VIVAnews - Presiden
Susilo Bambang Yudhoyono telah menandatangani peraturan pemerintah yang
melegalkan aborsi. Pasal 31 Peraturan Pemerintah Nomor 61 Tahun 2014
tentang Kesehatan Reproduksi yang ditandatangani pada 21 Juli 2014
kemarin itu menyebutkan bahwa perempuan boleh melakukan aborsi.
Tapi, tentu ada syarat tertentu yang memperbolehkan seorang wanita melakukan aborsi. Yaitu, jika ada kedaruratan medis atau akibat pemerkosaan.
Menteri Kesehatan Nafsiah Mboi mengatakan PP Kesehatan Reproduksi itu adalah turunan dari Undang-Undang Kesehatan Nomor 26 Tahun 2009. Sehingga, PP itu sudah sesuai dengan UU.
"Jadi telah dibahas selama 5 tahun. Baik UU dan PP mengatakan aborsi dilarang kecuali untuk dua keadaan: gawat darurat medik dan kehamilan akibat pemerkosaan," kata Nafsiah di Istana Negara, Jakarta, Rabu 13 Agustus 2014.
Menurutnya perempuan yang melakukan aborsi karena kedaruratan medik dan korban perkosaan ini, harus dibuktikan oleh tim ahli. Dia menambahkan ada persyaratannya yaitu, untuk korban perkosaan, usia kehamilan di bawah 40 hari terhitung dari hari pertama haid terakhir.
"Itu sudah ada fatwa MUI. Memang kalau Katolik, dari pembuahan itu sudah dianggap sebagai manusia. Kita lakukan konseling. Keputusan adalah di tangan ibu, tentu dengan persetujuan suami, tapi bahwa dia sudah diberikan informasi, konseling pra tindakan dan sesudah tindakan dan dia berhak iya atau tidak," kata Nafsiah.
Menurutnya tim ahli ini akan menjangkau ke daerah-daerah. Jadi, setelah PP ini dikeluarkan maka akan ada Peraturan Menteri Kesehatan yang mengatur pelatihan untuk tenaga kesehatan supaya bisa mengetahui dan bisa memberikan konseling yang tepat.
"Sehingga tidak sembarangan karena baik UU dan PP mengatakan abortus dilarang kecuali untuk 2 hal ini," ujar dia.
Menurut Nafsiah, UU dan PP disusun dengan kehati-hatian. Sehingga, pembahasan UU dan PP ini melibatkan lintas sektoral baik masyarakat umum, agama dan lainnya.
Sementara pelegalan aborsi untuk perempuan korban pemerkosaan, kata Nafsiah, karena pemerintah sering mendapat informasi dari perempuan korban pemerkosaan ini memiliki trauma yang cukup panjang, masih di bawah umur dan mereka tidak siap untuk punya anak.
"Artinya memang ada peluang di situ yang diberikan PP itu, tentu itu melalui proses ya, dari keluarga, pihak kedokteran, tokoh masyarakat, kalau ingin melakukan aborsi itu. Jadi tidak semua aborsi dilakukan," jelasnya.
Menurut Nafsiah PP adalah langkah maju dari pemerintah untuk melindungi hak asasi perempuan.
Pasal yang memperbolehkan aborsi itu tertuang dalam pasal 31 ayat 1 disebutkan bahwa tindakan aborsi dilakukan jika ada indikasi kedaruratan medis atau kehamilan akibat pemerkosaan. Sementara dalam pasal 31 ayat 2 disebutkan bahwa tindakan aborsi akibat perkosaan hanya dapat dilakukan apabila usia kehamilan paling lama berusia 40 hari dihitung sejak hari pertama haid terakhir.
Sementara, pada pasal 32 ayat 1 diatur mengenai aborsi bisa dilakukan jika ada kedaruratan medis, yaitu kehamilan yang mengancam nyawa dan kesehatan ibu, kehamilan yang mengancam nyawa dan kesehatan janin, termasuk yang menderita penyakit genetik berat atau cacat bawaan, maupun yang tidak dapat diperbaiki sehingga menyulitkan bayi tersebut hidup di luar kandungan.
Sementara pada ayat 2 diatur bahwa penanganan indikasi kedaruratan medis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan sesuai dengan standar.
Kemudian, pasal Pasal 33 diatur mengenai:
(1) Penentuan adanya indikasi kedaruratan medis sebagaimana dimaksud dalam Pasal 32 dilakukan oleh tim kelayakan aborsi.
(2) Tim sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling sedikit terdiri dari 2 (dua) orang tenaga kesehatan yang diketuai oleh dokter yang memiliki kompetensi dan kewenangan.
(3) Dalam menentukan indikasi kedaruratan medis, tim sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus melakukan pemeriksaan sesuai dengan standar.
(4) Berdasarkan hasil pemeriksaan sebagaimana dimaksud pada ayat (3), tim sebagaimana dimaksud pada ayat (1) membuat surat keterangan kelayakan aborsi.
Sementara, pengertian aborsi atas kasus pemerkosaan ini, terdapat pada pasal 34 yaitu:
(1) Kehamilan akibat perkosaan merupakan kehamilan hasil hubungan seksual tanpa adanya persetujuan dari pihak perempuan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
(2) Kehamilan akibat pemerkosaan harus dibuktikan dengan:
a. usia kehamilan sesuai dengan kejadian pemerkosaan, yang dinyatakan oleh surat keterangan dokter; dan
b. keterangan penyidik, psikolog, dan/atau ahli lain mengenai adanya dugaan pemerkosaan.
Tapi, tentu ada syarat tertentu yang memperbolehkan seorang wanita melakukan aborsi. Yaitu, jika ada kedaruratan medis atau akibat pemerkosaan.
Menteri Kesehatan Nafsiah Mboi mengatakan PP Kesehatan Reproduksi itu adalah turunan dari Undang-Undang Kesehatan Nomor 26 Tahun 2009. Sehingga, PP itu sudah sesuai dengan UU.
"Jadi telah dibahas selama 5 tahun. Baik UU dan PP mengatakan aborsi dilarang kecuali untuk dua keadaan: gawat darurat medik dan kehamilan akibat pemerkosaan," kata Nafsiah di Istana Negara, Jakarta, Rabu 13 Agustus 2014.
Menurutnya perempuan yang melakukan aborsi karena kedaruratan medik dan korban perkosaan ini, harus dibuktikan oleh tim ahli. Dia menambahkan ada persyaratannya yaitu, untuk korban perkosaan, usia kehamilan di bawah 40 hari terhitung dari hari pertama haid terakhir.
"Itu sudah ada fatwa MUI. Memang kalau Katolik, dari pembuahan itu sudah dianggap sebagai manusia. Kita lakukan konseling. Keputusan adalah di tangan ibu, tentu dengan persetujuan suami, tapi bahwa dia sudah diberikan informasi, konseling pra tindakan dan sesudah tindakan dan dia berhak iya atau tidak," kata Nafsiah.
Menurutnya tim ahli ini akan menjangkau ke daerah-daerah. Jadi, setelah PP ini dikeluarkan maka akan ada Peraturan Menteri Kesehatan yang mengatur pelatihan untuk tenaga kesehatan supaya bisa mengetahui dan bisa memberikan konseling yang tepat.
"Sehingga tidak sembarangan karena baik UU dan PP mengatakan abortus dilarang kecuali untuk 2 hal ini," ujar dia.
Menurut Nafsiah, UU dan PP disusun dengan kehati-hatian. Sehingga, pembahasan UU dan PP ini melibatkan lintas sektoral baik masyarakat umum, agama dan lainnya.
Sementara pelegalan aborsi untuk perempuan korban pemerkosaan, kata Nafsiah, karena pemerintah sering mendapat informasi dari perempuan korban pemerkosaan ini memiliki trauma yang cukup panjang, masih di bawah umur dan mereka tidak siap untuk punya anak.
"Artinya memang ada peluang di situ yang diberikan PP itu, tentu itu melalui proses ya, dari keluarga, pihak kedokteran, tokoh masyarakat, kalau ingin melakukan aborsi itu. Jadi tidak semua aborsi dilakukan," jelasnya.
Menurut Nafsiah PP adalah langkah maju dari pemerintah untuk melindungi hak asasi perempuan.
Pasal yang memperbolehkan aborsi itu tertuang dalam pasal 31 ayat 1 disebutkan bahwa tindakan aborsi dilakukan jika ada indikasi kedaruratan medis atau kehamilan akibat pemerkosaan. Sementara dalam pasal 31 ayat 2 disebutkan bahwa tindakan aborsi akibat perkosaan hanya dapat dilakukan apabila usia kehamilan paling lama berusia 40 hari dihitung sejak hari pertama haid terakhir.
Sementara, pada pasal 32 ayat 1 diatur mengenai aborsi bisa dilakukan jika ada kedaruratan medis, yaitu kehamilan yang mengancam nyawa dan kesehatan ibu, kehamilan yang mengancam nyawa dan kesehatan janin, termasuk yang menderita penyakit genetik berat atau cacat bawaan, maupun yang tidak dapat diperbaiki sehingga menyulitkan bayi tersebut hidup di luar kandungan.
Sementara pada ayat 2 diatur bahwa penanganan indikasi kedaruratan medis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan sesuai dengan standar.
Kemudian, pasal Pasal 33 diatur mengenai:
(1) Penentuan adanya indikasi kedaruratan medis sebagaimana dimaksud dalam Pasal 32 dilakukan oleh tim kelayakan aborsi.
(2) Tim sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling sedikit terdiri dari 2 (dua) orang tenaga kesehatan yang diketuai oleh dokter yang memiliki kompetensi dan kewenangan.
(3) Dalam menentukan indikasi kedaruratan medis, tim sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus melakukan pemeriksaan sesuai dengan standar.
(4) Berdasarkan hasil pemeriksaan sebagaimana dimaksud pada ayat (3), tim sebagaimana dimaksud pada ayat (1) membuat surat keterangan kelayakan aborsi.
Sementara, pengertian aborsi atas kasus pemerkosaan ini, terdapat pada pasal 34 yaitu:
(1) Kehamilan akibat perkosaan merupakan kehamilan hasil hubungan seksual tanpa adanya persetujuan dari pihak perempuan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
(2) Kehamilan akibat pemerkosaan harus dibuktikan dengan:
a. usia kehamilan sesuai dengan kejadian pemerkosaan, yang dinyatakan oleh surat keterangan dokter; dan
b. keterangan penyidik, psikolog, dan/atau ahli lain mengenai adanya dugaan pemerkosaan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar