Kamis, 22 Maret 2012

Kronologi Penangkapan Mochtar Mohamad


Headline
Mochtar Mohamad - inilah.com/Agus Priatna
Oleh: Santi Andriani & Agus Rahmat
Nasional - Kamis, 22 Maret 2012 | 00:05 WIB
TERKAIT

Juru bicara KPK Johan Budi menjelaskan, sebelumnya KPK belum tahu keberadaan Mochtar Mohamad. "Sebelumnya kita melakukan pengecekan posisi. Kita tunggu sampai jam 05.00 Wib tidak ada di Bekasi dan Jakarta," jelas Johan di gedung KPK, Jakarta, Rabu (21/3/2012).

Ketika itu, KPK mencoba menghimpun informasi. Sebab, politisi PDI Perjuangan tersebut tidak diketahui keberadaannya. Termasuk, rumah dinas yang biasa dia tempati, kosong. "Sudah dua tiga hari yang bersangkutan tidak ada di tempat, ternyata di Bali," katanya.

Rabu pagi, Mochtar ditangkap. Namun, tim baru bisa berangkat pada pukul 15.00 Wib dengan menggunakan pesawat komersial. "Yang bersangkutan di vila Seminyak Bali. Penjemputan dilakukan tim KPK dibantu dari pihak kepolisian. Kita melakukan penjemputan sesuai kesepakatan. Tentu ada pengawalan. Yang melakukan jaksa. Pak Mochtar saat itu Kooperatif," jelasnya.

Tim yang diberangkatkan dari Jakarta ada 4 orang. Dua diantaranya adalah dari unsur Jaksa. "Dua lagi bukan Jaksa, dibantu oleh pihak sana (di Bali)," pintanya.

Sebelumnya, KPK menangkap Wali Kota Bekasi nonaktif Mochtar Mohamad di Bali, Rabu (21/3/2012). "Benar, di Seminyak Bali pukul 11.00," ujar Juru Bicara KPK Johan Budi melalui pesan singkat yang diterima INILAH.COM, Rabu (21/3/2012).

Mochtar Mohamad telah dua kali tidak memenuhi panggilan eksekusi atau penahanan dari KPK terkait dengan putusan vonis Mahkamah Agung (MA) yang menghukumnya dengan hukuman enam tahun penjara. Pihak Mochtar Mohamad mengatakan, tidak memenuhi panggilan karena beralasan belum menerima salinan putusan dari MA.

Mochtar sebelumnya divonis bebas atau tidak bersalah oleh Pengadilan Tipikor Bandung Jawa Barat, atas putusan itu Penuntut Umum KPK mengajukan kasasi ke MA. Pada pengadilan MA, Mochtar dinyatakan bersalah dan divonis enam tahun penjara. [gus]

Pengadilan Tolak Banding Mantan Dirut PLN

Eddie Widiono tetap harus menjalani hukuman lima tahun penjara dan denda Rp500 juta

Kamis, 22 Maret 2012, 10:36 WIB
Ita Lismawati F. Malau
VIVAnews - Upaya banding mantan Direktur Umum PLN, Eddie Widiono Suwondho, tak membuahkan hasil. Pengadilan Tinggi DKI Jakarta menguatkan putusan Pengadilan Khusus Tindak Pidana Korupsi (Tipikor), Jakarta Pusat.

Juru bicara PT DKI Jakarta Achmad Sobari mengatakan putusan ini diketok Majelis Hakim Banding yang diketuai Jurnalis Amrad pada 15 Maret 2012. Adapun anggota majelis hakim terdiri dari Achmad Sobari, Zahrul Rabain, As'adi Al Ma'ruf, dan Hadi Widodo.

Selain menguatkan putusan Pengadilan Tipikor Jakarta Pusat, Majelis Hakim juga memperbaiki redaksional putusan tersebut. "Karena dakwaan yang tidak terbukti--dakwaan primer-- belum dimasukkan dalam amar putusan pengadilan negeri," jelas Achmad.

Seharusnya, putusan pengadilan negeri itu mencantumkan amar:
-Menyatakan terdakwa Eddie Widiono Suwondo secara sah meyakinkan tidak terbukti bersalah melakukan tindak pidana dalam dakwaan primair dan membebaskan terdakwa dari dakwaan tersebut.
Setelah itu, imbuh Ahmad, putusan menyebutkan: terdakwa bersalah melakukan tindak pidana dakwaan subsider. "Selebihnya, sama dengan putusan pengadilan negeri," kata dia.
Sebelumnya, Pengadilan Tipikor pada PN Jakarta Pusat memvonis Eddie lima tahun penjara karena melakukan korupsi secara bersama-sama dalam proyek outsourcing CIS RISI tahun 2004-2006. Majelis Pengadilan Tipikor juga memerintahkan Eddie membayar denda Rp500 juta. (ren)

Kamis, 15 Maret 2012

Eksekusi, Walikota Bekasi Diwakili Pengacara

“Saya akan datang ke KPK tanpa pak Mochtar", kata Sirra Prayuna.

Rabu, 14 Maret 2012, 22:41 WIB
Lutfi Dwi Puji Astuti, Erik Hamzah (Bekasi)
VIVAnews- Tim Kuasa Hukum Walikota Bekasi nonaktif, Mochtar Mohammad sekitar pukul 10.00 WIB hari Kamis 15 Maret 2012 akan memenuhi panggilan dari Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).

Kedatangan tim yang diketuai oleh Sirra Prayuna itu, berkaitan dengan pelaksanaan putusan Mahkamah Agung (MA) yang telah memvonis Mochtar selama 6 tahun penjara.

“Saya akan datang ke KPK tanpa pak Mochtar. Berkaitan dengan panggilan itu, saya juga akan minta penjelasan Jaksa di KPK, atas dasar apa dia melaksanakan putusan dari MA,” kata Sirra Prayuna yang dihubungi melalui telpon genggamnya, Rabu 14 Maret 2012.

Kedatangan tim kuasa hukum tanpa didampingi oleh Mochtar lanjut Sirra, dilakukan karena sesuai pasal 270 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP), pelaksanaan putusan harus dilakukan apabila salinan putusan sudah diterima terpidana.

“Isi pasal itu sudah jelas, yakni putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap dilakukan oleh jaksa, yang untuk itu panitera mengirimkan salinan surat putusan kepadanya,” terangnya.

Menurut Sirra, apa yang diterima pihaknya saat ini baru surat mengenai eksekusi Jaksa dari KPK dan salinan putusan yang dipetik website. "Kita butuh salinan yang aslinya," ujarnya.

Sesuai mekanismenya kata Sirra, salinan putusan itu seharusnya diberikan oleh MA ke pihak-pihak, mulai dari terpidana, Jaksa KPK maupun Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Bandung Jawa Barat, yang menangani kasus ini ditingkat pertama.

“Tapi ini sampai dengan hari ini kita belum terima salinan putusan MA itu. Kita juga sudah konfirmasi ke Pengadilan Tipikor, katanya salinan belum masuk,” katanya.

Sirra menduga belum diterimanya salinan putusan dari MA, karena KPK baru pertama kali mendapatkan vonis bebas di pengadilan. Selain itu, selama ini terpidana yang ditangani oleh KPK selalu berada di dalam tahanan.

“Pak Mochtar kan orang pertama yang ditangani KPK tapi dibebaskan pengadilan Tipikor. Kalau yang lain kan selalu ditahan, jadi pas keputusannya keluar salinannya sudah ada,” katanya.

Dalam kesempatan itu Sirra menyatakan, bahwa pada dasarnya Mochtar Mohammad bersedia di eksekusi, bila dasar hukumnya sudah ada. “Kapanpun salinan itu diterima, pak Mochtar siap di eksekusi. Tapi
kalau salinan putusan MA itu belum ada, ya jelas dia menolak,” katanya.

Sementara ketika ditanya mengenai keberadaan Mochtar Mohammad, Sirra membantah isu yang mengatakan bahwa kliennya itu berada di luar kota. “Susah saya menjelaskannya. Kalaupun dia ke Riau, Bali ataupun Gorontalo itu sah-sah saja. Sepanjang dia tidak keluar dari negara ini,” ujarnya.

Sirra mengungkapkan bahwa Mochtar Mohammad sudah dicekal oleh Imigrasi dan tidak bisa bepergian keluar negeri. “Cekal itu dikeluarkan sejak dia ditetapkan jadi tersangka, jadi tidak mungkin dia keluar dari Indonesia,” katanya.

Sirra memastikan bahwa Ketua DPC PDI Perjuangan Kota Bekasi itu, tidak akan menghindar dari eksekusi MA. Asalkan pada pelaksanaan putusan, pihak Mochtar Mohammad menerima salinan putusan yang bisa dijadikan dasar hukum. “Tidak akan menghindar, kalau perlu kita yang akan antar,” tandasnya.  (eh)

Ketua MA nyatakan tidak bisa intervensi eksekusi

Rabu, 14 Maret 2012 22:38 WIB | 1466 Views

Jakarta (ANTARA News) - Ketua Mahkamah Agung (MA) Hatta Ali menyatakan dirinya tidak bisa melakukan intervensi terhadap eksekusi yang belum dilaksanakan walaupun sudah memiliki hukum tetap.

"Ketua MA sendiri aja nggak boleh mengintervensi tentang eksekusi," kata Hatta usai melantik lima ketua pengadilan tinggi Tipikor dan PTUN di Jakarta, Rabu.

Dia mengungkapkan bahwa eksekusi pidana sebagai eksekutornya pihak kejaksaan, sedangkan perdata sepenuhnya merupakan kewenangan dari ketua pengadilan negeri.

"Kalaupun ada masalah eksekusi MA, kadangkala kami lanjutkan pengadilan negeri untuk dipertimbangkan, tapi kami tidak mengintervensi sama sekali, hanya mengatakan laksanakan atau jangan dilaksanakan," ungkapnya.

Hal ini diungkapkan Hatta Ali terkait rencana Komisi III DPR RI yang akan membentuk Panja terkait banyaknya putusan MA yang hingga saat ini belum dieksekusi.

Terkait banyaknya putusan yang belum dieksekusi ini, Aktivis Peradilan Bersih dan Jujur, Sudiman S mendesak Pengadilan Negeri tidak mengendapkan dan segera mengirimkan salinan putusan berbagai kasus pidana khusus maupun pidana umum yang sudah mempunyai kekuatan hukum tetap ke Kejaksaan Negeri (Kejari) agar segera dieksekusi.

"Demi kepastian hukum sekaligus menghindari tebang pilih, maka terpidana yang selama ini dibiarkan bebas atau belum menjalani hukumannya itu harus segera dijebloskan ke dalam penjara," kata Sudiman.

Menurut dia, sampai saat ini tercatat cukup banyak terpidana yang tak kunjung menjalani hukumannya sehingga mengundang kecemburuan bagi terpidana yang sebelumnya tidak mendapatkan penangguhan penahanan.

Dia mencontohkan seorang advokat DWW walaupun putusan kasasi Mahkamah Agung (MA) sejak 14 Oktober 2005 namun belum menjalankan sisa masa tahanannya hingga saat ini.

Kajari Jakarta Pusat Febritriyanto mengakui terdapat beberapa terpidana yang belum dapat dijebloskan ke dalam penjara salinan putusan tidak kunjung dikirimkan pihak pengadilan.

"Kami terus-menerus berupaya melaksanakan putusan kasasi. Sayangnya, kendala yang dihadapi tidak mudah ditanggulangi," katanya.

Kasi Pidum Kejari Jakarta Pusat, Rusmanto, juga mengakui tidak mudah mengeksekusi putusan kasasi walaupun sudah menyurati PN Jakarta Pusat agar segera mengirimkan salinan putusan namun sering tidak mendapat jawaban.

Febri mengungkapkan banyak putusan kasasi perkara tersebut sudah sejak beberapa bulan atau bahkan beberapa tahun silam hingga saat ini belum dieksekusi.

"Banyak juga terpidananya yang nakal. Begitu tahu dihukum di MA, berbagai upaya ilegal dilakukan agar dirinya tidak perlu menjalani hukuman yang dijatuhkan pengadilan itu," tutur Rusmanto.

Selasa, 13 Maret 2012

Hakim Tolak Praperadilan John Kei
Headline
Oleh: Farhan Faris
Metropolitan - Selasa, 13 Maret 2012 | 12:36 WIB

TERKAIT




Ketua majelis hakim tunggal yaitu Kusno menyatakan permohonan John Kei tidak diterima seluruhnya. "Dengan ini pengadilan memutuskan ditolak permohonan pemohon dan menghukum pemohon untuk membayar beban biaya perkara," tegas Kusno di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, Jakarta, Selasa, (13/3/2012).

Ia menjelaskan, pengadilan telah mempertimbangkan serta menilai proses penangkapan yang disertai penembakan, dan juga penyitaan sudah dijalankan pihak kepolisian mempunyai dasar hukum yang kuat. "Hal itu ditambah dengan fakta di persidangan dan bukti yang diajukan," terangnya.

John Kei telah mempraperadilankan Kepolisian Daerah Metro Jaya ke Pengadilan Negeri Jakarta Selatan pada tanggal (24/2/2012) lalu dengan nomor 06/pid.prap/2012/PN-Jaksel tertanggal 24 Februari 2012.

Hal tersebut dilaporkan atas tindakan penangkapan, penahanan, penembakan dan penyitaan terhadap John Kei yang dianggap telah melanggar hak hukum atau ketentuan yang ada yakni KUHAP dan melanggar norma-norma.

Saat penangkapan John Kei di Hotel C'One, Pulomas, Jakarta Timur pada Jum'at (17/2/2012) lalu, pihak Polda Metro Jaya dinilai tidak memenuhi syarat formil yakni pasal 18 ayat (1) KUHAP, yaitu tidak adanya surat perintah penangkapan. Atas perbuatan tersebut, pihak termohon dianggap berlaku sewenang-wenang tidak menghargai hak pemohon (John Kei) dan telah bertentangan dengan pasal 17 KUHAP.

John Kei diduga terlibat dalam kasus pembunuhan bos PT Sanex Steel Tan Hary alias Ayung di kamar 2701 Swiss Bel Hotel, Mangga Besar, Jakarta Pusat 26 Januari 2012. [mvi]
Praperadilan Ditolak
Pengacara John Kei Sesalkan Putusan Hakim
Headline
IST
Oleh: Farhan Faris
Metropolitan - Selasa, 13 Maret 2012 | 13:43 WIB

INILAH.COM, Jakarta - Kuasa hukum John Kei, Indra Sahnun Lubis kecewa dengan putusan hakim Pengadilan Negeri Jakarta Selatan yang menolak gugatan praperadilan kliennya terhadap Polda Metro Jaya.

"Saya sangat kecewa sekali dengan putusan hakim tadi," ucap Indra dengan nada kesal, usai persidangan praperadilan di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, Jakarta, Selasa, (13/3/2012).

Ia menjelaskan, tujuan dari permohonan praperadilan untuk menunjukkan kepada publik soal penangkapan yang dinilainya tidak sah. "Kita di sini meminta kalau penangkapan itu tidak sah. Walau dikabulkan juga tidak ada untungnya buat kita, bahwa penangkapan itu tidak sah, percuma nanti dibuatlah penangkapan yang baru," ujarnya.

Sebelumnya, Pengadilan Negeri Jakarta Selatan menolak permohonan pemohon John Kei dan menghukumnya membayar beban biaya perkara.

Ketua majelis hakim tunggal yaitu Kusno menyatakan, pengadilan telah mempertimbangkan serta menilai proses penangkapan yang disertai penembakan dan juga penyitaan sudah dijalankan pihak kepolisian mempunyai dasar hukum kuat. "Hal itu ditambah dengan fakta di persidangan dan bukti yang diajukan," terangnya.

John Kei telah mempraperadilankan Kepolisian Daerah Metro Jaya ke Pengadilan Negeri Jakarta Selatan pada tanggal (24/2/2012) lalu dengan nomor 06/pid.prap/2012/PN-Jaksel tertanggal 24 Februari 2012.

Hal tersebut dilaporkan atas tindakan penangkapan, penahanan, penembakan dan penyitaan terhadap John Kei yang dianggap telah melanggar hak hukum atau ketentuan yang ada yakni KUHAP dan melanggar norma-norma.

Saat penangkapan John Kei di Hotel C'One, Pulomas, Jakarta Timur pada Jum'at (17/2/2012) lalu, pihak Polda Metro Jaya dinilai tidak memenuhi syarat formil yakni pasal 18 ayat (1) KUHAP, yaitu tidak adanya surat perintah penangkapan. Atas perbuatan tersebut, pihak termohon dianggap berlaku sewenang-wenang tidak menghargai hak pemohon (John Kei) dan telah bertentangan dengan pasal 17 KUHAP. [mvi]

Sidang Memanas, Dua Kuasa Hukum Nazar Diusir

Sidang memanas ketika kuasa hukum Nazar mulai bertanya soal barang bukti uang.

Senin, 12 Maret 2012, 21:16 WIB
Bayu Galih, Dedy Priatmojo
VIVAnews - Sidang perkara suap Wisma Atlet Sea Games dengan terdakwa Muhammad Nazaruddin kembali memanas. Dua kuasa hukum Nazaruddin, Junimart Girsang dan Rufinus Hutahuruk, diusir Ketua Majelis Hakim Dharmawati Ningsih dari persidangan tindak pidana korupsi (Tipikor), Senin 12 Maret 2012.

Hakim meminta mereka keluar ruang sidang saat kedua pengacara itu tengah mencecar saksi penyidik KPK Novel terkait mekanisme penyidikan. Junimart lebih dulu meninggalkan persidangan setelah menyatakan keberatan atas kesaksian Novel.

"Saya tanya soal anev (analisa dan evaluasi pemeriksaan) apa sudah dilakukan," ujar Junimart.
"Saya menolak untuk jawab pertanyaan ini, saya keberatan untuk menjawab itu," sahut Novel.

"Kalau begini cara saksi, saya menolak untuk bertanya," jawab Junimart.

"Saya menolak menjawab ini karena anev bukan prosedur penyidikan yang diatur dalam KUHAP. Sehingga saya tidak perlu menjelaskan dalam pertanyaan sebagai saksi," sahut Novel.

Puncaknya adalah saat Nazar mencecar saksi penyidik mengenai barang bukti uang sebesar Rp4,6 miliar yang didakwakan kepadanya. Saksi penyidik menegaskan kalau semua barang bukti dalam kasus ini sudah ada dalam BAP yang diserahkan ke penuntut umum.
Mendadak, Rufinus melontarkan pertanyaan menuding. "Duitnya dikantongin ke mana?" kata Rufinus ketus.

Mendengar hal itu, Novel tampak berang. Menurutnya apa yang diucapkan penasehat hukum adalah tuduhan dan fitnah. Namun, alih-alih menenangkan, penasehat hukum Nazar yang lain, Junimart Girsang justru menimpali dengan menantang. Jika Novel tidak suka, silakan melapor ke polisi.

Suasana ruang sidang semakin memanas, hingga majelis terpaksa memberikan peringatan.

"Saudara penasehat hukum kalau tidak bisa tertib sidang silakan meninggalkan ruang sidang," kata Hakim Dharmawati.

"Baik Yang Mulia, saya keluar. Laporin ke polisi ya, besok saya tunggu," sindir Junimart sebelum meninggalkan ruang sidang.

Tak lama berselang setelah Junimart hengkang,  Rufinus menyusul angkat kaki.Masih terkait persoalan yang sama, dia keluar ruang sidang lantaran menilai jawaban Novel atas pertanyaan kliennya terkait barang bukti uang senilai Rp 4,6 miliar tidak memuaskan pihaknya.

"Ini mana buktinya, Majelis kok sepertinya membatas-batasi terdakwa," ujar Rufinus.

"Saksi sudah menjawab, kalau penasehat hukum tidak puas silakan meninggalkan ruang sidang," sahut Hakim Dharmawati.

"Baik kalau begitu saya juga keluar, Majelis," kata Rufinus.

Sebelumnya, kuasa hukum Nazar, Hotman Paris Hutapea, sudah meninggalkan persidangan sejak jeda istirahat lantaran kurang enak badan. Praktis hingga akhir persidangan hanya Elza Syarief yang masih terlihat mendampingi Nazar.

Di akhir persidangan, Ketua Majelis Hakim Darmawati Ningsih pun memutuskan untuk menunda sidang hingga Rabu pekan depan dengan agenda pemeriksaan atas terdakwa M. Nazaruddin.

Senin, 12 Maret 2012

Debt Collector Disebut Perampok, Polisi Geruduk Rumah Staf MA di Depok

Hendrik I Raseukiy - detikNews
Senin, 12/03/2012 11:06 WIB
Browser anda tidak mendukung iFrame
Depok Setelah mendapat laporan ada perampokan, polisi berdatangan ke rumah staf Mahkamah Agung (MA) di Depok, Jabar. Di lokasi, mereka menemukan empat debt collector yang kebingungan. Kejadian itu sempat membuat heboh warga sekitar.

Informasi yang dihimpun detikcom, empat debt collector, Jack dan Rahman asal Pancoran Mas, Jeri dan Husein asal Cijantung, datang ke rumah M Said Jakaria di RT 01/ RW IX Bojong Pondok Terong, Cipayung, Depok, Senin (12/3/2012), sekitar pukul 06.30 WIB. Said adalah Staf Kepaniteraan MA.

Merasa tidak kenal, Said menolak kedatangan empat orang tersebut. Sempat terjadi negosiasi, tapi Said tetap tidak mau menyelesaikan permasalahan utang-piutang. Bahkan ia kemudian menelepon polisi dan mengatakan terjadi perampokan.

Puluhan polisi yang dipimpin Kanit SPKT Polresta Depok, Ipda Budioyo, berdatangan. Begitu bertemu dengan tuan rumah, polisi baru sadar tidak ada perampokan. Kemudian mereka meminta empat debt collector membuat laporan ke polisi.

Said enggan menjelaskan permasalahan yang dialaminya. "Harusnya diselesaikan di kantor, kenapa harus ke rumah," katanya.

Sementara, menurut informasi warga sekitar, Said memiliki utang Rp 50 juta. "Memang beliau punya utang," kata Ahmad, warga setempat.

Kamis, 08 Maret 2012

MA vonis Mochtar Muhammad enam tahun penjara

Rabu, 7 Maret 2012 21:19 WIB | 1300 Views
Jakarta (ANTARA News) - Majelis kasasi Mahkamah Agung (MA) memvonis Wali Kota Bekasi nonaktif Mochtar Muhammad enam tahun penjara dan denda Rp300 juta serta subsider enam bulan.

"Mengabulkan kasasi JPU pada KPK, membatalkan putusan Pengadilan Tipikor Bandung. Mengadili sendiri Mochtar Muhammad terbukti melakukan korupsi secara bersama-sama dan berlanjut," kata Kepala Biro Hukum dan Humas MA Ridwan Mansyur di Jakarta, Rabu.

Ridwan mengungkapkan bahwa putusan ini melalui Rapat Permusyawaratan Hakim pada hari Rabu ini oleh majelis hakim yang terdiri atas Djoko Sarwoko sebagai ketua majelis, Krishna Harahap, dan Leo Hutagalung sebagai anggota majelis.

Dalam putusan itu, kata Ridwan, majelis juga menetapkan hukuman tambahan, yakni uang pengganti Rp639 juta.

"Uang pengganti harus dibayar satu bulan setelah putusan. Jika tidak dibayar, jaksa akan merampas hartanya, dan bila tidak cukup, dipenjara enam bulan," katanya.

Ridwan juga mengungkapkan bahwa Mochtar Muhammad terbukti melanggar Pasal 2 Ayat (1) junto Pasal 18, Pasal 5 Ayat (1) Huruf a junto Pasal 55 Ayat (1) kesatu KUHP, Pasal 65 Ayat (1) KUHP, Pasal 5 Ayat (1), dan Pasal 15 UU Tipikor.

Sebelumnya, Pengadilan Tipikor telah memutus bebas Wali Kota Bekasi nonaktif Mochtar Mohamad dari dakwaan rangkap korupsi serta penyuapan.

Menanggapi putusan tersebut, Kuasa Hukum Mochtar, Sira Prayuna, mengatakan bahwa pihaknya akan tabah dan tidak larut dengan vonis ini.

Sira juga menyatakan pihaknya masih akan mempelajari putusan itu untuk mengajukan peninjauan kembali (PK).

"Kami baru dengar dari media dan masih akan mempelajari putusan ini untuk mengajukan PK," katanya saat dihubungi wartawan.

Dalam putusannya, hakim berpendapat bahwa Mochtar tidak terbukti mengadakan kegiatan fiktif, penyuapan kepada anggota DPRD untuk memuluskan pengesahan APBD, suap Rp300 juta untuk tim Adipura, dan suap kepada anggota BPK perwakilan Jawa Barat sebesar Rp400 juta.

Terhadap putusan jaksa penuntut umum (JPU) Ketut Sumadana menyatakan bakal mengajukan kasasi ke MA. Sebelumnya, JPU menuntut Mochtar Mohammad selama 12 tahun kurungan serta denda Rp300 juta subsider tiga bulan kurungan.

JPU menjerat terdakwa dengan Pasal 2 Ayat (1) atau Pasal 3 dan atau Pasal 5 Ayat (1) atau Pasal 12 Huruf e atau pasal 13 jo Pasal 15 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Juga pasal 55 Ayat (1) ke-1, dan Pasal 65 Ayat (1) KUHP.
PN Jakbar Enggan Tetapkan Eksekusi Trisakti
Headline
Foto : ilustrasi
Oleh: Dahlia Krisnamukti
Nasional - Kamis, 8 Maret 2012 | 10:45 WIB
s
INILAH.COM, Jakarta – Ketua Pengadilan Jakarta Barat Lexsy Mamonto mengambil langkah tidak populer dengan menyatakan akan melakukan eksekusi damai soal Trisakti. Padahal sebelumnya upaya perdamaian ini selalu gagal.

“Sekali lagi, PN Jakarta Barat mengambil langkah aneh, padahal perdamaian sudah berulangkali dilakukan dan saat sudah muncul putusan inkrah, justru langkah ini diulang lagi,“ ungkap Syamsu Djalal, Kuasa Hukum dan pengacara Yayasan Trisakti di Jakarta, Kamis (8/3/2012).

Sikap Syamsu Djalal ini menanggapi surat PN Jakbar bernomor W10-U2/1303/2012 yang menyatakan PN Jakbar akan melakukan upaya damai. Ini bertentangan dengan surat MA yang bertangga 15 Februari yang meminta agar PN Jakbar segera melakukan eksekusi.

“Dia akan dimutasi tengah bulan ini, sehingga dia ulur waktu agar eksekusi tak segera terjadi,” ungkap Syamsu Djalal mantan jenderal yang kini mendirikan kantor pengacara ini. Langkah Ketua PN Jakarta Barat ini makin mengukuhkan upaya Yasasan Trisakti untuk melaporkan Lexsy ke Komisi Yudisial.

“Bayangkan bagaimana mungkin putusan MA yang sudah terang benderang seperti ini, terganjal di tingkat PN. Ini yang membuat MA disorot dan dipersoalkan, karena banyak keputusannya yang gagal dieksekusi,” tambah Syamsu lagi.

Apalagi eksekusi ini didukung penuh oleh DPR yang menganggap kasus ini sudah inkrah melalui surat bernomor PW.01/9723/DPR-RI/XI/2011. Apalagi Bareskrim Polri sudah menolak permohonan perlindungan hukum Thoby dan menyatakan akan mendukung keputusan MA.

Sementara itu, Ketua Masyarakat Pemantau Keadilan (KMPK), Zulkarnain menyatakan bahwa saat ini dia tengah menyusun track record Ketua PN Jakarta Barat dalam kasus Trisakti.

“Kami punya beberapa kunci dan cukup bukti untuk melaporkan ke Komisi Yudisial,” kata Zulkarnain.

Menurut Zulkarnain, kasus ini terasa aneh, karena DPR secara resmi sudah menyatakan dukungan eksekusi, dan MA harus mengirim surat untuk mengingatkan.

Namun PN Jakarta dengan berbagai alasan dan cara tidak juga melakukan eksekusi atau melakukan eksekusi pura-pura dengan membuat bingung para pihak.

“Patut diduga ada sesuatu di balik tidak transparannya PN Jakarta Barat, dan masyarakat harus menuntut keadilan, bukan menjadi korban,” kata Zulkarnain tegas. [bar]
Eksekusi Mochtar, Jaksa Tunggu Salinan Putusan MA
Oleh: Jaka Permana
Nasional - Kamis, 8 Maret 2012 | 11:42 WIB

INILAH.COM, Bandung - Jaksa Penuntut Umum (JPU) Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Ketut Sumadana akan segera melakukan eksekusi ketika sudah mendapatkan salinan putusan dari MA. Hingga saat ini, pihak Jaksa masih belum mendapatkan petikan resmi putusan tersebut.

"Nanti kita akan pelajari dan lapor ke pimpinan. Saat ini kita masih menunggu. Jika sudah dapat kita akan lihat pertimbangan dari majelis hakim," kata Ketut Sumadana saat dihubungi INILAH.COM, Rabu (7/3/2012).

Saat itu, Jaksa menuntut Mochtar 12 tahun penjara. Sementara MA memvonisnya 6 tahun. Melihat vonis setengahnya dari tuntutan, Ketut tidak mempermasalahkan mengenai tinggi rendahnya putusan. Dia akan melihat terlebih dahulu pertimbangan yang dilayangkan oleh Majelis.

"Kan ada empat perkara dan tiga dakwaan dalam kasus itu. Kita akan melihat perkara mana yang menjadi pertimbangan majelis hakim. Ini langkah hukum kami terakhir. Tidak ada lagi upaya hukum selanjutnya bagi Jaksa," tutur dia.

Dia menambahkan, MA seharusnya segera melayangkan petikan tersebut agar bisa dilakukan eksekusi. Meski hanya salinan, Jaksa bisa melakukan eksekusi sambil menunggu berkas putusan lengkapnya diterima. "Jadi untuk eksekusi tidak harus menunggu putusan lengkap, petikan saja kita bisa lakukan," jelas dia.[ang]

Rabu, 07 Maret 2012

NASIONAL - HUKUM
Selasa, 06 Maret 2012 , 20:08:00

JAKARTA--Anggota DPD asal Provinsi Bali, I Wayan Sudirta mengatakan kondisi peradilan di Indonesia sudah sangat buruk. Penyebab dari kondisi itu, menurut Sudirta karena buruknya kualitas hakim dan penegak hukum yang ada.

"Mayoritas hakim dan penegak hukum sudah rusak. Hanya sebagian kecil yang masih punya integritas. Ini yang menyebabkan kondisi peradilan jadi buruk," kata I Wayan Sudirta, dalam diskusi bertajuk “Matinya Keadilan di Orde Citra: Hukum Pengadilan Negara Vs Hukum Bacok”, digelar Rumah Perubahan 2.0, Jakarta, Selasa (6/3).

Contoh kongrit soal hakim itu, kata Sudirta bisa dilihat pada persidangan Angelina Sondakh. "Tampak sekali kualitas hakim sangat buruk."

Menurut Sudirta, bagaimana mungkin hakim tidak mengambil tindakan apa pun terhadap dua saksi yang memberi keterangan saling bertentangan?

"Kok hakim tidak tahu mana dari dua saksi itu yang berbohong. Seharusnya hakim menyodorkan bukti-bukti, mengancam saksi dengan sanksi, lalu menahan saksi yang berbohong. Kalau itu saja tidak dilakukan, hakim harus diberhentikan karena tidak mampu memimpin sidang,” tegas Sudirta.

Sebagai anggota DPD yang juga pernah lama menjadi pengacara, Sudirta memastikan apa yang terjadi di persidangan hanyalah sandiwara. "Semua terkesan sudah dirundingkan antara pihak-pihak terkait."

Demikian juga halnya dalam kasus mantan Bendahara Umum Partai Demokrat M Nazarudin. Menurut dia, juga sudah diatur agar persoalan hanya dilokalisasi pada Nazarudin.

"Hakim dan para penegak hukum lainnya, termasuk Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), diminta tidak melebarkan ke orang lain," imbuh I Wayan Sudirta.

Meski demikian, Sudirta masih optimis keadaan bisa diperbaiki karena masih ada sedikit hakim yang bagus dan punya integritas seperti Albertina Ho. "Sayangnya, hakim bagus seperti dia dimutasi ke daerah terpencil."

Lagi pula, hanya sebagian kecil dari masyarakat yang bisa dibohongi dan itu tidak bisa berlangsung lama. Pada saatnya, kebenaran akan terkuak, dan saat itu perubahan terjadi, imbuh I Wayan Sudirta. (fas/jpnn)

Empat Saksi Meringankan Nazar, KPK Tak Gentar

VIVAnews -- Terdakwa suap wisma atlet SEA Games Muhammad Nazaruddin menghadirkan empat saksi yang dinilai akan meringankan dirinya.  Soal kehadiran empat saksi itu, Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Abraham Samad mengatakan, bukan masalah. "Karena KPK juga memiliki bukti akurat untuk mendudukkan orang menjadi tersangka," kata Abraham di Gedung DPR, Rabu 7 Maret 2012.

Saksi meringankan yang dihadirkan itu, kata Abraham adalah hal yang biasa dalam proses persidangan. "Ya biasa saja, masing-masing terdakwa berhak mengajukan saksi meringankan," kata dia.

Salah satu saksi yang dihadirkan Nazar adalah adik kandungnya, Nur Hasyim. Dalam keterangannya, Hasyim menyebut ada uang sekitar Rp105 miliar untuk memenangkan Anas Urbaningrum sebagai Ketua Umum Partai Demokrat.

Hasyim mengaku menjadi salah satu pimpinan PT Anugerah Nusantara. Pimpinan perusahaan itu, katanya, adalah Anas Urbaningrum, dirinya, Nazaruddin, dan Yulianis. "Waktu itu PT Anugerah pimpinannya Pak Anas. Yang memimpin rapat Pak Anas. Kami melaksanakan berdasarkan perintah beliau (Anas)," kata Hasyim.

Ketua Umum Partai Demokrat, Anas Urbaningrum, sudah berkali-kali membantah semua keterangan Nazaruddin dan saksi-saksi yang meringankan Nazar lainnya. Anas menilai ada pihak yang berada di balik tudingan-tudingan itu.

"Itu kebohongan yang diorkestrasi. Saya tahu yang dinyatakan sudah disiapkan. Kebohongan itu sengaja menyerang dan menyudutkan saya," kata Anas di Kantor DPP Demokrat, Jakarta, Rabu 29 Februari 2012.

Siapa komposer di balik tudingan itu? "Saya tidak perlu sebutkan. Anda pasti tahu," ujarnya. Anas pun menegaskan, semua kesaksian itu palsu. "Palsu bin bohong bin palsu lagi," kata Anas.

Selasa, 06 Maret 2012

VIDEO: Divonis 5 Tahun, Eep Ikat Diri di MA

Eep terbukti bersalah dalam kasus korupsi Biaya Pemungutan PBB senilai Rp14 miliar.

Selasa, 6 Maret 2012, 07:33 WIB
Arry Anggadha
VIVAnews - Bupati Subang, Eep Hidayat, meluapkan kekecewaannya atas putusan yang dijatuhkan Mahkamah Agung. Karena, Eep justru harus dibui selama 5 tahun penjara. Padahal, pada putusan pengadilan sebelumnya, Eep divonis bebas.

Atas putusan itu, Eep mengajukan protes ke MA. Namun, Eep dilarang masuk Gedung MA untuk bertemu dengan majelis hakim yang memvonisnya bersalah.

Karena tidak diperbolehkan masuk, Eep pun langsung mengikatkan diri di pintu gerbang MA. Selain itu, bupati non aktif ini menggigit sandal jepit. Aksi ini dilakukan Eep bersama sejumlah pendukungnya. Lihat videonya di sini.

Seperti diketahui, pada 22 Februari 2012, majelis hakim yang diketuai Artidjo Alkostar mengabulkan permohonan kasasi dari jaksa. Majelis pun mengganjar Eep dengan hukuman 5 tahun penjara.

Tak hanya hukuman penjara, Eep juga diharuskan membayar denda Rp200 juta, subsider tiga bulan penjara. Selain itu, Eep harus mengembalikan uang hasil korupsi sebesar Rp2,54 miliar.

Majelis menilai, Eep terbukti bersalah dalam kasus korupsi Biaya Pemungutan Pajak Bumi dan Bangunan (BP PBB) senilai Rp14 miliar.

Jaksa mengajukan kasasi setelah Pengadilan Tipikor Bandung memvonis bebas terdakwa dalam kasus Biaya Pemungutan Pajak Bumi dan Bangunan Pemerintah Kabupaten Subang tahun 2005-2008 yang juga Bupati Subang (nonaktif) Eep Hidayat. (art

Kamis, 01 Maret 2012

Hakim beri peringatan, Angie tetap jawab tidak

Rabu, 29 Februari 2012 15:32 WIB | 4078 Views
Batal dikonfrontir Angelina Sondakh hadir dalam sidang kasus dugaan suap Wisma Atlet dengan terdakwa M.Nazaruddin di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi, Jakarta Selatan, Rabu (29/2). Angelina batal dikonfrontir dengan Mindo Rosalina Manulang karena Mindo sakit. (FOTO ANTARA/Fanny Octavianus)
Berita Terkait
Jakarta (ANTARA News) - Ketua Majelis Hakim dalam persidangan kasus Wisma Atlet dengan terdakwa M. Nazaruddin, Dhanarwati Ningsih, sempat memberikan peringatan agar Angie memberikan keterangan yang jujur dan benar, mengenai kesaksiannya, saat persidangan di pengadilan Tindak Pidana Korupsi, Jakarta pada Rabu pagi.

"Sesuai dengan pasal 22, bila memberikan keterangan palsu dan bohong, akan dikenakan sanksi hukuman minimum tiga tahun penjara," ujar Dhanarwati kepada Angie.

Dhanarwati juga kembali menanyai Angie perihal fotonya dan pembicaraan Blackberry (BB) dengan Rosa, dan lagi-lagi menekankan bahwa bila Angie sebagai saksi memberikan keterangan palsu dan bohong pada persidangan, maka dia akan dijerat hukuman.

"Itu benar foto saya, namun Blackberry itu bukan milik saya Yang Mulia. Saya baru memiliki Blackberry di akhir 2010," ujar Angie, yang diikuti sorak "huu..." oleh para wartawan dan penonton yang hadir dalam persidangan itu.

Persidangan itu pun akhirnya batal mengkonfrontasi kesaksian Mindo Rosalina Manulang dengan Angelina Sondakh.

Angie datang ditemani adik iparnya, Mudji Masaid akhirnya meninggalkan ruang sidang Tipikor dengan pengawalan polisi.

Ia memilih diam membisu meskipun para wartawan menghujaninya dengan berbagai macam pertanyaan. (M048)

Vonis enam tahun penjara bagi Gayus Tambunan

Kamis, 1 Maret 2012 16:39 WIB | 1685 Views
Sidang Gayus Terdakwa kasus gratifikasi, pencucian uang dan penyuapan Gayus Tambunan meninggalkan ruangan sidang di pengadilan Tipikor, Jakarta , Kamis, (22/12). Sidang yang mengagendakan tuntutan tersebut ditunda karena Jaksa Penuntut Umum (JPU) belum menyelesaikan berkas tuntutannya. (FOTO ANTARA/Prasetyo Utomo)
... Ketua Majelis Hakim, Suhartoyo, menjatuhkan vonis enam tahun penjara ditambah denda Rp1 miliar subsider empat bulan penjara kepada bekas pegawai Direktorat Pajak, Kementerian Keuangan itu....
Berita Terkait
Jakarta (ANTARA News) - Untuk sementara, "drama" pengadilan bagi terdakwa mafia pajak, Gayus Tambunan, telah selesai. Ketua Majelis Hakim, Suhartoyo, menjatuhkan vonis enam tahun penjara ditambah denda Rp1 miliar subsider empat bulan penjara kepada bekas pegawai Direktorat Pajak, Kementerian Keuangan itu.

Suhartoyo, sesudah memperhatikan semua dakwaan dan pembelaan bagi Tambunan, di Pengadilan Khusus Tindak Pidana Korupsi, di Jakarta, Kamis, membacakan hasil putusan majelis hakim. Tambunan saat duduk di kursi terdakwa mengenakan semacam baju koko putih di atas celana berwarna gelap.

Seusai menyimak vonis enam tahun penjara bagi dia, Tambunan dipersilakan berkonsultasi dengan tim penasehat hukumnya, yang dipimpin Hotma Sitompoel. Tidak ada tanggapan atas vonis saat itu, sementara majelis hakim memberi tujuh hari mempertimbangkan terhadap putusan hukum itu.

Seharusnya, putusan atau vonis terhadap Tambunan dilakukan pengadilan itu pekan lalu, namun batal karena Suhartoyo sakit. Tambunan didakwa atas banyak kasus, mulai dari menerima gratifikasi atas pengurusan pajak PT Bumi Resources, PT Kaltim Prima Coal, dan PT Arutmin, hingga penyimpanan kekayaannya yang tidak wajar pada kotak penyimpanan. 

Yang lain adalah tindak pidana pencucian uang atas gratifikasi itu. Tidak kalah penting adalah aksi penyuapan terhadap petugas Rumah Tahanan Brigade Mobil, sehingga dia bisa menonton pertandingan putaran final kejuaran tenis dunia di Nusa Dua, Bali, November, dua tahun lalu. (*)
Bos Imigrasi Soekarno-Hatta Ditangguhkan Penahanannya
Dugaan Pemalsuan Data Orang Masuk & Keluar Indonesia
Rabu, 29 Februari 2012 , 09:44:00 WIB

ILUSTRASI, BANDAR UDARA SOEKARNO-HATTA

  

RMOL. Kasus pemalsuan data lalu lintas orang dengan tersangka Kepala Kantor Imigrasi Bandar Udara Soekarno-Hatta, Rochadi Iman Santoso, memasuki babak baru.
Kemarin, penyidik Polda Metro Jaya mengabulkan permo­honan penangguhan Rochadi dengan jaminan istri tersangka itu. “Kami kabulkan permohonan penangguhan penahanannya,” ujar Kepala Subdit Keamanan Ne­gara Direktorat Reserse Kri­minal Umum Polda Metro Jaya, AKBP Daniel Tifauna Bolly di kantornya, Markas Polda Metro Jaya, Jalan Sudirman, Jakarta.
Daniel menambahkan, penang­gu­han penahanan Rochadi di­ka­bulkan dengan tiga pertim­ba­ngan. Pertama, Rochadi tidak akan melarikan diri. Kedua, tidak akan mengulangi perbuatannya. Ketiga, tidak akan meng­hi­lang­kan barang bukti. “Tersangka menyanggupi itu semua,” ujar bekas Kasatreskrim Polres Ja­karta Timur ini.
Se­belum ditangguhkan pe­na­ha­nannya, Rochadi diperiksa po­lisi secara marathon hingga ke­marin. Polisi melakukan peme­riksaan itu untuk melacak modus pemalsuan data perlintasan warga Singapura Toh Ke Ngsiong alias Siong.
Menurut Daniel, selain untuk membongkar modus pemalsuan data perlintasan, pemeriksaan dilakukan untuk mengetahui du­gaan keterlibatan oknum lainnya. “Kami sudah menahan dan terus memeriksa yang bersangkutan,” katanya pada Senin siang (27/2), sehari sebelum penangguhan penahanan.
Dia menegaskan, tidak tertutup kemungkinan akan ada keter­li­batan oknum lain dalam kasus ini. Untuk keperluan tersebut, polisi akan melanjutkan pemeriksaan kepada pihak yang diduga me­nge­tahui proses pencatatan data perlintasan.
Kepala Bidang Humas Polda Metro Jaya Kombes Rikwanto menambahkan, Rochadi diduga menerima suap di balik pener­bitan surat perlintasan orang yang palsu itu. Kendati begitu, Rik­wan­to mengaku belum tahu bera­pa total angka suap tersebut. “Tapi, kepada penyidik, tersang­ka menyatakan tidak ada pe­nyuapan,” ujarnya.
Menurutnya, tersangka me­nyatakan bahwa kasus ini dilatari kesalahan input data semata. Ke­salahan input data, kata Rikwanto mengutip pernyataan Rochadi, dilakukan Alexander, anak buah­nya yang tengah sekolah di Aus­tralia. Tapi, polisi bersikukuh, ke­salahan input data termasuk ka­tegori kesalahan fatal. “Semua pe­ngakuan itu masih ditelusuri ke­benarannya.”
Rikwanto menegaskan, kendati tersangka membantah, yang paling penting adalah bukti-bukti perkara ini sudah dikantongi kepolisian, yakni pemalsuan data pada surat perlintasan atas nama Siong sudah dicek ke maskapai Tiger Air dan KLM. “Keterangan dari maskapai sudah dicek. Kon­firmasi ke NCB Interpol ser­ta Kementerian Hukum dan HAM juga sudah. Ternyata Siong tidak terdaftar dalam manifes pesawat tersebut. Berarti ada dugaan pemalsuan,” tegasnya.
Mengenai dugaan penerbitan data palsu perlintasan Siong, Rik­wanto menyatakan, surat terbit atas permintaan tiga pengacara dari Cakra & Co Law Firm ber­ini­sial B, D dan P. Untuk kepen­ti­ngan penyidikan, kepolisian sudah mengagendakan pem­e­rik­saan ketiga pengacara tersebut.
Jika pemeriksaan terhadap pemohon surat perlintasan bagi Siong telah dilakukan, penyidik kemudian akan memproses Ale­xander, staf Ditjen Imigrasi yang dikatakan Rochadi tengah me­ngikuti pendidikan di Australia.
Yang pasti, kemarin, permo­honan penangguhan penahanan Rochadi telah dikabulkan polisi. Rochadi diwajibkan penyidik un­tuk melapor satu minggu sekali. “Wajib lapor itu bentuk kontrol saja untuk meyakinkan bahwa dia tidak melarikan diri,” kata Kepala Subdit Keamanan Negara Direk­torat Reserse Kriminal Umum Polda Metro Jaya, AKBP Daniel Tifauna Bolly.
Pada pukul 16.45 WIB, ke­marin, Rochadi keluar dari Ruang Tahanan menuju mobil Toyota Fortuner warna hitam bernomor B 901 CGN yang menjemputnya. Di dalam mobil itu, Rochadi di­temani dua pria. Rochadi me­nolak berkomentar saat ditanya mengenai kasusnya.
“Tanyakan ke humas saja,” elak Rochadi yang memakai celana panjang hitam dan kaos yang juga hitam. Jawaban justru datang dari rekan Rochadi yang menunggu di dalam mobil. “Iya, ini penangguhan penahanan,” ujar salah satu pria yang men­dampingi Rochadi.
Sementara itu, Kepala Bagian Ditjen Imigrasi Kementerian Hu­kum dan HAM Maryoto me­nyam­paikan, pihaknya sudah ber­koordinasi dengan kepolisian. Imigrasi pun memberikan pen­dam­pingan untuk Rochadi. Pen­dampingan juga untuk mene­lu­suri kemungkinan keterlibatan ok­num lain dalam perkara ini.
REKA ULANG
Menteri Amir: Hormati Praduga Tak Bersalah
Menteri Hukum dan HAM Amir Syamsudin menyesalkan tindakan polisi, yang menurut­nya, terkesan tergesa-gesa me­na­han Kepala Kantor Imigrasi Ban­dara Soekarno-Hatta, Roc­hadi Iman Santoso
Amir beralasan, anak buahnya di Ditjen Imigrasi itu kooperatif menjalani pemeriksaan polisi. “Pro­ses ini adalah tanggung ja­wab individu, dimana azas pra­du­ga tidak bersalah wajib dijun­jung tinggi,” katanya.
Kendati begitu, menteri asal Partai Demokrat ini membantah bah­wa dirinya mengintervensi pe­nyidik kepolisian agar tidak me­na­han Rochadi. Dia hanya mengi­ngat­kan agar semua pihak meng­hormati azas praduga tak bersalah.
Rochadi ditahan Subdit Ke­ama­nan Negara Polda Metro Jaya pada Jumat (24/2) malam. Dia di­duga terlibat pemalsuan data per­lintasan orang atas nama warga Singapura, Toh Ke Ngsiong alias Siong.
Diduga, kasus yang menyeret Rochadi bermula saat PT Ma­kin­do, perusahaan yang berperkara perdata dengan Siong, meng­gu­gat tiga pengacara dari Cakra & Co Law Firm. Ketiga pengacara Siong ini diduga membuat surat kuasa palsu. “Kasusnya ditangani Polda, Agustus 2009 hingga ak­hirnya P-21,” kata Kepala Bidang Humas Polda Metro Jaya Kom­bes Rikwanto.
Namun, setelah itu kejaksaan menghentikan kasus pemalsuan surat kuasa tersebut. Alasannya, para lawyer itu belakangan me­nye­rahkan surat keterangan per­lintasan Siong dari dan keluar Ind­onesia pada 25 Maret 2011.
Dalam dokumen perlintasan yang ditandatangani Rochadi, Siong tercatat datang ke Indo­ne­sia menggunakan pesawat Tiger pada 5 Agustus 2009, dan keluar dari Indonesia pada 6 Agustus 2009 menggunakan pesawat KLM Royal Dutch untuk tujuan Amsterdam. “Dengan adanya surat ini, perkara yang ditangani kejaksaan mengenai kasus pe­mal­suan surat kuasa dihentikan.”
Pihak PT Makindo tidak puas. Mereka menuding bahwa surat pe­rlintasan Siong itu palsu. Ma­kindo pun melaporkan dugaan pe­malsuan ini ke kepolisian, ak­hir­nya terbongkarlah kasus pe­malsuan data orang masuk dan ke­luar Indonesia itu. “Dengan mengambil beberapa keterangan saksi dari Kemenkumham, di­peroleh keterangan bahwa Siong tidak pernah datang, tidak pernah tercatat naik pesawat Tiger dan KLM pada tanggal itu. Sehingga, patut diduga bahwa surat tersebut dipalsukan,” papar Rikwanto.
Kasubdit Keamanan Negara Polda Metro Jaya AKBP Daniel Bolly Tifaona menyatakan, kasus ini sesungguhnya sederhana.
Seperti Main Bola Sodok
Eva Kusuma Sundari, Anggota Komisi III DPR
Anggota Komisi III DPR Eva Kusuma Sundari meminta kepolisian mengusut tuntas kasus dugaan pemalsuan data lalu lintas orang, dengan ter­sangka Kepala Kantor Imigrasi Bandar Udara Soekarno-Hatta, Rochadi Iman Santoso. 
Ibarat main bola sodok, me­nu­rut Eva, penanganan kasus tersebut tidak boleh dibatasi ha­nya menyeret pimpinan Imig­rasi Bandara Soekarno-Hatta. Pihak lain yang diduga terlibat, hendaknya juga diproses sesuai ketentuan hukum yang berlaku.
“Seperti orang main bola so­dok saja, bidik bola satu bisa kena bola yang lain. Pola ini perlu diterapkan dalam pe­ngu­sutan perkara,” kata ang­gota DPR dari PDIP ini.
Dia pun mengapresiasi lang­kah kepolisian yang berani me­nyeret Kepala Kantor Imigrasi Bandara Soekarno-Hatta seba­gai tersangka. Akan tetapi, Eva juga mengingatkan kepolisian agar tidak buru-buru puas ha­nya me­ngusut sampai pada tahapan ini.
Orang-orang yang diduga terli­bat dan masih bebas, lanjutnya, juga harus dimintai tang­gung­ja­wab secara hukum. Pasalnya, dia tidak yakin kasus ini hanya me­libatkan Rochadi seorang diri.
Melihat kasus ini, Eva ber­pandangan, kategori pekerjaan tersebut merupakan pekerjaan kolektif. “Artinya, patut diduga ada peran dan tanggungjawab orang lain di sini,” tandasnya.
Eva juga mengingatkan agar Direktorat Jenderal Imigrasi lebih terbuka merespon kepo­li­sian dalam mengusut kasus te­r­sebut. Dia berharap, koordinasi intensif antar lembaga itu, mem­berikan efek positif bagi in­ternal Ditjen Imigrasi.
Seti­daknya, mereka bisa lebih hati-hati melaksanakan tugas. Atau, membuat Imigrasi lebih trans­paran dalam memper­tang­gungjawabkan rangkaian tugas pokoknya.
Intinya, Eva berpesan agar subs­tansi perkara tersebut dise­lesaikan sampai  tuntas. Apa­lagi, masalah hukum seperti ini mempengaruhi wibawa pene­ga­kan hukum. Terlebih, kasus ini diduga melibatkan warga asing. Maka, pengusutannya harus lebih intensif.
Hukum Kita Akan Dipandang Sangat Rendah
Marwan Batubara, Koordinator LSM KPKN
Bekas anggota Dewan Per­wa­kilan Daerah (DPD) Mar­wan Batubara mengingatkan, keterlibatan orang asing dalam kasus pemalsuan data perja­la­nan berefek sangat besar. Jika kasus ini tidak tuntas secara me­nyeluruh, warga negara asing akan  memandang rendah pene­gakan hukum di Indonesia.
“Kepolisian hendaknya tetap bersikap tegas. Cari siapa orang lain yang patut diduga terlibat perkara ini,” kata Koordinator LSM Komite Penyelamat Ke­ka­ya­an Negara (KPKN) ini, kemarin.
Dia menyatakan, polisi mesti mengorek keterangan Warga Negara Singapura, Toh Ke Ng­siong alias Siong. Kendati lang­kah hukum itu sulit dilakukan, dia percaya kepolisian punya teknik dan trik khusus untuk menggali keterangan Siong. De­ngan cara itu, lanjut Mar­wan, ke­terlibatan warga asing pada ka­sus ini bisa diusut hing­ga tuntas.
Marwan khawatir, ketidak­mam­puan polisi menyentuh war­ga asing akan memberikan efek yang sangat buruk. Wajah hukum Indonesia, katanya, bisa dianggap sepele atau dipandang sebelah mata oleh warga asing lainnya. “Itu sama sekali tidak boleh terjadi. Warga asing di sini ke­dudukan hukumnya sama de­ngan warga lainnya,” tegas dia.
Artinya, kemampuan polisi mem­buru warga asing yang ber­masalah di Indonesia, akan menjadi pelajaran sangat berarti bagi warga asing lainnya.
Selain memberikan peringa­tan bagi warga asing lain yang hendak melakukan kejahatan, hal itu juga memberikan dam­pak sangat positif bagi Warga Ne­gara Indonesia.
“Warga nega­ra kita akan ber­pikir, kejahatan oleh warga asing saja bisa diungkap sampai tun­tas, tentu kejahatan oleh War­ga Negara Indonesia akan lebih mu­d­ah diusut,” katanya.  [Harian Rakyat Merdeka]