Jakarta (ANTARA News) - Pakar hukum dan aktivis Kaukus Perempuan Politik, Dr Eleonora Moniung, SH mengatakan, segala bentuk diskriminasi atas perempuan bertentangan dengan Undang Undang Dasar 1945 dan tidak berlandaskan kepada Pancasila, karena itu harus dicegah.

"Indonesia pun telah meratifikasi konvensi (mengenai) penghapusan segala bentuk diskriminasi terhadap kaum perempuan melalui Undang Undang RI Nomor 7 Tahun 1984, katanya kepada ANTARA di Jakarta, Selasa, usai menghadiri sebuah perhelatan kaum perempuan.

Ia mengatakan itu, sehubungan 100 tahun Hari Perempuan sedunia (`The Women`s International Day`-IWD) yang diperingati dengan menggelar beragam kegiatan, 8 Maret 2011.

"Memang IWD kali ini sangat spesial, karena merupakan tahun ke-100," katanya.

Karena usianya sudah seabad, menurutnya, mestinya segala bentuk diskriminasi terhadap perempuan atau para wanita tidak lagi terjadi, karena tak sesuai dengan kemajuan peradaban manusia.

"Apalagi bagi kita di Indonesia, ini bertentangan dengan nilai-nilai Pancasila dan Undang Undang Dasar 1945," tandasnya.

Sayangnya, demikian Eleonora Moniung, di era Pemerintahan Kabinet Indinesia Bersatu (KIB) Jilid II, program yang mengapresiasi terhadap perempuan belum diprioritaskan.

"Itu antara lain diindikasikan dengan belum ditanganinya beberapa tantangan secara maksimal," ujarnya.

Seperti misalnya, ungkapnya, permasalahan TKW di luar negeri, perdagangan perempuan dan anak, masalah kesehatan serta gizi buruk bagi ibu maupun anak.

"Selain itu, masih ada problem partisipasi perempuan dalam masyarakat dan politik, di samping masalah-masalah yang dihadapi perempuan pedesaan dlsbnya," ungkapnya lagi.

Kendati begitu, demikian Eleonora Moniung, secara umum permasalahan tersebut di atas sudah masuk Rencana Program Pembangunan Jangka Pendek maupun Jangka Panjang dalam KIB I juga II.

"Memang mengutip pendapat fisuf Yunani, Epictetus, bahwa tidak ada hal hebat yang tercipta dalam sekejap, maka apa yang terjadi di dua kabinet terakhir dengan segala gagasan maupun wacana programnya, tentu memprihatinkan kita semua," ujarnya.

Namun sesungguhnya, lanjutnya, belajar dari Pemerintahan sebelumnya, seyogianya untuk kepentingan hak-hak perempuan Indonesia, apalagi melihat populasi penduduk Indonesia, mestinya prioritas penanganannya harus signifikan.

"Fakta menunjukkan, jumlah penduduk perempuan di atas 52 persen sesuai data statistik (BPS) terakhir. Mestinya ini menjadi atensi serius dalam menetapkan kebijakan prioritas (di bidang kesetaraan gender)," tandasnya.

Hanya saja, menurutnya, secara khusus, kaum perempuan di sejumlah daerah, seperti di Minahasa (Provinsi Sulawesi Utara), dan Bali, sudah melaksanakan kesetaraan gender.

"Itu berlangsung secara kultu menurut kearifan lokal maing-masing, di mana hak-hak perempuan tidak diperdebatkan lagi secara krusial, karena sudah diimplementasikan dalam keseharian sosial masyarakat tanpa masalah," ungkap Eleonora Moniung. (*)

(M036/Z002)