NILAH.COM, Jakarta - Mengikuti persidangan kasus korupsi Wisma Atlit SEA Games publik disajikan data terang benderang yang cukup mencengangkan. Bahwa orang-orang besar yang sering tampil seperti orang bijak, ternyata merupakan para koruptor kakap.Orang besar seperti Anas Urbaningrum, Andi Mallarangeng, Angelina Sondakh, Mirwan Amir - semuanya dari Partai Demokrat, kemudian Alex Noerdin dari Golkar, sejak awal sudah disebut mendapatkan aliran dana dari hasil korupsi di proyek tersebut. Nama-nama mereka tidak pernah hilang dari setiap kesaksian oleh orang kecil seperti Mindo Rosalinda Manulang, Yulianis dan Wafid Muharam.
Sejak pemeriksaan pertama hingga hasil pemeriksaan menjadi berita acara pemeriksaan (BAP), nama-nama yang disebutkan di atas, tidak pernah berubah. Artinya ada konsistensi dan keberanian dari orang-orang kecil itu untuk mengungkap keterlibatan orang-orang besar di atas dalam kasus korupsi tersebut.
Bahkan Mindo Rosalinda, sekalipun mendapat ancaman pembunuhan beberapa hari sebelum persidangannya, ketika bersaksi Senin (16/1/2012), tetap tegar menyebut nama-nama di atas.
Tetapi dari peta situasi yang ada, kelihatannya, nama-nama itu bakal tak tersentuh oleh kekuatan hukum sama sekali. Orang-orang besar itu hanya mengangkangi hukum dan keadilan Indonesia. Padahal kalau dicermati dan KPK mau menggunakan logika, lembaga ini punya alasan yang cukup kuat untuk menindak lanjuti keterlibatan orang-orang besar itu dalam skandal korupsi.
Soalnya konsistensi dari orang-orang kecil ini, bukan sebuah kebetulan. Tetapi konsistensi itu sudah merupakan sikap. Bahwa mereka berani menghadapi risiko apapun, dengan menyebut nama orang-orang besar tersebut.
Dari persidangan jelas terlihat, orang-orang kecil itu sesungguhnya bukanlah aktor-aktor penentu dari proyek tersebut. Mereka hanya pekerja yang dibayar gaji bulanan atau honorarium tertentu. Dari BAP yang ada juga terungkap, mereka tidak menikmati aliran dana korupsi tersebut. Mereka sekadar sebagai "juru bayar", pesuruh atau tempat penitipan. Namun ironisnya, merekalah pihak pertama yang menjadi korban. Mereka yang lebih dahulu dihukum.
Nama baik mereka hancur di mata publik dan keluarga. Mereka diberitakan di media dengan berbagai tuduhan, kemudian diperiksa, ditahan dan diadili. Berbulan-bulan nama mereka disebut sebagai orang yang terlibat dalam skandal korupsi pembangunan Wisma Atlit SEA Games. Sementara orang-orang besar, aktor-aktor riil yang pundi-pundi keuangan mereka mendapatkan aliran dana, tidak atau hanya disebut sambil lalu saja.
Oleh sebab itu keterangan orang-orang kecil ini menjadi hal yang penting. Sebab mereka tidak sama dengan Mohammad Nazaruddin. Kalau yang satu ini, bekas Bendahara Umum Partai Demoktrat, wajar jika kecipratan masalah. Sebab dia bagian dari aktor.
Soal benar tidaknya tudingan dia terhadap teman-temannya di atas, tapi Nazar tetap saja orang yang ikut punya besar sehingga terjadilah korupsi tersebut. Jadi segenting apapun tudingannya terhadap bekas teman-temannya kebenarammya masih bisa diragukan atau dipertanyakan.
Masalahnya karena Nazar selain politisi, dia juga seorang pengusaha. Sebagai politisi, bisa saja ia menuding orang-orang besar di atas, karena kepentingan politik dengan mereka sudah berbeda. Atau sebagai pegusaha, bisa saja berseberangan dengan teman-temannya di atas, karena antara dia dengan orang-orang besar iu sudah pecah kongsi.
Dan kalau Nazaruddin berusaha menjaring agar teman-temannya bisa ikut ditahan seperti dia, masuk akal. Soalnya orang-orang besar di atas tetap duduk manis sambil, menikmati kehidupan normal. Sementara nasib Nazar semakin tidak jelas. Selain kemungkinan Nazar bakal dipenjara, isterinya sampai sekarang masih menjadi buronan.
Sehingga dari segi psikologi dan kemanusiaan, sangat ajar jika Nazar semakin berang, berseberangan atau bermusuhan dengan orang-orang besar di atas. Kalau perasaan orang awam terhadap hukum yang digunakan, sejatinya pengadilan terhadap Mindo Rosalinda, sungguh sangat tidak adil.
Penegakkan keadilan dalam kasus korupsi Wisma Atlit ini, sangat pincang. Orang besar dilindungi, orang kecil dikorbankan. Dalam kasus ini cukup terlihat atau dirasakan, siapa yang mempunyai posisi tawar secara politik, akan dilindungi atau terlindungi.
Terlalu mencolok pemanfaatan kekuasaan atas kekuatan hukum dalam kasus ini. Selain itu tanpa disadari para penegak hukum dalam kasus ini seolah menganggap masyarakat terlalu bodoh. Tidak paham dengan perilaku-prilaku politik yang ikut mengorupsi hukum dan kekuasaan.
Bagaimana tidak? Sekalipun nama-nama orang besar itu sudah disebut berkali-kali, status mereka tetap saja seperti orang yang tidak bermasalah. Sudah lebih dari dua bulan, nama-nama orang besar itu disebut-sebut. Tetapi sampai saat ini tidak ada tanda-tanda bahwa KPK akan menjadikan mereka sebagai tersangka. Emangnya KPK akan bubar kalau orang-orang besar itu ditangkap?
Anas dan Angelina serta Andi Mallarangeng memang pernah diperiksa oleh KPK. Tetapi kelanjutan dari pemeriksaan itu, tidak ada. Sehingga kesan sementara, pemeriksaan itu hanya sebatas kosmetik. Tujuannya agar pemberantasan kourpsi di Indonesia kelihatan dikerjakan secara baik.
Kita tidak tahu apakah setelah kesaksian Mindo Rosalinda kemarin, akan ada tindak lanjut dari KPK atau bagaimana. Apakah KPK masih tetap membiarkan orang-orang besar itu seperti orang suci?
Mungkinkah kesaksian orang kecil itu oleh KPK hanya dianggap sebagai "masukan" saja. Logika hukum dan logika orang awam terhadap logika para penegak hokum, dalam menghadapi kasus Wisma Atlit ini semakin tidak bersesuaian.
Para ahli hukum begitu banyak dalih yang mereka gunakan untuk mematahkan sebuah fakta. Mereka lupa yang tidak bisa dipatahkan oleh ahli hukum manapun, adalah suara hati nurani, suara rakyat.
Dalam kasus korupsi Wisma Atlit, jika KPK sungguh-sungguh mau melakukan investigasi terhadap orang-orang besar tersebut, sebetulnya tidak sulit. Audit saja kekayaan mereka. Mudah sekali menemukan fakta valid. Bahwa kekayaan orang-orang besar itu melonjak drastis setelah ada kasus korupsi.
Lihat gaya hidup mereka. Seperti yang dilansir oleh berbagai media. Dengan pendapatan di DPR di bawah Rp100 juta per bulan tetapi bisa gonta-ganti kendaraan pribadi yang harganya ratusan juta bahkan di atas Rp1 miliar.
Bandingkan kehidupan mereka sebelum menjadi wakil rakyat. Sangat drastis lonjakan kemewahannya. Kehidupan mereka dengan saat kasus korupsi terbongkar, sangat domplang.
Persepsi tentang pengadilan korupsi akan berbeda apabila orang-orang besar yang disebutkan di atas dijadikan tersangka. Jadi tidak seperti sekarang, KPK hanya diam, menjadi penonton atas sandiwara peradilan. [mdr]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar