soal argumentasi diperbolehkannya PK lebih dari sekali bagi terpidana hukuman mati atau seumur hidup, kenapa mereka bisa dikecualikan," saran Hamdan.