Andi Saputra - detikNews
Jakarta - Penasehat hukum terdakwa dugaan korupsi pada
proyek bioremediasi PT Chevron Pacific Indonesia (CPI) menilai hakim
tidak memberikan kesempatan yang sama antara jaksa dan penasihat hukum
dalam menghadirkan saksi. Hal ini telah disampaikan pekan lalu tetapi
dijadwalkan ulang oleh majelis hakim.
"Kami keberatan dengan
kondisi penjadwalan ini karena kesempatan untuk menghadirkan saksi yang
meringankan harus optimal dimanfaatkan oleh terdakwa," kata penasihat
hukum Dedy Kurniadi dalam siaran persnya, Kamis (18/4/2013). Dedy
bergabung dalam tim penasihat hukum untuk terdakwa Herlan bin Ompo dan
Ricksy Prematuri.
Hal ini juga telah disampaikan kepada majelis
hakim Pengadilan Tipikor, Jakarta, kemarin. Sidang yang menghadirkan dua
saksi ahli dan dua saksi fakta dari tim penasihat hukum merupakan
kesempatan terakhir bagi penasehat hukum terdakwa untuk menghadirkan
saksi. Sementara tujuh saksi lain telah diajukan untuk hadir pada sidang
hari Jumat kemarin
Sejak sidang dibuka tanggal 20 Desember 2012,
majelis hakim telah memberikan kesempatan kepada jaksa penuntut umum
untuk menghadirkan lebih dari 40 saksi, termasuk tiga saksi ahli.
Sementara itu, tim penasihat hukum baru diberi kesempatan untuk
menghadirkan lima saksi, yaitu tiga saksi ahli dan dua saksi fakta.
"Kami kira jaksa sudah diberikan kesempatan yang jauh lebih besar," ujar Dedy.
Terdakwa
didakwa telah memperkaya diri sendiri, orang lain atau korporasi
sebagaimana diatur dalam Pasal 2 ayat 1 UU Pemberantasan Tindak Pidana
Korupsi. Sementara untuk dakwaan subsider, mereka dijerat Pasal 3 UU
yang sama.
PT GPI dianggap tidak melaksanakan bioremediasi sesuai
Keputusan Menteri Lingkungan Hidup. Namun Chevron tetap membayar PT GPI
untuk kegiatan bioremediasi tersebut. Akibat proyek fiktif ini,
kerugian keuangan negara diduga mencapai USD 9,9 juta.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar