Suara Pembaharuan
[JAKARTA] Institusi Mahkamah Agung (MA) sebagai lembaga peradilan paling
terhormat dituntut untuk selalu menjaga kewibawaan di hadapan aturan hukum dan
publik, baik terkait moral putusan yang dikeluarkannya, maupun dalam
menjaga integritas para hakim agungnya.
Sementara itu, masih adanya kasus yang mencoreng lembaga tersebut membuktikan MA belum berhasil menjadi garda depan bagi peradilan yang bersih dan dibanggakan keberadaannya.
Demikian disampaikan Ketua Dewan Direktur Lembaga Kajian Publik Sabang-Merauke Circle (SMC), Syahganda Nainggolan di Jakarta, Rabu (12/12).
Menurutnya, kasus pemberhentian Hakim Agung MA, Ahmad Yamani secara tidak hormat melalui Sidang Majelis Kehormatan Hakim Mahkamah Agung, Selasa (11/12), merupakan contoh yang merendahkan kredibilitas lembaga MA dengan terang-benderang.
Lebih lagi, katanya, hal itu menyangkut perbuatan sangat tercela dalam ukuran seorang hakim MA yang sepatutnya menjadi teladan para hakim serta mengutamakan kehati-hatian prinsip hukum, karena sengaja memalsukan amar putusan PK (Peninjauan Kembali) terhadap gembong narkoba asal Surabaya, Hengky Gunawan dari 15 tahun ke 12 tahun dalam penyampaian berkas putusan PK ke Pengadilan Negeri Surabaya.
Sebelumnya, Hengky diganjar vonis 17 tahun penjara oleh Pengadilan Negeri (PN) Surabaya, kemudian di tingkat Pengadilan Tinggi (PT) Surabaya kasusnya mendapatkan vonis hakim 18 tahun dan setelah pada tingkat Kasasi MA, Hengky justru divonis hukuman mati.
Akibat PK yang diajukan Hengky, Yamani bersama hakim agung lainnya, Imron Anwari dan Nyak Pha pun memutuskan Hengky dengan vonis jauh berbeda yaitu 15 tahun. Dari putusan PK inilah terjadi pengubahan menjadi 12 tahun yang dilakukan Yamani.
“Ini pelajaran amat berharga untuk direnungi khususnya oleh para penegak hukum, akibat suatu tindakan pelacuran moral dengan mengorbankan kelembagaan MA menjadi tidak kredibel, sekaligus merupakan kejahatan memperdagangkan hukum di lembaga peradilan yang sesungguhnya agung itu,” jelas Syahganda.
Ia menyebutkan, dengan memutuskan 15 tahun hukuman bagi Hengky saja, vonis produk Yamani dan dua rekannya itu sulit untuk diterima, mengingat terlalu aneh jika suatu putusan dari kasasi MA yang menjatuhkan hukuman mati telah terkoreksi sedemian rendah.
Syahganda juga mengaku, kasus Yamani boleh jadi menggambarkan masih bercokolnya jaringan mafia peradilan di tanah air, yang kerap bisa menembus jantung keadilan di MA serta mendapat pelayanan sempurna dari okum tertentu di lembaga itu.
“Karenanya, kasus Yamani ini harus betul-betul menjadi momentum pembenahan serius di lingkungan MA, yakni agar pimpinan dan para hakim agung MA mengembalikan kedudukan lembaga terhormat itu sebagai benteng keadilan paling puncak untuk memenuhi harapan mayarakat luas, baik sebagai pencari keadilan ataupun yang meletakkannya dalam aspek kewibawaan hukum nasional,” ungkapnya. [E-8]
Sementara itu, masih adanya kasus yang mencoreng lembaga tersebut membuktikan MA belum berhasil menjadi garda depan bagi peradilan yang bersih dan dibanggakan keberadaannya.
Demikian disampaikan Ketua Dewan Direktur Lembaga Kajian Publik Sabang-Merauke Circle (SMC), Syahganda Nainggolan di Jakarta, Rabu (12/12).
Menurutnya, kasus pemberhentian Hakim Agung MA, Ahmad Yamani secara tidak hormat melalui Sidang Majelis Kehormatan Hakim Mahkamah Agung, Selasa (11/12), merupakan contoh yang merendahkan kredibilitas lembaga MA dengan terang-benderang.
Lebih lagi, katanya, hal itu menyangkut perbuatan sangat tercela dalam ukuran seorang hakim MA yang sepatutnya menjadi teladan para hakim serta mengutamakan kehati-hatian prinsip hukum, karena sengaja memalsukan amar putusan PK (Peninjauan Kembali) terhadap gembong narkoba asal Surabaya, Hengky Gunawan dari 15 tahun ke 12 tahun dalam penyampaian berkas putusan PK ke Pengadilan Negeri Surabaya.
Sebelumnya, Hengky diganjar vonis 17 tahun penjara oleh Pengadilan Negeri (PN) Surabaya, kemudian di tingkat Pengadilan Tinggi (PT) Surabaya kasusnya mendapatkan vonis hakim 18 tahun dan setelah pada tingkat Kasasi MA, Hengky justru divonis hukuman mati.
Akibat PK yang diajukan Hengky, Yamani bersama hakim agung lainnya, Imron Anwari dan Nyak Pha pun memutuskan Hengky dengan vonis jauh berbeda yaitu 15 tahun. Dari putusan PK inilah terjadi pengubahan menjadi 12 tahun yang dilakukan Yamani.
“Ini pelajaran amat berharga untuk direnungi khususnya oleh para penegak hukum, akibat suatu tindakan pelacuran moral dengan mengorbankan kelembagaan MA menjadi tidak kredibel, sekaligus merupakan kejahatan memperdagangkan hukum di lembaga peradilan yang sesungguhnya agung itu,” jelas Syahganda.
Ia menyebutkan, dengan memutuskan 15 tahun hukuman bagi Hengky saja, vonis produk Yamani dan dua rekannya itu sulit untuk diterima, mengingat terlalu aneh jika suatu putusan dari kasasi MA yang menjatuhkan hukuman mati telah terkoreksi sedemian rendah.
Syahganda juga mengaku, kasus Yamani boleh jadi menggambarkan masih bercokolnya jaringan mafia peradilan di tanah air, yang kerap bisa menembus jantung keadilan di MA serta mendapat pelayanan sempurna dari okum tertentu di lembaga itu.
“Karenanya, kasus Yamani ini harus betul-betul menjadi momentum pembenahan serius di lingkungan MA, yakni agar pimpinan dan para hakim agung MA mengembalikan kedudukan lembaga terhormat itu sebagai benteng keadilan paling puncak untuk memenuhi harapan mayarakat luas, baik sebagai pencari keadilan ataupun yang meletakkannya dalam aspek kewibawaan hukum nasional,” ungkapnya. [E-8]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar