Fajar Pratama - detikNews
Jakarta - KPK menjerat ajudan Rusli Zainal, Said
Faisal, karena memberikan kesaksian palsu di persidangan. Majelis hakim
pun menghukum dengan 7 tahun bui. Ini bukti keseriusan KPK menindak
kesaksian palsu.
"Putusan hakim dan tuntutan Jaksa KPK terhadap
tersangka yg disangkakan membuat keterangan tidak benar ini bisa menjadi
peringatan bagi siapa saja," ujar Jubir KPK Johan Budi dalam
perbincangan, Selasa (8/7/2014).
Dengan adanya vonis ini, kata
Johan, maka menjadi warning bagi siapapun yang kelak dihadirkan di
persidangan, untuk selalu memberikan kenyataan sesuai fakta yang ada.
"Tidak lagi berbohong dalam memberikan keterangan di depan persidangan yang disumpah," tegasnya.
Johan
mengatakan, KPK menganggap kesaksian palsu, sebagai tindak pidana yang
tidak kalah luar biasa dibanding pelaku kasus korupsi yang utama itu
sendiri.
"KPK menganggap sebuah kejahatan yang serius terhadap
pihak-pihak yang memberikan keterangan bohong di sidang pengadilan,"
kata Johan.
Pasal 22 UU Tipikor yang mengatur tentang kesaksian
palsu di persidangan, memiliki rentang hukuman yang lebih tinggi dari
suap kepada penyelengara negara. Pemberian dan penerimaan suap
sebagaimana diatur Pasal 5 ayat 1, memiliki ancaman maksimal lima tahun
penjara, sedangkan kesaksian palsu dihukum dengan ancaman minimal tiga
tahun dan maksimal 12 tahun bui.
Blog ini bersisi kumpulan berita tentang law enforcement dari kalangan Penegak Hukum, ya semacam kliping elektroniklah begitu
Selasa, 08 Juli 2014
Eks Bos PT Adhi Karya Divonis 4,5 Tahun Penjara
VIVAnews - Mantan
Direktur Operasional I PT Adhi Karya Teuku Bagus Muhammad Noor dijatuhi
hukuman 4 tahun 6 bulan penjara oleh Majelis Hakim di Pengadilan Tindak
Pidana Korupsi, Jakarta, Selasa 8 Juli 2014.
Teuku Bagus dinyatakan telah terbukti memberikan suap kepada
sejumlah pejabat Kementerian Pemuda dan Olahraga dalam proses
pembangunan proyek Hambalang.
"Terdakwa dinyatakan secara sah dan meyakinkan telah melakukan
tindak pidana korupsi secara bersama-sama," kata Ketua Majelis Hakim,
Purwono Edi membacakan amar putusan.
Berdasarkan fakta-fakta yang terungkap di persidangan, Teuku Bagus
dinyatakan telah melakukan tindak pidana korupsi. Atas tindakannya itu,
maka Majelis Hakim menjatuhi hukuman 4 tahun 6 bulan penjara dan denda
Rp150 juta, subsidair tiga bulan kurungan.
Vonis ini lebih ringan dibanding tuntutan jaksa penuntut umum pada
KPK. Dalam sidang sebelumnya, Jaksa menuntut terdakwa 7 tahun penjara
dan denda Rp300 juta. Serta meminta majelis hakim untuk menjatuhkan
pidana tambahan kepada Teuku Bagus dengan membayar uang pengganti
sebesar Rp407.558.610.
Tidak banding
Menanggapi putusan yang dijatuhkan kepadanya, Teuku Bagus
menyatakan menerima dan tidak akan mengajukan banding. Sementara, Jaksa
KPK mengatakan untuk mempertimbangkan terlebih dahulu.
"Saya menerima dan tidak banding," kata Teuku Bagus.
Bendahara Umum PDIP Terbukti Terima Suap Rp2,5 Miliar
VIVAnews - Mantan Direktur
Operasional I PT Adhi Karya Teuku Bagus Muhammad Noor dinyatakan
terbukti menyuap Bendahara Umum PDI Perjuangan, Olly Dondokambey senilai
sebesar Rp2,5 miliar.
Hal itu disebut dalam amar putusan Teuku Bagus oleh Majelis Hakim di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi, Jakarta, Selasa 8 Juli 2014.
"Dalam proses pembanguan proyek P3SON Hambalang, terdakwa terbukti telah menyuap Olly Dondokambey sebagai anggota Banggar DPR sebesar Rp2,5 miliar," kata Hakim Anggota Sinung Hermawan.
Hakim Sinung menyebutkan Olly menerima suap dalam kapasitasnya sebagai anggota Banggar DPR.
Seperti diketahui, Banggar DPR merupakan institusi legislatif yang menentukan peningkatan anggaran proyek Hambalang. Semula dari Rp125 miliar, kemudian meningkat menjadi Rp2,5 triliun.
Meski begitu, majelis memutuskan bahwa barang berharga berupa mebel milik Olly yang sempat disita Komisi Pemberantasan Korupsi dalam penyidikan dinyatakan bukan berasal dari kas PT Adhi Karya. Maka mebel tersebut harus dikembalikan ke Olly.
"Mebel berupa meja kayu dan kursi yang telah disita agar dikembalikan ke tempat penyitaan (rumah Olly)," kata Hakim Ketua Purwono Edi.
Teuku Bagus terbukti melanggar Pasal 3 jo 18 Undang-undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 jo Pasal 65 KUHP. Atas perbuatannya tersebut, Teuku Bagus dijatuhi hukuman 4 tahun 6 bulan penjara dan denda Rp150 juta subsidair 3 bulan penjara. (adi)
Hal itu disebut dalam amar putusan Teuku Bagus oleh Majelis Hakim di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi, Jakarta, Selasa 8 Juli 2014.
"Dalam proses pembanguan proyek P3SON Hambalang, terdakwa terbukti telah menyuap Olly Dondokambey sebagai anggota Banggar DPR sebesar Rp2,5 miliar," kata Hakim Anggota Sinung Hermawan.
Hakim Sinung menyebutkan Olly menerima suap dalam kapasitasnya sebagai anggota Banggar DPR.
Seperti diketahui, Banggar DPR merupakan institusi legislatif yang menentukan peningkatan anggaran proyek Hambalang. Semula dari Rp125 miliar, kemudian meningkat menjadi Rp2,5 triliun.
Meski begitu, majelis memutuskan bahwa barang berharga berupa mebel milik Olly yang sempat disita Komisi Pemberantasan Korupsi dalam penyidikan dinyatakan bukan berasal dari kas PT Adhi Karya. Maka mebel tersebut harus dikembalikan ke Olly.
"Mebel berupa meja kayu dan kursi yang telah disita agar dikembalikan ke tempat penyitaan (rumah Olly)," kata Hakim Ketua Purwono Edi.
Teuku Bagus terbukti melanggar Pasal 3 jo 18 Undang-undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 jo Pasal 65 KUHP. Atas perbuatannya tersebut, Teuku Bagus dijatuhi hukuman 4 tahun 6 bulan penjara dan denda Rp150 juta subsidair 3 bulan penjara. (adi)
Bandar 1 Ton Ganja Hanya Dibui 12 Tahun, Ini Susahnya Menangkap Wawan
Andi Saputra - detikNews
Jakarta - Dengan susah payah, anggota polisi dari Polsek Johar Baru, Jakarta Pusat, membekuk Wawan Sudrajat (41) dan Badrudin (43) dengan barang bukti 1 ton ganja. Siapa nyana keduanya divonis ringan, Wawan selama 12 tahun dan Badrudin selama 14 tahun penjara.
Penangkapan 1 ton ganja tersebut merupakan penangkapan terbesar yang dilakukan polsek tersebut. Berikut jalan panjang menangkap kedua bandar ganja itu yang 'produk'-nya telah beredar di masyarakat itu, seperti dirangkum dari dakwaan jaksa, Selasa (8/7/2014):
11 Maret 2013
Pukul 08.00 WIB
Tiga anggota Polsek Johar Baru, Andi Amiruddin, Danang Wahyu Setyo dan Frengky P Sinaga mendapatkan informasi akan ada yang melakukan transaksi ganja. Informasi itu dilaporkan ke Kanit Narkoba Polsek Johar Baru Ipda Sukarmin.
Lantas disusunlah rencana dengan menelepon orang yang mengaku sebagai penjual ganja partai besar Kemo seberat 10 kg seharga Rp 19 juta.
Pukul 11.30 WIB
Kemo menelepon Badrudin untuk menyediakan ganja sesuai pesanan. TKP transaksi disepakati di depan Terminal Baranangsiang, Bogor. Lantas Badrudin mengajak Wawan.
Pukul 17.20 WIB
Tim dari Polsek Johar Baru stand by di lokasi. Informan polisi lalu berpura-pura menjadi pembeli dan diajak Wawan dan Badrudin masuk ke dalam mobil Wawa
Sesaat setelah masuk mobil, Andi Amiruddin, Danang Wahyu Setyo dan Frengky P Sinaga langsung menggerebek mobil tersebut. Ternyata tidak ditemukan ganja sedikit pun.
Namun Badrudin dan Wawan berkicau bahwa mereka bisa menunjukkan lokasi penyimpanan di daerah Cianjur, Jawa Barat. Tim Polsek pun langsung meluncur ke lokasi.
Pukul 22.00 WIB
Tim Polsek Johar Baru sampai di Jalan H. Juanda, Kampung Gunung Lanjung Dua, RT 03/07, Keluraran Cijendil, Kecamatan Cugeneng, Cianjur. Ternyata Wawan dan Badrudin hanya membual karena tidak ditemukan ganja.
Lantas Wawan dan Badrudin kembali 'bernyanyi' bahwa alamat yang benar di sebuah rumah kosong di Jalan Sukabumi Km 5, Kampung Ciajak Dua, Kelurahan Simagalih, Kecamatan Cilaku, Cianjur.
Pukul 23.00 WIB
Polisi ke lokasi di Jalan Sukabumi Km 5. Dan benar, 1 ton ganja ditemukan! Wawan dan Badrudin pun ditahan.
12 November 2013
Jaksa menuntut Wawan dan Badrudin dijatuhi hukuman penjara seumur hidup
27 November 2013
PN Jakpus menjatuhkan hukuman kepada Wawan selama 12 tahun penjara dan Badrudin selama 14 tahu penjara
6 Februari 2014
Pengadilan Tinggi Jakarta menguatkan vonis tersebut. Duduk sebagai ketua majelis Gatot Supramono dengan anggota Kresna Menon dan Panusunan Harahap.
28 Mei 2014
MA menolak permohonan kasasi Wawan dan Badrudin. Duduk sebagai ketua majelis Artidjo Alkostar dengan anggota Suhadi dan Sri Murwahyuni.
Jakarta - Dengan susah payah, anggota polisi dari Polsek Johar Baru, Jakarta Pusat, membekuk Wawan Sudrajat (41) dan Badrudin (43) dengan barang bukti 1 ton ganja. Siapa nyana keduanya divonis ringan, Wawan selama 12 tahun dan Badrudin selama 14 tahun penjara.
Penangkapan 1 ton ganja tersebut merupakan penangkapan terbesar yang dilakukan polsek tersebut. Berikut jalan panjang menangkap kedua bandar ganja itu yang 'produk'-nya telah beredar di masyarakat itu, seperti dirangkum dari dakwaan jaksa, Selasa (8/7/2014):
11 Maret 2013
Pukul 08.00 WIB
Tiga anggota Polsek Johar Baru, Andi Amiruddin, Danang Wahyu Setyo dan Frengky P Sinaga mendapatkan informasi akan ada yang melakukan transaksi ganja. Informasi itu dilaporkan ke Kanit Narkoba Polsek Johar Baru Ipda Sukarmin.
Lantas disusunlah rencana dengan menelepon orang yang mengaku sebagai penjual ganja partai besar Kemo seberat 10 kg seharga Rp 19 juta.
Pukul 11.30 WIB
Kemo menelepon Badrudin untuk menyediakan ganja sesuai pesanan. TKP transaksi disepakati di depan Terminal Baranangsiang, Bogor. Lantas Badrudin mengajak Wawan.
Pukul 17.20 WIB
Tim dari Polsek Johar Baru stand by di lokasi. Informan polisi lalu berpura-pura menjadi pembeli dan diajak Wawan dan Badrudin masuk ke dalam mobil Wawa
Sesaat setelah masuk mobil, Andi Amiruddin, Danang Wahyu Setyo dan Frengky P Sinaga langsung menggerebek mobil tersebut. Ternyata tidak ditemukan ganja sedikit pun.
Namun Badrudin dan Wawan berkicau bahwa mereka bisa menunjukkan lokasi penyimpanan di daerah Cianjur, Jawa Barat. Tim Polsek pun langsung meluncur ke lokasi.
Pukul 22.00 WIB
Tim Polsek Johar Baru sampai di Jalan H. Juanda, Kampung Gunung Lanjung Dua, RT 03/07, Keluraran Cijendil, Kecamatan Cugeneng, Cianjur. Ternyata Wawan dan Badrudin hanya membual karena tidak ditemukan ganja.
Lantas Wawan dan Badrudin kembali 'bernyanyi' bahwa alamat yang benar di sebuah rumah kosong di Jalan Sukabumi Km 5, Kampung Ciajak Dua, Kelurahan Simagalih, Kecamatan Cilaku, Cianjur.
Pukul 23.00 WIB
Polisi ke lokasi di Jalan Sukabumi Km 5. Dan benar, 1 ton ganja ditemukan! Wawan dan Badrudin pun ditahan.
12 November 2013
Jaksa menuntut Wawan dan Badrudin dijatuhi hukuman penjara seumur hidup
27 November 2013
PN Jakpus menjatuhkan hukuman kepada Wawan selama 12 tahun penjara dan Badrudin selama 14 tahu penjara
6 Februari 2014
Pengadilan Tinggi Jakarta menguatkan vonis tersebut. Duduk sebagai ketua majelis Gatot Supramono dengan anggota Kresna Menon dan Panusunan Harahap.
28 Mei 2014
MA menolak permohonan kasasi Wawan dan Badrudin. Duduk sebagai ketua majelis Artidjo Alkostar dengan anggota Suhadi dan Sri Murwahyuni.
Teuku Bagus Divonis 4,5 Tahun Penjara
JAKARTA - Terdakwa
perkara dugaan korupsi pengadaan sarana dan prasarana proyek olahraga
Hambalang, Teuku Bagus M. Noor dihukum empat tahun dan enam bulan
penjara oleh majelis hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta. Ia
dinilai terbukti menyalahgunakan wewenangnya terkait proyek olahraga
Hambalang dengan tujuan memperkaya diri sendiri atau orang lain sehingga
merugikan keuangan negara sebesar Rp 464,514 miliar.
"Menghukum terdakwa dengan pidana
penjara selama 4 tahun dan 6 bulan," kata Hakim Ketua, Purwono Edi
Santoso saat membacakan putusan di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi
Jakarta, Selasa (8/7).
Selain itu, hakim juga menjatuhkan
pidana denda sebesar Rp 150 juta. Apabila denda tidak dibayar maka
diganti pidana kurungan selama tiga bulan.
Teuku Bagus terbukti melanggar Pasal 3
jo 18 Undang-undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo Pasal 55 ayat
(1) ke-1 jo Pasal 65 KUHP.
"Terdakwa terbukti secara sah dan menyakinkan melakukan tindak pidana korupsi secara bersama-sama," ujar Hakim Purwono.
Selain itu, hakim memerintahkan kepada
jaksa penuntut umum pada Komisi Pemberantasan Korupsi untuk membuka
blokir aset terkait dengan Teuku Bagus.
Dalam memberikan keputusan, majelis
hakim memberikan pertimbangan yang memberatkan dan meringankan. Adapun
hal yang memberatkan adalah perbuatan terdakwa tidak mendukung program
pemerintah yang sedang giat-giatnya memberantas tindak pidana korupsi.
Sedangkan hal yang meringankan adalah
terdakwa berlaku sopan, bersikap kooperatif, belum pernah dihukum dan
sudah mengembalikan seluruh uang yang berasal dari tindak pidana
korupsi.
Atas putusan tersebut, Teuku Bagus tidak menyatakan banding. Sedangkan penuntut umum menggunakan waktu untuk pikir-pikir. (gil/jpnn)
Selasa, 01 Juli 2014
Akil Mochtar divonis seumur hidup
Pewarta: Desca Lidya Natalia
Jakarta (ANTARA News) - Mantan Ketua Mahkamah Konstitusi Akil Mochtar divonis seumur hidup dalam perkara dugaan tindak pidana korupsi penerimaan hadiah terkait pengurusan 10 sengketa pemilihan kepala daerah (pilkada) di MK dan tindak pidana pencucian uang.
"Menjatuhkan pidana penjara terhadap terdakwa M Akil Mochtar dengan pidana seumur hidup," kata Ketua majelis hakim pengadilan tindak pidana korupsi (Tipikor) Jakarta, Suwidya, Senin.
Pidana tersebut sesuai tuntutan jaksa penuntut umum meski tanpa pemberian denda dan hukuman tambahan dengan karena jaksa meminta agar Akil divonis penjara seumur hidup dan denda Rp10 miliar dan pencabutan hak politik untuk memilih dan dipilih.
"Hal yang memberatkan terdakwa adalah ketua lembaga tinggi negara yang merupakan benteng terakhir pencari keadilan sehingga harus memberikan contoh terbaik dalam integritas, kedua perbuatan terdakwa menyebabkan runtuhnya wibawa MK Republik Indonesia, ketiga diperlukan usaha yang sulit dan lama untuk mengembalikan kepercayaan kepada lembanga MK," ungkap Suwidya.
Hakim juga tidak melihat ada hal yang meringankan dari perbuatan Akil.
"Terdakwa dituntut dengan ancaman maksimal maka hal yang meringankan tidak dapat dipertimbangkan lagi," tambah Suwidya.
Dalam pertimbangnya, majelis memang melihat bahwa perbuatan Akil harus dihukum berat.
"Setelah majelis bermusyararah, majelis sependeapat dengan dakwaan tuntutan penuntut umum mengingat perbuatan terdakwa yang berat khususnya terkait penyelenggaraan pilkada di daerah sehingga denda tidak relvan lagi karena terdakwa dituntut pidana maksimal sehingga pidana itu tidak dapat diganti lagi bila terdakwa tidak bisa membayar tuntutan denda itu," ungkap Suwidya.
Akil dituntut berdasarkan enam dakwaan yaitu pertama adalah pasal 12 huruf c Undang-undang No 31 tahun 1999 sebagaimana diubah UU No 20 tahun 2001 tentang Tindak Pidana Korupsi jo pasal 55 ayat 1 ke-1 KUHP jo pasal 65 ayat 1 KUHP tentang hakim yang menerima hadiah yaitu terkait penerimaan dalam pengurusan sengketa pilkada Gunung Mas, Lebak, Pelembang dan Empat Lawang.
Dalam sengketa pilkada Gunung Mas, Akil dianggap terbukti mendapat Rp3 miliar dari bupati terpilih Gunung Mas Hambit Bintih melalui anggota Komisi II dari fraksi Partai Golkar Chairun Nisa.
Selanjutnya dalam sengketa pilkada Lebak, Akil dinilai mendapatkan Rp1 miliar dari calon bupati Lebak Amir Hamzah melalui pengacara mantan anak buah Akil, Susi Tur Andayani. Uang tersebut berasal dari pengusaha Tubagus Chaeri Wardana alias Wawan yang merupakan adik dari Gubernur Banten Ratu Atut Chosiyah.
Dalam sengketa pilkada kota Palembang, Akil dinilai menerima uang sebesar Rp19,87 melalui Muhtar Ependy yang diberikan calon walikota Palembang Romi Herton melalui rekening CV Ratu Samagat.
Kemudian dalam sengketa pilkada kabupaten Empat Lawang, Akil mendapat Rp15,5 miliar melalui Muhtar Ependy dari bupati petahana Budi Antoni Aljufri.
Dakwaan kedua juga berasal dari pasal 12 huruf c Undang-undang No 31 tahun 1999 sebagaimana diubah UU No 20 tahun 2001 tentang Tindak Pidana Korupsi jo pasal 55 ayat 1 ke-1 KUHP jo pasal 65 ayat 1 KUHP yaitu penerimaan dalam pengurusan sengketa pilkada Lampung Selatan, Buton, Morotai, Tapanuli Tengah.
"Dalam pilkada Lampung Selatan tidak ditemukan penerimaan uang untuk terdakwa sehingga dakwaan tersebut tidak terbukti," kata anggota majelis hakim Sofialdi.
Hakim menilai Akil tidak terbukti menerima Rp500 juta melalui Susi Tur Andayani yang berasal dari pasangan bupati terpilih Rycko Menoza dan Eki Setyanto.
Sedangkan pada sengeketa pilkada kabupaten Buton Akil menerima Rp1 miliar dari pasangan calon bupati Samsu Umar Abdul Samiun dan La Bakry yang diberikan melalui rekening CV Ratu Samagat.
Dalam perkara sengketa pilkada kabupaten Pulau Morotai, Akil menerima Rp2,99 miliar dari calon bupati Rusli Sibua.
Selanjutnya untuk pengurusan sengketa pilkada kabupaten Tapanuli Tengah, Akil menerima Rp1,8 miliar yang diberikan oleh bupati terpilih Tapanuli Tengah Raja Bonaran Situmeang.
Dakwaan ketiga berasal dari pasal 11 UU No 31 tahun 1999 sebagaimana diubah dengan UU No 20 tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Koruspi Jo pasal 55 ayat 1 ke-1 KUHP jo pasal 65 ayat 1 KUHP tentang penyelenggara negara yang menerima hadiah atau janji dalam sengketa pilkada Jawa Timur dan kabupaten Merauke, kabupaten Asmat dan kabupaten Boven Digoel.
Akil mendapatkan janji untuk menerima uang Rp10 miliar dari Ketua Dewan Pimpinan Daerah I Golkar Jawa Timur yang juga ketua bidang pemenangan pilkada Zainuddin Amali, namun sebelum janji itu terwujud Akil sudah ditangkap pada 2 Oktober 2013.
Akil juga menerima Rp125 juta dari Wakil Gubernur Papua 2006-2011 Alex Hesegem sebagai imbalan konsultasi mengenai perkara permohonan keberatan pilkada kabupaten Merauke, kabupaten Asmat dan kabupaten Boven Digoel.
Dakwaan keempat juga berasal dari pasal 11 UU No 31 tahun 1999 sebagaimana diubah dengan UU No 20 tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Koruspi Jo pasal 55 ayat 1 ke-1 KUHP jo pasal 65 ayat 1 KUHP dalam pengurusan sengketa pilkada Banten.
Akil pun mendapatkan hadiah sejumlah Rp7,5 miliar dari Tubagus Chaeri Wardana dalam sengketa pilkada provinsi Banten yang dikirimkan ke rekening CV Ratu Samagat secara bertahap dengan keterangan "biaya transprotasi dan sewa alat berat serta "pembayaran bibit kelapa sawit".
Dakwaan kelima adalah pasal 3 UU No 8 tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang jo pasal 55 ayat 1 ke-1 KUHP jo pasal 65 ayat 1 KUHP mengenai tindak pidana pencucian uang aktif saat menjabat sebagai hakim konstitusi periode 2010-2013.
KPK menduga ada Rp161 miliar yang merupakan harta kekayaan Akil itu merupakan hasil tindak pidana korupsi sejak 22 Oktober 2010 sampai 2 Oktober 2013.
Namun majelis hakim tidak menyetujui semua harta tersebut merupakan tindak pidana pencucian uang.
"Menimbang mengenai pasal 55 ayat 1 ke-1 terdakwa didakwa melakukan tindak pidana pencucian uang secara bersama-sama dengan saksi Muhtar Ependy berkaitan dengan penitipan uang sejumlah Rp35 miliar yang berasal dari pemberian pihak pemohon yang berperkara di MK, terkait sengketa pilkada di kabupaten Empat Lawang dan Palembang, majelis hakim tidak menemukan adanya hubungan kasualitas antara harta kekayaan yang dikelola Muhtar Ependy dengan terdakwa selain Muhtar Ependy mentransfer Rp3,86 miliar ke rekening CV Ratu Samagat," kata anggota majelis hakim Alexander Marwata.
Artinya hakim hanya melihat ada Rp129,86 miliar yang menjadi bagian tindak pidana pencucian uang Akil.
"Tidak ditemukan alat bukti bahwa harta kekayaan yang dikelola Muhtar Ependy adalah harta kekayaan terdakwa yang dititipkan ke Muhtar Ependy. Majelis hakim berpendapat secara yuridis hal itu menjadi tanggung jawab Muhtar Ependy secara pribadi sehingga terdakwa tidak dapat dimintakan tanggung jawab terhadap harta kekayaan yang tidak dikuasainya dengan demikian unsur penyertaan tidak terpenuhi menurut hukum," tambah hakim Alexander.
Dakwaan keenam berasal dari pasal 3 ayat 1 huruf a dan c UU No 15 tahun 2002 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang sebagaimana diubah dengan UU No 25 tahun 2003 jo pasal 65 ayat 1 KUHP karena diduga menyamarkan harta kekayaan hingga Rp22,21 miliar saat menjabat sebagai anggota Dewan Perwakilan Rakyat dari fraksi Golkar 1999-2009 dan ketika masih menjadi hakim konstitusi di MK pada periode 2008-2010.
Padahal penghasilan sebagai anggota DPR dan hakim konstitusi periode 17 April 2002 sampai 21 Oktober 2010 dari gaji dan tunjangan hanya sebesar Rp7,08 miliar dengan pengeluaran rutin dari 2002-2010 adalah Rp6,041 miliar.
"Terdapat ketidakwajaran dibanding penghasilan terdakwa yang menyimpang dari profil keuangan terdakwa," kata anggota majelis hakim Matheus Samiadji.
Artinya secara total Akil terbukti melakukan tindak pidana pencucian uang sebesar Rp152,07 miliar.
Namun ada dua orang hakim yang menyatakan perbedaan pendapat (dissenting opinion) yaitu hakim anggota III Sofialdi dan hakim anggota IV Alexander Marwata.
"Tentang pasal 55 ayat 1 ke-1 KUHP tentang penyertaan saksi Chairun Nisa tidak terpenuhi karena Chairun Nisa adalah penerimaan terhadap chairun nisa sendiri sebesar Rp75 juta dari Hambit Bintih bukan terhdap bersama-bersama dengan dengan hakim, dalam posisi ini Chairun Nisa tergolong pihak yang memberi janji sebesar Rp3 miliar atas permintaan Hambit Bintih," kata anggota hakim Sofialdi.
Sofialdi juga keberatan dengan peran Susi Tur Andayani yang dalam putusan perkaranya adalah sebagai pihak pemberi dan bukan bukan kawan peserta dalam pilkada Lebak.
"Disenting opinion kedua adalah penutut umum KPK tidak punya wewenang untuk TPPU sebagaimana dakwaan kelima dan
dakwaan keenam karena KPK sendiri dalam UU ini tidak punya kewenangan terhadap penyelidikan dan penyidikan, sehingga dakwaan tersebut harus batal dengan sendirinya dan tidak bisa dipersalahkan," tambah Sofialdi.
Sedangkan hakim Alexander Marwata berpendapat bahwa tindak pidana asal dalam TPPU perlu dibuktikan lebih dulu dan tidak bisa hanya dugaan.
"Menurut hakim anggota 4 penyidik masih punya utang untuk pelaku tindak pidana untuk menyidik pidana asal. KPK memiliki kewenangan tindak pidana asal yang merupakan tindak pidana korupsi bukan tindak pidana yang diduga berasal dari tindak pidana korupsi, tidak bisa hanya diduga tanpa membuktikan tindak pidana korupsi yang mana jika demikian akan menimbulkan keraguan pada pengadilan tindak pidana korupsi," kata hakim Alexander.
Atas vonis tersebut Akil menyatakan banding.
"Banding," kata Akil.(*)
Jakarta (ANTARA News) - Mantan Ketua Mahkamah Konstitusi Akil Mochtar divonis seumur hidup dalam perkara dugaan tindak pidana korupsi penerimaan hadiah terkait pengurusan 10 sengketa pemilihan kepala daerah (pilkada) di MK dan tindak pidana pencucian uang.
"Menjatuhkan pidana penjara terhadap terdakwa M Akil Mochtar dengan pidana seumur hidup," kata Ketua majelis hakim pengadilan tindak pidana korupsi (Tipikor) Jakarta, Suwidya, Senin.
Pidana tersebut sesuai tuntutan jaksa penuntut umum meski tanpa pemberian denda dan hukuman tambahan dengan karena jaksa meminta agar Akil divonis penjara seumur hidup dan denda Rp10 miliar dan pencabutan hak politik untuk memilih dan dipilih.
"Hal yang memberatkan terdakwa adalah ketua lembaga tinggi negara yang merupakan benteng terakhir pencari keadilan sehingga harus memberikan contoh terbaik dalam integritas, kedua perbuatan terdakwa menyebabkan runtuhnya wibawa MK Republik Indonesia, ketiga diperlukan usaha yang sulit dan lama untuk mengembalikan kepercayaan kepada lembanga MK," ungkap Suwidya.
Hakim juga tidak melihat ada hal yang meringankan dari perbuatan Akil.
"Terdakwa dituntut dengan ancaman maksimal maka hal yang meringankan tidak dapat dipertimbangkan lagi," tambah Suwidya.
Dalam pertimbangnya, majelis memang melihat bahwa perbuatan Akil harus dihukum berat.
"Setelah majelis bermusyararah, majelis sependeapat dengan dakwaan tuntutan penuntut umum mengingat perbuatan terdakwa yang berat khususnya terkait penyelenggaraan pilkada di daerah sehingga denda tidak relvan lagi karena terdakwa dituntut pidana maksimal sehingga pidana itu tidak dapat diganti lagi bila terdakwa tidak bisa membayar tuntutan denda itu," ungkap Suwidya.
Akil dituntut berdasarkan enam dakwaan yaitu pertama adalah pasal 12 huruf c Undang-undang No 31 tahun 1999 sebagaimana diubah UU No 20 tahun 2001 tentang Tindak Pidana Korupsi jo pasal 55 ayat 1 ke-1 KUHP jo pasal 65 ayat 1 KUHP tentang hakim yang menerima hadiah yaitu terkait penerimaan dalam pengurusan sengketa pilkada Gunung Mas, Lebak, Pelembang dan Empat Lawang.
Dalam sengketa pilkada Gunung Mas, Akil dianggap terbukti mendapat Rp3 miliar dari bupati terpilih Gunung Mas Hambit Bintih melalui anggota Komisi II dari fraksi Partai Golkar Chairun Nisa.
Selanjutnya dalam sengketa pilkada Lebak, Akil dinilai mendapatkan Rp1 miliar dari calon bupati Lebak Amir Hamzah melalui pengacara mantan anak buah Akil, Susi Tur Andayani. Uang tersebut berasal dari pengusaha Tubagus Chaeri Wardana alias Wawan yang merupakan adik dari Gubernur Banten Ratu Atut Chosiyah.
Dalam sengketa pilkada kota Palembang, Akil dinilai menerima uang sebesar Rp19,87 melalui Muhtar Ependy yang diberikan calon walikota Palembang Romi Herton melalui rekening CV Ratu Samagat.
Kemudian dalam sengketa pilkada kabupaten Empat Lawang, Akil mendapat Rp15,5 miliar melalui Muhtar Ependy dari bupati petahana Budi Antoni Aljufri.
Dakwaan kedua juga berasal dari pasal 12 huruf c Undang-undang No 31 tahun 1999 sebagaimana diubah UU No 20 tahun 2001 tentang Tindak Pidana Korupsi jo pasal 55 ayat 1 ke-1 KUHP jo pasal 65 ayat 1 KUHP yaitu penerimaan dalam pengurusan sengketa pilkada Lampung Selatan, Buton, Morotai, Tapanuli Tengah.
"Dalam pilkada Lampung Selatan tidak ditemukan penerimaan uang untuk terdakwa sehingga dakwaan tersebut tidak terbukti," kata anggota majelis hakim Sofialdi.
Hakim menilai Akil tidak terbukti menerima Rp500 juta melalui Susi Tur Andayani yang berasal dari pasangan bupati terpilih Rycko Menoza dan Eki Setyanto.
Sedangkan pada sengeketa pilkada kabupaten Buton Akil menerima Rp1 miliar dari pasangan calon bupati Samsu Umar Abdul Samiun dan La Bakry yang diberikan melalui rekening CV Ratu Samagat.
Dalam perkara sengketa pilkada kabupaten Pulau Morotai, Akil menerima Rp2,99 miliar dari calon bupati Rusli Sibua.
Selanjutnya untuk pengurusan sengketa pilkada kabupaten Tapanuli Tengah, Akil menerima Rp1,8 miliar yang diberikan oleh bupati terpilih Tapanuli Tengah Raja Bonaran Situmeang.
Dakwaan ketiga berasal dari pasal 11 UU No 31 tahun 1999 sebagaimana diubah dengan UU No 20 tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Koruspi Jo pasal 55 ayat 1 ke-1 KUHP jo pasal 65 ayat 1 KUHP tentang penyelenggara negara yang menerima hadiah atau janji dalam sengketa pilkada Jawa Timur dan kabupaten Merauke, kabupaten Asmat dan kabupaten Boven Digoel.
Akil mendapatkan janji untuk menerima uang Rp10 miliar dari Ketua Dewan Pimpinan Daerah I Golkar Jawa Timur yang juga ketua bidang pemenangan pilkada Zainuddin Amali, namun sebelum janji itu terwujud Akil sudah ditangkap pada 2 Oktober 2013.
Akil juga menerima Rp125 juta dari Wakil Gubernur Papua 2006-2011 Alex Hesegem sebagai imbalan konsultasi mengenai perkara permohonan keberatan pilkada kabupaten Merauke, kabupaten Asmat dan kabupaten Boven Digoel.
Dakwaan keempat juga berasal dari pasal 11 UU No 31 tahun 1999 sebagaimana diubah dengan UU No 20 tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Koruspi Jo pasal 55 ayat 1 ke-1 KUHP jo pasal 65 ayat 1 KUHP dalam pengurusan sengketa pilkada Banten.
Akil pun mendapatkan hadiah sejumlah Rp7,5 miliar dari Tubagus Chaeri Wardana dalam sengketa pilkada provinsi Banten yang dikirimkan ke rekening CV Ratu Samagat secara bertahap dengan keterangan "biaya transprotasi dan sewa alat berat serta "pembayaran bibit kelapa sawit".
Dakwaan kelima adalah pasal 3 UU No 8 tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang jo pasal 55 ayat 1 ke-1 KUHP jo pasal 65 ayat 1 KUHP mengenai tindak pidana pencucian uang aktif saat menjabat sebagai hakim konstitusi periode 2010-2013.
KPK menduga ada Rp161 miliar yang merupakan harta kekayaan Akil itu merupakan hasil tindak pidana korupsi sejak 22 Oktober 2010 sampai 2 Oktober 2013.
Namun majelis hakim tidak menyetujui semua harta tersebut merupakan tindak pidana pencucian uang.
"Menimbang mengenai pasal 55 ayat 1 ke-1 terdakwa didakwa melakukan tindak pidana pencucian uang secara bersama-sama dengan saksi Muhtar Ependy berkaitan dengan penitipan uang sejumlah Rp35 miliar yang berasal dari pemberian pihak pemohon yang berperkara di MK, terkait sengketa pilkada di kabupaten Empat Lawang dan Palembang, majelis hakim tidak menemukan adanya hubungan kasualitas antara harta kekayaan yang dikelola Muhtar Ependy dengan terdakwa selain Muhtar Ependy mentransfer Rp3,86 miliar ke rekening CV Ratu Samagat," kata anggota majelis hakim Alexander Marwata.
Artinya hakim hanya melihat ada Rp129,86 miliar yang menjadi bagian tindak pidana pencucian uang Akil.
"Tidak ditemukan alat bukti bahwa harta kekayaan yang dikelola Muhtar Ependy adalah harta kekayaan terdakwa yang dititipkan ke Muhtar Ependy. Majelis hakim berpendapat secara yuridis hal itu menjadi tanggung jawab Muhtar Ependy secara pribadi sehingga terdakwa tidak dapat dimintakan tanggung jawab terhadap harta kekayaan yang tidak dikuasainya dengan demikian unsur penyertaan tidak terpenuhi menurut hukum," tambah hakim Alexander.
Dakwaan keenam berasal dari pasal 3 ayat 1 huruf a dan c UU No 15 tahun 2002 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang sebagaimana diubah dengan UU No 25 tahun 2003 jo pasal 65 ayat 1 KUHP karena diduga menyamarkan harta kekayaan hingga Rp22,21 miliar saat menjabat sebagai anggota Dewan Perwakilan Rakyat dari fraksi Golkar 1999-2009 dan ketika masih menjadi hakim konstitusi di MK pada periode 2008-2010.
Padahal penghasilan sebagai anggota DPR dan hakim konstitusi periode 17 April 2002 sampai 21 Oktober 2010 dari gaji dan tunjangan hanya sebesar Rp7,08 miliar dengan pengeluaran rutin dari 2002-2010 adalah Rp6,041 miliar.
"Terdapat ketidakwajaran dibanding penghasilan terdakwa yang menyimpang dari profil keuangan terdakwa," kata anggota majelis hakim Matheus Samiadji.
Artinya secara total Akil terbukti melakukan tindak pidana pencucian uang sebesar Rp152,07 miliar.
Namun ada dua orang hakim yang menyatakan perbedaan pendapat (dissenting opinion) yaitu hakim anggota III Sofialdi dan hakim anggota IV Alexander Marwata.
"Tentang pasal 55 ayat 1 ke-1 KUHP tentang penyertaan saksi Chairun Nisa tidak terpenuhi karena Chairun Nisa adalah penerimaan terhadap chairun nisa sendiri sebesar Rp75 juta dari Hambit Bintih bukan terhdap bersama-bersama dengan dengan hakim, dalam posisi ini Chairun Nisa tergolong pihak yang memberi janji sebesar Rp3 miliar atas permintaan Hambit Bintih," kata anggota hakim Sofialdi.
Sofialdi juga keberatan dengan peran Susi Tur Andayani yang dalam putusan perkaranya adalah sebagai pihak pemberi dan bukan bukan kawan peserta dalam pilkada Lebak.
"Disenting opinion kedua adalah penutut umum KPK tidak punya wewenang untuk TPPU sebagaimana dakwaan kelima dan
dakwaan keenam karena KPK sendiri dalam UU ini tidak punya kewenangan terhadap penyelidikan dan penyidikan, sehingga dakwaan tersebut harus batal dengan sendirinya dan tidak bisa dipersalahkan," tambah Sofialdi.
Sedangkan hakim Alexander Marwata berpendapat bahwa tindak pidana asal dalam TPPU perlu dibuktikan lebih dulu dan tidak bisa hanya dugaan.
"Menurut hakim anggota 4 penyidik masih punya utang untuk pelaku tindak pidana untuk menyidik pidana asal. KPK memiliki kewenangan tindak pidana asal yang merupakan tindak pidana korupsi bukan tindak pidana yang diduga berasal dari tindak pidana korupsi, tidak bisa hanya diduga tanpa membuktikan tindak pidana korupsi yang mana jika demikian akan menimbulkan keraguan pada pengadilan tindak pidana korupsi," kata hakim Alexander.
Atas vonis tersebut Akil menyatakan banding.
"Banding," kata Akil.(*)
Langganan:
Postingan (Atom)