Andi Saputra - detikNews
Jakarta
Harapan masyarakat terhadap lembaga peradilan sebagai benteng terakhir
pencari keadilan belum sepenuhnya terpenuhi. Salah satunya karena faktor
banyaknya mafia hukum. Hal ini diakui oleh hakim Pengadilan Agama Kota
Baru, Kalimantan Selatan, Achmad Fauzi.
"Memang tidak semua
penegak hukum (bermain), tapi tidak bisa dipungkiri itu memang masih
ada," kata Fauzi saat berbincang dengan detikcom, Kamis (9/8/2012).
Kegundahan
hati Fauzi dituangkan dalam sebuah buku berjudul 'Pergulatan Hukum di
Negeri Wani Piro'. Meski sebagai hakim, dia tidak risih mengakui jika di
institusinya masih ada jual beli perkara.
"Ini sebagai otokritik bagi lembaga peradilan sebab selama ini banyak yang risih dengan dirinya sendiri," papar Fauzi.
Buku
terbitan Leutikaprio yang berpusat di Yogyakarta ini, memiliki tebal
145 halaman dan berisi kumpulan artikel Fauzi yang terserak di berbagai
media massa. Kemudian dikumpulkan berdasarkan tema yang senada hingga
akhirnya menghasilkan tiga pokok pembahasan.
Bab I buku tersebut
menyoroti problem pemberantasan korupsi. Bab II menelaah ekspektasi
publik terhadap integritas dan kualitas hakim yang membumbung tinggi.
Bab III menyajikan berbagai problematika hukum keluarga dan aspek hukum
lainnya. Termasuk skeptisisme pelaku ekonomi terhadap kapabilitas hakim
agama dalam menangani sengketa ekonomi syariah.
Buku ini telah
diluncurkan di internal lembaga peradilan agama dalam rangka
memperingati 130 tahun hari jadi Pengadilan Agama beberapa waktu lalu.
"Saat bicara permasalahan perkara di pengadilan, maka orang akan berpikir, wani piro?" ujar Fauzi.
"Kosakata wani piro itu untuk menggambarkan takaran harga diri hukum
juga autokritik terhadap penegak hukum supaya introspeksi sebelum
dikoreksi oleh publik," tandas Fauzi.
'Wani Piro' atau yang berarti 'Berani Bayar Berapa' selama ini menjadi
sindiran di kalangan penegak hukum. Belakangan juga menjadi tagline
iklan rokok yang wira-wiri tayang di televisi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar