Andi Saputra - detikNews
Jakarta - - Inkonsistensi pertimbangan soal hukuman
mati kembali terungkap. Dalam perkara Hengki Gunawan, hakim agung Imron
cs menganulir vonis mati dengan alasan melanggar UUD 1945. Tapi pada
kasus lain, Imron cs mendukung hukuman mati karena sesuai UUD 1945.
Mengapa Imron cs plinplan?
Seperti dilansir website Mahkamah
Agung (MA), Jumat (15/2/2013), vonis mati ini tetap diberlakukan kepada
warga negara (WN) Australia, Andrew Chan atau yang biasa disebut
sindikat Bali Nine. Sindikat ini terdiri dari sembilan warga Australia.
Mereka ditangkap di Bandara Ngurah Rai pada 17 April 2005.
Pada
14 Februari 2006, PN Denpasar menjatuhkan vonis mati. Hukuman ini lalu
dikuatkan oleh Pengadilan Tinggi Denpasar pada 20 April 2006 dan kasasi
pada 16 Agustus 2006. Andrew pun mengajukan peninjauan kembali (PK)
tetapi MA bergeming. Tiga hakim agung yang memutus yaitu Imron Anwari,
Suwardi dan Ahmad Yamani.
Dalam pertimbangannya, vonis PK
tertanggal 10 Mei 2011 menyatakan hukuman mati sah dan berlaku di
Indonesia seperti tertuang dalam halaman 95-96:
Walaupun
pasal 28I ayat 1 UUD 1945 menyatakan hak hidup adalah hak asasi manusia
yang paling mendasar dalam keadaan apa pun dan TAP MPR No XVII/MPR/1998
menyatakan bahwa hak asasi meliputi hak untuk hidup serta UU No 12/2005
tentang Pengesahan International Convenent on Civil and Political Rights
(ICCPR/Konvenan Internasional tentang Hak Sipil dan Politik), bahwa
Indonesia telah meratifikasi Konvenan Internasional tentang Hak-hak
Sipil dan Politik di mana pada Bagian III PAsal 6 ayat 1 ICCPR
menyatakan setiap manusia berhak atas hak untuk hidup yang melekar pada
dirinya, hak ini wajib dilindungi oleh hukum, tidak seorang pun dapat
dirampas hak hidupnya secara sewenang-wenang.
Akan tetapi ayat 2 ICCPR
menyatakan di negara-negara yang belum menghapus hukuman mati, putusan
hukuman mati hanya dapat dijatuhkan terhadap kejahatan-kejahatan yang
paling serius sesuai hukum yang berlaku pada saat dilakukan kejahatan
tersebut
Bahwa hingga saat ini penerapan pidana
mati dalam hukum positif Indonesia masih tetap dipertahankan di mana
dalam hubungannya dengan perkara a quo.
Kejahatan
yang dilakukan oleh Terdakwa adalah kejahatan yang serius yang
merupakan kejahatan yag terorganisir dan bersifat internasional sehingga
terhadap pelakunya dapat dijatuhi hukuman pidana mati.
Ternyata,
pertimbangan ini dijilat sendiri oleh Imron Anwari cs, 3 bulan
sesudahnya saat mengadili pemilik pabrik ekstasi Hengky Gunawan. Imron
menyatakan hukuman mati melanggar konstitusi sehingga menjadi alasan
hukuman menjadi 15 tahun.
Duduk di kursi majelis hakim yaitu Imron Anwari, Hakim Nyak Pha dan Ahmad Yamani.
"Hukuman mati bertentangan dengan pasal 28 ayat 1 UUD 1945 dan melanggar Pasal 4 UU No 39/1999 tentang HAM.
Dengan adanya klausul tidak dapat dikurangi dalam keadaan dan oleh
siapa pun sesuai pasal 4 UU No 39/1999 tentang HAM, dapat diartikan
sebagai tidak dapat dikurangi, dan diabaikan oleh siapa pun termasuk
dalam hal ini oleh pejabat yang berwenang sekalipun, tidak terkecuali
oleh putusan hakim/putusan pengadilan," demikian putusan tertanggal 16
Agustus 2011 yang mengaanulir vonis mati menjadi 15 tahun.
Alasan
vonis mati bertentangan dengan UUD 1945 juga dipakai Imron Anwari,
Suwardi dan Timur Manurung saat menganulir vonis mati gembong narkoba
Hillary K Chimize menjadi 12 tahun penjara di tingkat PK.
"Hukuman mati sangat bertentangan dengan ketentuan dalam pasal 28 A UUD 1945
(setiap orang berhak hidup serta berhak mempertahankan hidup dan
kehidupannya). Hukuman mati melanggar UU Pasal 1 ayat 1 jo Pasal 4 UU No
39/1999 tentang Hak Asasi Manusia (HAM)," demikian bunyi pertimbangan
putusan 6 Oktober 2010 lalu ini.
"10 Declaration of Human Right article 3 yang berbunyi every one has the right of life, liberty and security of person
yang artinya setiap orang berhak ata kehidupan, kebebasan dan
keselamatan sebagai individu," tambah pertimbangan PK dalam halaman 105.
Blog ini bersisi kumpulan berita tentang law enforcement dari kalangan Penegak Hukum, ya semacam kliping elektroniklah begitu
Jumat, 15 Februari 2013
Kamis, 14 Februari 2013
Kasasi Ditolak, Pemimpin Syiah Tetap Divonis 4 Tahun karena Nodai Agama
Andi Saputra - detikNews
Jakarta - - Mahkamah Agung (MA) menolak upaya hukum kasasi Tajul Muluk. Alhasil, tokoh Syiah Sampang, Madura ini harus tetap mendekam selama 4 tahun karena menodai agama.
"Menolak kasasi Tajul Muluk alias H Ali Murtadha," demikian lansir panitera MA dalam websitenya, Kamis (14/2/2013).
Perkara nomor 1787 K/PID/2012 masuk klasifikasi penodaan agama. Duduk selaku ketua majelis hakim kasasi Prof Dr Hakim Nyak Pha dengan anggota hakim agung Sri Murwahyuni dan Dr Dudu D Machmudin.
"Diputus pada 3 Januari 2013 dengan panitera pengganti M Ikhsan Fathoni," sambungnya.
Seperti diketahui, Tajul Muluk didakwa telah melakukan penistaan agama sehingga memicu kerusuhan Sampang, Madura pada 2011 lalu. Pada 12 Juli 2012 Pengadilan Negeri (PN) Sampang memvonis dengan hukuman 2 tahun penjara atas dakwaan penodaan agama. Putusan ini diperberat menjadi 4 tahun seiring dengan keluarnya putusan banding Pengadilan Tinggi Surabaya pada 21 September 2012.
Atas vonis banding ini, Tajul Muluk mengajukan kasasi dan kandas. Selain itu, Tajul Muluk juga tengah mengajukan upaya hukum ke Mahkamah Konstitusi (MK) dengan mengajukan uji materiil pasal 156 (a) KUHP tentang pencegahan atau penyalahgunaan atau penodaan agama. Tajul menganggap, pasal itu tidak sesuai dengan pasal 28 UUD 1945.
Jakarta - - Mahkamah Agung (MA) menolak upaya hukum kasasi Tajul Muluk. Alhasil, tokoh Syiah Sampang, Madura ini harus tetap mendekam selama 4 tahun karena menodai agama.
"Menolak kasasi Tajul Muluk alias H Ali Murtadha," demikian lansir panitera MA dalam websitenya, Kamis (14/2/2013).
Perkara nomor 1787 K/PID/2012 masuk klasifikasi penodaan agama. Duduk selaku ketua majelis hakim kasasi Prof Dr Hakim Nyak Pha dengan anggota hakim agung Sri Murwahyuni dan Dr Dudu D Machmudin.
"Diputus pada 3 Januari 2013 dengan panitera pengganti M Ikhsan Fathoni," sambungnya.
Seperti diketahui, Tajul Muluk didakwa telah melakukan penistaan agama sehingga memicu kerusuhan Sampang, Madura pada 2011 lalu. Pada 12 Juli 2012 Pengadilan Negeri (PN) Sampang memvonis dengan hukuman 2 tahun penjara atas dakwaan penodaan agama. Putusan ini diperberat menjadi 4 tahun seiring dengan keluarnya putusan banding Pengadilan Tinggi Surabaya pada 21 September 2012.
Atas vonis banding ini, Tajul Muluk mengajukan kasasi dan kandas. Selain itu, Tajul Muluk juga tengah mengajukan upaya hukum ke Mahkamah Konstitusi (MK) dengan mengajukan uji materiil pasal 156 (a) KUHP tentang pencegahan atau penyalahgunaan atau penodaan agama. Tajul menganggap, pasal itu tidak sesuai dengan pasal 28 UUD 1945.
Rabu, 13 Februari 2013
PK Jaksa Ditolak, Anggota DPR Kurdi Moekri Tetap Bebas dari Kasus Korupsi
Andi Saputra - detikNews
Jakarta - - Upaya hukum jaksa mengajukan peninjauan kembali (PK) yang di luar kebiasaan berakhir kandas. Upaya terkait usaha menjerat anggota Komisi III DPR, Ahmad Kurdi Moekri, dalam kasus korupsi dana kavling 2002 silam.
Penolakan PK ini menguatkan vonis bebas Kurdi telah benar dan sah secara hukum. "Menolak PK Jaksa Penuntut Umum (JPU) Kejaksaan Negeri (Kejari) Bandung terhadap Drs H Ahmad Kurdi Moekri," demikian lansir panitera Mahkamah Agung (MA), Jumat (8/2/2013).
Putusan bernomor 173 PK/Pid.Sus/2011 ini diketok oleh ketua majelis PK Djoko Sarwoko. Vonis yang diketok pada 20 November 2012 lalu ini juga diadili oleh Prof Surya Jaya dan Prof M Askin.
Atas vonis ini, Kurdi yang saat itu sebagai wakil ketua DPRD Jawa Barat (Jabar), mengapresiasi putusan MA yang menunjukkan dirinya benar-benar bersih. Putusan ini juga menunjukkan kasus yang melilitnya pada 2002 silam penuh rekayasa hukum karena aturan yang menjeratnya telah dihapus.
"Itu keputusan yang tepat, benar dan adil. Jaksa itu telah melewati batas kewenangannya. Keputusan saya sudah inkrah pada 2007 lalu, nama saya sudah direhabilitasi dan dimenangkan MA," ujar Kurdi saat dikonfirmasi detikcom tentang keputusan PK tersebut.
Bahkan Kurdi menilai PK jaksa tersebut mengada-ada. Sebab menjadikan tidak ada kepastian hukum dan merusak rasa keadilan.
"PK jaksa tahun 2011 silam untuk kasus 2007, di mana kepastian hukumnya? Saya berterimakasih kepada MA dan memberi saran kepada kejaksaan khususnya bidang SDM untuk berbenah diri," ujarnya.
Kasus yang melilit Kurdi bermula adanya alokasi anggaran DPRD Jawa Barat senilai Rp 33,375 miliar periode 1999-2004. Saat itu pimpinan dan seluruh anggota DPRD menerima dana dari APBD masing-masing Rp 250 juta. Jaksa menilai alokasi dana tersebut ilegal. Tetapi belakangan, dana itu secara hukum ternyata sah secara hukum.
Di PN Bandung, Kurdi dihukum 4 tahun. Lantas di kasasi, Kurdi divonis bebas.
Jakarta - - Upaya hukum jaksa mengajukan peninjauan kembali (PK) yang di luar kebiasaan berakhir kandas. Upaya terkait usaha menjerat anggota Komisi III DPR, Ahmad Kurdi Moekri, dalam kasus korupsi dana kavling 2002 silam.
Penolakan PK ini menguatkan vonis bebas Kurdi telah benar dan sah secara hukum. "Menolak PK Jaksa Penuntut Umum (JPU) Kejaksaan Negeri (Kejari) Bandung terhadap Drs H Ahmad Kurdi Moekri," demikian lansir panitera Mahkamah Agung (MA), Jumat (8/2/2013).
Putusan bernomor 173 PK/Pid.Sus/2011 ini diketok oleh ketua majelis PK Djoko Sarwoko. Vonis yang diketok pada 20 November 2012 lalu ini juga diadili oleh Prof Surya Jaya dan Prof M Askin.
Atas vonis ini, Kurdi yang saat itu sebagai wakil ketua DPRD Jawa Barat (Jabar), mengapresiasi putusan MA yang menunjukkan dirinya benar-benar bersih. Putusan ini juga menunjukkan kasus yang melilitnya pada 2002 silam penuh rekayasa hukum karena aturan yang menjeratnya telah dihapus.
"Itu keputusan yang tepat, benar dan adil. Jaksa itu telah melewati batas kewenangannya. Keputusan saya sudah inkrah pada 2007 lalu, nama saya sudah direhabilitasi dan dimenangkan MA," ujar Kurdi saat dikonfirmasi detikcom tentang keputusan PK tersebut.
Bahkan Kurdi menilai PK jaksa tersebut mengada-ada. Sebab menjadikan tidak ada kepastian hukum dan merusak rasa keadilan.
"PK jaksa tahun 2011 silam untuk kasus 2007, di mana kepastian hukumnya? Saya berterimakasih kepada MA dan memberi saran kepada kejaksaan khususnya bidang SDM untuk berbenah diri," ujarnya.
Kasus yang melilit Kurdi bermula adanya alokasi anggaran DPRD Jawa Barat senilai Rp 33,375 miliar periode 1999-2004. Saat itu pimpinan dan seluruh anggota DPRD menerima dana dari APBD masing-masing Rp 250 juta. Jaksa menilai alokasi dana tersebut ilegal. Tetapi belakangan, dana itu secara hukum ternyata sah secara hukum.
Di PN Bandung, Kurdi dihukum 4 tahun. Lantas di kasasi, Kurdi divonis bebas.
MA Belum Tahu Ada Kasasi Lepaskan Terdakwa Korupsi Rp 19,7 M
Rini Friastusi - detikNews
Jakarta - - Mahkamah Agung (MA) mengaku belum tahu ada majelis kasasi yang memvonis lepas terdakwa kasus korupsi Rp 19,7 miliar, Khairudin. Mantan anggota DPRD Kutai Kertanegara (Kukar), Kalimantan Timur itu divonis 4 tahun di tingkat pertama dan banding.
"Saya belum lihat (putusan Khairudin)," kata Kepala Biro Hukum dan Humas MA, Ridwan Mansyur kepada wartawan di gedung MA, Jalan Medan Merdeka Utara, Rabu (13/2/2013).
Majelis yang dimaksud yaitu Mansur Kertayasa selaku ketua majelis dan hakim anggota Sophian Marthabaya dan Mohammad Askin. Mansur sendiri pensiun 2 hari setelah putusan tersebut diketok.
Meski sudah diketok pada 5 Juli 2012 silam, hingga hari ini MA belum mengetahui putusan itu. "Itu baru kemarin kan putusannya? Nanti saya lihat dulu ya," janji Ridwan.
Sekadar diketahui, dari fakta persidangan terungkap Khairudin memegang peranan penting dalam penyaluran dana bansos bernilai puluhan miliaran itu. Sebanyak Rp 16 miliar di antaranya diduga dibagi-bagikan kepada 37 anggota DPRD Kukar periode 2004-2009 lalu.
Khairudin pada Pengadilan Tipikor Samarinda divonis 4 tahun penjara. Lalu putusan ini dikuatkan di tingkat banding. Lantas Khairuddin pun kasasi dan dikabulkan MA.
"Saya awalnya memperkirakan MA akan menguatkan putusan Pengadilan Tinggi karena di tingkat pertama dan di Pengadilan Tinggi divonis. Tapi di MA kok seperti itu? Setelah di MA kenapa diputus onslaght (lepas)? Itu permasalahannya. Di MA putusannya bulat, tak ada hakim yang dissenting opinion," ujar Jaksa Penuntut Umum (JPU) Kejaksaan Negeri (Kejari) Tenggarong, Sofyan Latoriri.
Jakarta - - Mahkamah Agung (MA) mengaku belum tahu ada majelis kasasi yang memvonis lepas terdakwa kasus korupsi Rp 19,7 miliar, Khairudin. Mantan anggota DPRD Kutai Kertanegara (Kukar), Kalimantan Timur itu divonis 4 tahun di tingkat pertama dan banding.
"Saya belum lihat (putusan Khairudin)," kata Kepala Biro Hukum dan Humas MA, Ridwan Mansyur kepada wartawan di gedung MA, Jalan Medan Merdeka Utara, Rabu (13/2/2013).
Majelis yang dimaksud yaitu Mansur Kertayasa selaku ketua majelis dan hakim anggota Sophian Marthabaya dan Mohammad Askin. Mansur sendiri pensiun 2 hari setelah putusan tersebut diketok.
Meski sudah diketok pada 5 Juli 2012 silam, hingga hari ini MA belum mengetahui putusan itu. "Itu baru kemarin kan putusannya? Nanti saya lihat dulu ya," janji Ridwan.
Sekadar diketahui, dari fakta persidangan terungkap Khairudin memegang peranan penting dalam penyaluran dana bansos bernilai puluhan miliaran itu. Sebanyak Rp 16 miliar di antaranya diduga dibagi-bagikan kepada 37 anggota DPRD Kukar periode 2004-2009 lalu.
Khairudin pada Pengadilan Tipikor Samarinda divonis 4 tahun penjara. Lalu putusan ini dikuatkan di tingkat banding. Lantas Khairuddin pun kasasi dan dikabulkan MA.
"Saya awalnya memperkirakan MA akan menguatkan putusan Pengadilan Tinggi karena di tingkat pertama dan di Pengadilan Tinggi divonis. Tapi di MA kok seperti itu? Setelah di MA kenapa diputus onslaght (lepas)? Itu permasalahannya. Di MA putusannya bulat, tak ada hakim yang dissenting opinion," ujar Jaksa Penuntut Umum (JPU) Kejaksaan Negeri (Kejari) Tenggarong, Sofyan Latoriri.
Selasa, 12 Februari 2013
Sempat Divonis 4 Tahun, Terdakwa Kasus Korupsi Rp 19 M Dibebaskan MA
Robert - detikNews
Samarinda - - Mahkamah Agung (MA) menganulir vonis 4 tahun penjara menjadi vonis bebas atas Khairudin. Khairudin merupakan terdakwa kasus korupsi Bansos APBD Kutai Kartanegara (Kukar), Kalimantan Timur senilai Rp 19,7 miliar.
"Menolak kasasi jaksa penuntut umum (JPU), mengabulkan kasasi terdakwa," demikian lansir website MA, Senin (11/2/2013).
Putusan tertanggal 5 Juli 2012 ini diketok dengan ketua majelis hakim Mansur Kertayasa dengan hakim anggota Sophian Marthabaya dan Mohammad Askin.
Informasi dikumpulkan detikcom, salinan putusan kasasi itu diterima Pengadilan Negeri (PN) Tenggarong pada akhir Januari 2013 lalu dan diterima oleh JPU Sofyan Latoriri pada 4 Februari 2013 lalu. Mendapati putusan ini, pegiat anti korupsi Kaltim terhenyak.
"Saya sudah mengumpulkan data dan informasi terkait dugaan kejanggalan dari pertimbangan hakim yang akan kami laporkan ke KY. Di antaranya, dalam salinan putusan itu Terdakwa dianggap tidak punya niat atas perbuatan yang didakwakan sehingga dinyatakan bukan tindak pidana korupsi," kata Koordinator Barisan Oposisi Rakyat Nasional dan Elaborasi Organisasi (BORNEO), Husni Fahruddin.
Sekadar diketahui, dari fakta persidangan terungkap anggota DPRD tersebut memegang peranan penting dalam penyaluran dana bansos bernilai puluhan miliaran itu. Termasuk Rp 16 miliar diantaranya diduga dibagi-bagikan kepada 37 anggota DPRD Kukar periode 2004-2009 lalu.
Khairudin pada peradilan pertama maupun banding divonis bersalah dengan hukuman 4 tahun penjara. Lantas Khairuddin pun kasasi dan dikabulkan MA.
"Dari informasi yang kita dapatkan, ternyata Mansur Kartayasa pensiun setelah putusan itu diputuskan. Menurut saya, wajar dicurigai tanpa tendensi apapun bahwa putusan itu diberikan saat dia menjelang pensiun," ungkap
Samarinda - - Mahkamah Agung (MA) menganulir vonis 4 tahun penjara menjadi vonis bebas atas Khairudin. Khairudin merupakan terdakwa kasus korupsi Bansos APBD Kutai Kartanegara (Kukar), Kalimantan Timur senilai Rp 19,7 miliar.
"Menolak kasasi jaksa penuntut umum (JPU), mengabulkan kasasi terdakwa," demikian lansir website MA, Senin (11/2/2013).
Putusan tertanggal 5 Juli 2012 ini diketok dengan ketua majelis hakim Mansur Kertayasa dengan hakim anggota Sophian Marthabaya dan Mohammad Askin.
Informasi dikumpulkan detikcom, salinan putusan kasasi itu diterima Pengadilan Negeri (PN) Tenggarong pada akhir Januari 2013 lalu dan diterima oleh JPU Sofyan Latoriri pada 4 Februari 2013 lalu. Mendapati putusan ini, pegiat anti korupsi Kaltim terhenyak.
"Saya sudah mengumpulkan data dan informasi terkait dugaan kejanggalan dari pertimbangan hakim yang akan kami laporkan ke KY. Di antaranya, dalam salinan putusan itu Terdakwa dianggap tidak punya niat atas perbuatan yang didakwakan sehingga dinyatakan bukan tindak pidana korupsi," kata Koordinator Barisan Oposisi Rakyat Nasional dan Elaborasi Organisasi (BORNEO), Husni Fahruddin.
Sekadar diketahui, dari fakta persidangan terungkap anggota DPRD tersebut memegang peranan penting dalam penyaluran dana bansos bernilai puluhan miliaran itu. Termasuk Rp 16 miliar diantaranya diduga dibagi-bagikan kepada 37 anggota DPRD Kukar periode 2004-2009 lalu.
Khairudin pada peradilan pertama maupun banding divonis bersalah dengan hukuman 4 tahun penjara. Lantas Khairuddin pun kasasi dan dikabulkan MA.
"Dari informasi yang kita dapatkan, ternyata Mansur Kartayasa pensiun setelah putusan itu diputuskan. Menurut saya, wajar dicurigai tanpa tendensi apapun bahwa putusan itu diberikan saat dia menjelang pensiun," ungkap
Langganan:
Postingan (Atom)