Pewarta: Desca Lidya Natalia
Jakarta (ANTARA
News) - Mantan Ketua Mahkamah Konstitusi Akil Mochtar divonis seumur
hidup dalam perkara dugaan tindak pidana korupsi penerimaan hadiah
terkait pengurusan 10 sengketa pemilihan kepala daerah (pilkada) di MK
dan tindak pidana pencucian uang.
"Menjatuhkan pidana penjara terhadap terdakwa M Akil Mochtar dengan
pidana seumur hidup," kata Ketua majelis hakim pengadilan tindak pidana
korupsi (Tipikor) Jakarta, Suwidya, Senin.
Pidana tersebut sesuai tuntutan jaksa penuntut umum meski tanpa
pemberian denda dan hukuman tambahan dengan karena jaksa meminta agar
Akil divonis penjara seumur hidup dan denda Rp10 miliar dan pencabutan
hak politik untuk memilih dan dipilih.
"Hal yang memberatkan terdakwa adalah ketua lembaga tinggi negara
yang merupakan benteng terakhir pencari keadilan sehingga harus
memberikan contoh terbaik dalam integritas, kedua perbuatan terdakwa
menyebabkan runtuhnya wibawa MK Republik Indonesia, ketiga diperlukan
usaha yang sulit dan lama untuk mengembalikan kepercayaan kepada
lembanga MK," ungkap Suwidya.
Hakim juga tidak melihat ada hal yang meringankan dari perbuatan Akil.
"Terdakwa dituntut dengan ancaman maksimal maka hal yang meringankan tidak dapat dipertimbangkan lagi," tambah Suwidya.
Dalam pertimbangnya, majelis memang melihat bahwa perbuatan Akil harus dihukum berat.
"Setelah majelis bermusyararah, majelis sependeapat dengan dakwaan
tuntutan penuntut umum mengingat perbuatan terdakwa yang berat khususnya
terkait penyelenggaraan pilkada di daerah sehingga denda tidak relvan
lagi karena terdakwa dituntut pidana maksimal sehingga pidana itu tidak
dapat diganti lagi bila terdakwa tidak bisa membayar tuntutan denda
itu," ungkap Suwidya.
Akil dituntut berdasarkan enam dakwaan yaitu pertama adalah pasal 12
huruf c Undang-undang No 31 tahun 1999 sebagaimana diubah UU No 20
tahun 2001 tentang Tindak Pidana Korupsi jo pasal 55 ayat 1 ke-1 KUHP jo
pasal 65 ayat 1 KUHP tentang hakim yang menerima hadiah yaitu terkait
penerimaan dalam pengurusan sengketa pilkada Gunung Mas, Lebak,
Pelembang dan Empat Lawang.
Dalam sengketa pilkada Gunung Mas, Akil dianggap terbukti mendapat
Rp3 miliar dari bupati terpilih Gunung Mas Hambit Bintih melalui anggota
Komisi II dari fraksi Partai Golkar Chairun Nisa.
Selanjutnya dalam sengketa pilkada Lebak, Akil dinilai mendapatkan
Rp1 miliar dari calon bupati Lebak Amir Hamzah melalui pengacara mantan
anak buah Akil, Susi Tur Andayani. Uang tersebut berasal dari pengusaha
Tubagus Chaeri Wardana alias Wawan yang merupakan adik dari Gubernur
Banten Ratu Atut Chosiyah.
Dalam sengketa pilkada kota Palembang, Akil dinilai menerima uang
sebesar Rp19,87 melalui Muhtar Ependy yang diberikan calon walikota
Palembang Romi Herton melalui rekening CV Ratu Samagat.
Kemudian dalam sengketa pilkada kabupaten Empat Lawang, Akil
mendapat Rp15,5 miliar melalui Muhtar Ependy dari bupati petahana Budi
Antoni Aljufri.
Dakwaan kedua juga berasal dari pasal 12 huruf c Undang-undang No 31
tahun 1999 sebagaimana diubah UU No 20 tahun 2001 tentang Tindak Pidana
Korupsi jo pasal 55 ayat 1 ke-1 KUHP jo pasal 65 ayat 1 KUHP yaitu
penerimaan dalam pengurusan sengketa pilkada Lampung Selatan, Buton,
Morotai, Tapanuli Tengah.
"Dalam pilkada Lampung Selatan tidak ditemukan penerimaan uang untuk
terdakwa sehingga dakwaan tersebut tidak terbukti," kata anggota
majelis hakim Sofialdi.
Hakim menilai Akil tidak terbukti menerima Rp500 juta melalui Susi
Tur Andayani yang berasal dari pasangan bupati terpilih Rycko Menoza dan
Eki Setyanto.
Sedangkan pada sengeketa pilkada kabupaten Buton Akil menerima Rp1
miliar dari pasangan calon bupati Samsu Umar Abdul Samiun dan La Bakry
yang diberikan melalui rekening CV Ratu Samagat.
Dalam perkara sengketa pilkada kabupaten Pulau Morotai, Akil menerima Rp2,99 miliar dari calon bupati Rusli Sibua.
Selanjutnya untuk pengurusan sengketa pilkada kabupaten Tapanuli
Tengah, Akil menerima Rp1,8 miliar yang diberikan oleh bupati terpilih
Tapanuli Tengah Raja Bonaran Situmeang.
Dakwaan ketiga berasal dari pasal 11 UU No 31 tahun 1999 sebagaimana
diubah dengan UU No 20 tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana
Koruspi Jo pasal 55 ayat 1 ke-1 KUHP jo pasal 65 ayat 1 KUHP tentang
penyelenggara negara yang menerima hadiah atau janji dalam sengketa
pilkada Jawa Timur dan kabupaten Merauke, kabupaten Asmat dan kabupaten
Boven Digoel.
Akil mendapatkan janji untuk menerima uang Rp10 miliar dari Ketua
Dewan Pimpinan Daerah I Golkar Jawa Timur yang juga ketua bidang
pemenangan pilkada Zainuddin Amali, namun sebelum janji itu terwujud
Akil sudah ditangkap pada 2 Oktober 2013.
Akil juga menerima Rp125 juta dari Wakil Gubernur Papua 2006-2011
Alex Hesegem sebagai imbalan konsultasi mengenai perkara permohonan
keberatan pilkada kabupaten Merauke, kabupaten Asmat dan kabupaten Boven
Digoel.
Dakwaan keempat juga berasal dari pasal 11 UU No 31 tahun 1999
sebagaimana diubah dengan UU No 20 tahun 2001 tentang Pemberantasan
Tindak Pidana Koruspi Jo pasal 55 ayat 1 ke-1 KUHP jo pasal 65 ayat 1
KUHP dalam pengurusan sengketa pilkada Banten.
Akil pun mendapatkan hadiah sejumlah Rp7,5 miliar dari Tubagus
Chaeri Wardana dalam sengketa pilkada provinsi Banten yang dikirimkan ke
rekening CV Ratu Samagat secara bertahap dengan keterangan "biaya
transprotasi dan sewa alat berat serta "pembayaran bibit kelapa sawit".
Dakwaan kelima adalah pasal 3 UU No 8 tahun 2010 tentang Pencegahan
dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang jo pasal 55 ayat 1 ke-1
KUHP jo pasal 65 ayat 1 KUHP mengenai tindak pidana pencucian uang aktif
saat menjabat sebagai hakim konstitusi periode 2010-2013.
KPK menduga ada Rp161 miliar yang merupakan harta kekayaan Akil itu
merupakan hasil tindak pidana korupsi sejak 22 Oktober 2010 sampai 2
Oktober 2013.
Namun majelis hakim tidak menyetujui semua harta tersebut merupakan tindak pidana pencucian uang.
"Menimbang mengenai pasal 55 ayat 1 ke-1 terdakwa didakwa melakukan
tindak pidana pencucian uang secara bersama-sama dengan saksi Muhtar
Ependy berkaitan dengan penitipan uang sejumlah Rp35 miliar yang berasal
dari pemberian pihak pemohon yang berperkara di MK, terkait sengketa
pilkada di kabupaten Empat Lawang dan Palembang, majelis hakim tidak
menemukan adanya hubungan kasualitas antara harta kekayaan yang dikelola
Muhtar Ependy dengan terdakwa selain Muhtar Ependy mentransfer Rp3,86
miliar ke rekening CV Ratu Samagat," kata anggota majelis hakim
Alexander Marwata.
Artinya hakim hanya melihat ada Rp129,86 miliar yang menjadi bagian tindak pidana pencucian uang Akil.
"Tidak ditemukan alat bukti bahwa harta kekayaan yang dikelola
Muhtar Ependy adalah harta kekayaan terdakwa yang dititipkan ke Muhtar
Ependy. Majelis hakim berpendapat secara yuridis hal itu menjadi
tanggung jawab Muhtar Ependy secara pribadi sehingga terdakwa tidak
dapat dimintakan tanggung jawab terhadap harta kekayaan yang tidak
dikuasainya dengan demikian unsur penyertaan tidak terpenuhi menurut
hukum," tambah hakim Alexander.
Dakwaan keenam berasal dari pasal 3 ayat 1 huruf a dan c UU No 15
tahun 2002 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang sebagaimana diubah
dengan UU No 25 tahun 2003 jo pasal 65 ayat 1 KUHP karena diduga
menyamarkan harta kekayaan hingga Rp22,21 miliar saat menjabat sebagai
anggota Dewan Perwakilan Rakyat dari fraksi Golkar 1999-2009 dan ketika
masih menjadi hakim konstitusi di MK pada periode 2008-2010.
Padahal penghasilan sebagai anggota DPR dan hakim konstitusi periode
17 April 2002 sampai 21 Oktober 2010 dari gaji dan tunjangan hanya
sebesar Rp7,08 miliar dengan pengeluaran rutin dari 2002-2010 adalah
Rp6,041 miliar.
"Terdapat ketidakwajaran dibanding penghasilan terdakwa yang
menyimpang dari profil keuangan terdakwa," kata anggota majelis hakim
Matheus Samiadji.
Artinya secara total Akil terbukti melakukan tindak pidana pencucian uang sebesar Rp152,07 miliar.
Namun ada dua orang hakim yang menyatakan perbedaan pendapat
(dissenting opinion) yaitu hakim anggota III Sofialdi dan hakim anggota
IV Alexander Marwata.
"Tentang pasal 55 ayat 1 ke-1 KUHP tentang penyertaan saksi Chairun
Nisa tidak terpenuhi karena Chairun Nisa adalah penerimaan terhadap
chairun nisa sendiri sebesar Rp75 juta dari Hambit Bintih bukan terhdap
bersama-bersama dengan dengan hakim, dalam posisi ini Chairun Nisa
tergolong pihak yang memberi janji sebesar Rp3 miliar atas permintaan
Hambit Bintih," kata anggota hakim Sofialdi.
Sofialdi juga keberatan dengan peran Susi Tur Andayani yang dalam
putusan perkaranya adalah sebagai pihak pemberi dan bukan bukan kawan
peserta dalam pilkada Lebak.
"Disenting opinion kedua adalah penutut umum KPK tidak punya wewenang untuk TPPU sebagaimana dakwaan kelima dan
dakwaan keenam karena KPK sendiri dalam UU ini tidak punya kewenangan
terhadap penyelidikan dan penyidikan, sehingga dakwaan tersebut harus
batal dengan sendirinya dan tidak bisa dipersalahkan," tambah Sofialdi.
Sedangkan hakim Alexander Marwata berpendapat bahwa tindak pidana
asal dalam TPPU perlu dibuktikan lebih dulu dan tidak bisa hanya dugaan.
"Menurut hakim anggota 4 penyidik masih punya utang untuk pelaku
tindak pidana untuk menyidik pidana asal. KPK memiliki kewenangan tindak
pidana asal yang merupakan tindak pidana korupsi bukan tindak pidana
yang diduga berasal dari tindak pidana korupsi, tidak bisa hanya diduga
tanpa membuktikan tindak pidana korupsi yang mana jika demikian akan
menimbulkan keraguan pada pengadilan tindak pidana korupsi," kata hakim
Alexander.
Atas vonis tersebut Akil menyatakan banding.
"Banding," kata Akil.(*)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar